Ketika terjadi pelanggaran yang berarti mengambil sebagian hak orang lain, maka yang harus mewakili kepentingan warga yang dirugikan adalah penegak hukum, hakim dan pengadilan agar tercipta keadilan. Maka ikutilah proses peradilan, karena pengadilan adalah jalan yang adil.

Jakarta – (11/04/2021). Contoh terbaik soal keadilan, toleransi, amanah dan keseteraan yang paling ideal adalah mengikuti teladan Rasullullah SAW. Kaum Muslimin di era kenabian bisa hidup rukun dan harmonis dengan warga Madinah lainnya yang berbeda keyakinan, termasuk dengan kaum Yahudi. Bahkan, Rasulullah Saw pun berinteraksi dengan kaum Yahudi dengan menggadaikan baju besinya atau baju perangnya. Dalam buku “Madinah Era Kenabian: Kajian Kritis Sirah Nabawiyah Madinah Dalam Sosial, Agama dan Politik”, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, di dalam kitab hadits dan fiqih, banyak sekali praktik muamalah kaum Muslim dengan sesama warga Madinah yang notabene bukan Muslim alias Yahudi.

Menurut Ustaz Sarwat, salah satu fakta yang sering diketahui adalah bahwa Rasulullah SAW wafat dalam keadaan baju besinya masih tergadaikan pada seorang Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa sampai akhir hayat pun Rasulullah masih bermuamalat dengan Yahudi. Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi tersebut karena ingin membeli gandum untuk dimakan bersama keluarganya. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut :

“Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, sampai wafatnya Nabi tidak sempat melunasi utang tersebut hingga pada akhirnya Ali bin Abi Thalib lah yang membayarkannya. “Rasulullah SAW wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum”. (HR. Bukhari). Perlu diketahui, banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah menjalin hubungan yang harmonis dengan umat lain yang berbeda keyakinan di Kota Madinah.

Bahkan, umat Islam saat itu saling tolong-menolong dalam hal muamalah sehari-hari, bukan dalam masalah akidah dan ibadah. Kondisi umat Islam di Kota Madinah tersebut kala itu tidak jauh berbeda dengan umat Islam Indonesia saat ini yang bisa hidup secara rukun dan harmonis dengan umat agama lainnya. Walaupun, mungkin masih ada segelintir kelompok ekstremis yang keliru dalam memahami ayat dan hadits, sehingga mereka menganggap bahwa umat agama lain harus diperangi.

Tidak Homogen

Perlu diketahui bersama bahwa ketika Nabi Muhammad Saw berada di Kota Madinah, umat Islam waktu itu tidak hidup secara homogen. Mereka hidup berdampingan dengan umat lain yang berbeda secara keyakinan. Di sana ada orang-orang keturunan Arab dari suku Aus dan Khazraj. Keduanya merupakan dua suku yang saling bermusuhan antar satu sama lain karena masalah kekuasaan. Selain itu ada juga orang-orang Nasrani dan Yahudi dari berbagai kalangan. Tiga suku yang terkenal di antara mereka adalah Yahudi dari suku Bani Nadzir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi Madinah saat itu tidak jauh berbeda dengan wilayah kita, Indonesia, dari segi demografisnya.

Dengan kondisi masyarakat yang heterogen seperti itu, mungkin sebagian oknum menyangka kalau Nabi akan bersikap ofensif dan otoriter terhadap non muslim. Nabi memerangi serta memaksa mereka untuk memeluk agama Islam dan tunduk di bawah aturan beliau sebagaimana yang dianut oleh sebagian kelompok ekstrimis yang keliru dalam memahami beberapa ayat dan hadis terkait masalah tersebut. Mereka menerapkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang turun dalam situasi perperangan secara serampangan tanpa memperhatikan konteks dan sabab wurud (latar belakang historis) yang menyebabkan kemunculannya.

Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abdullah ibn Umar di mana Rasul pernah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah”. Ataupun Surah al-Taubah ayat kelima yang menyatakan bahwa apabila bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab) telah berlalu, maka umat Islam diperintahkan untuk memerangi kaum musyrik kapanpun dan dimanapun mereka berada, hingga mereka bertaubat dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya.

Padahal ayat dan hadis tersebut berbicara dalam konteks peperangan, bukan dalam situasi damai. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kerukunan Umat Perspektif al-Qur’an dan Hadis pernah menyampaikan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan apalagi menyuruh umatnya untuk membunuh orang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Memang benar dalam Islam ada perang, namun perperangan dalam Islam tidak pernah disebabkan oleh agama, namun karena faktor-faktor sosial lain yang membuat umat Islam harus mempertahankan eksistensinya dengan cara berperang. Dan ayat serta hadis di atas turun dalam kondisi yang seperti ini.

Lantas bagaimana sikap Nabi terhadap non muslim yang hidup di sekitar beliau pada situasi damai? Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menjalin hubungan yang harmonis dengan mereka serta saling tolong-menolong dalam hal muamalah sehari-hari, tapi bukan dalam masalah akidah dan ibadah. Ketika orang-orang non muslim Quraisy datang dan mengajak Nabi untuk menyembah tuhan mereka selama setahun dan merekapun akan menyembah Allah selama setahun, maka dengan tegas Nabi mengucapkan “lakum dinukum waliyadin” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Ungkapan ini adalah sebagai wujud komitmen yang tegas dalam menjaga akidah Islam yang menjadi substansinya.

Sementara itu dalam masalah muamalah sehari-hari, Nabi bersikap sangat toleran. Salah satu bentuk muamalah yang pernah dilakukan oleh Nabi ketika itu, seperti diceritakan di atas, adalah saat beliau menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm demi untuk membeli gandum yang akan beliau makan bersama keluarganya. Sampai wafatnya, Nabi tidak sempat melunasi hutang tersebut hingga pada akhirnya Ali ibn Abi Thalib yang membayarkannya. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.  

Ibn Hajar al-‘Atsqalani dalam kitabnya Fath al-Bari menjelaskan bahwa riwayat tersebut merupakan bukti kebolehan umat Islam untuk bermuamalah dengan non muslim, termasuk dalam masalah jual beli. Namun meskipun demikian ia membatasi kebolehan tersebut dengan beberapa syarat, yaitu selama barang yang ditransaksikan itu halal (tidak benda yang diharamkan seperti khamar dan babi), ada jaminan traksaksi tersebut tidak akan mempengaruhi keimanan kaum muslimin, serta non muslim yang dimaksud bukan dari golongan kafir harbi, artinya dari kalangan non muslim yang memerangi umat Islam. Selama syarat ini terpenuhi, maka jual beli dengan mereka hukumnya adalah sah, tidak terlarang sama sekali.

Selain menggadai, Nabi juga pernah menerima hibah yang diberikan oleh seorang pendeta Yahudi yang bernama Mukhairik kepada beliau. Mukhairik adalah seorang pendeta yang kaya raya dan berpihak kepada umat Islam. Ia pernah ikut sama-sama membela Nabi dalam perperangan Uhud hingga akhirnya meninggal dunia akibat sabetan pedang para musuh Islam. Sebelum meninggal ia sempat berwasiat bahwa kalau dia meninggal dunia, semua hartanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika ia meninggal, Nabi menerima pemberiannya dan mewakafkannya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Kisah ini diceritakan secara apik oleh Ibn Hisyam dan Ibn Sa’ad dalam kitab sirah keduanya.

Setidaknya dua kisah tersebut cukup bagi kita untuk menunjukkan bahwa ternyata Islam dan kaum muslimin tidak seekslusif yang disangkakan oleh sebagian pihak, khususnya dalam berhubungan dengan pihak yang berbeda keyakinan dengan mereka. Islam sangat menghargai perbedaan dan tidak menjadikannya sebagai penghalang terwujudnya kerukunan antara kaum muslimin dengan mereka dalam hal muamalah, bukan dalam hal akidah ataupun ibadah. Di sinilah letak prinsip utama ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Kalah di Pengadilan

Kisah kekalahan pemimpin umat Islam saat berperkara di pengadilan juga dicontohkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Pada zaman khulafaur rasyidin, keadaan rakyat cukup baik. Baik kaum Muslim maupun kafir dzimmi, menerima kepemimpinan yang adil. Ali bin Abi Thalib merupakan pemimpin yang terakhir pada masa ini. Pada era Khalifah Ali, pusat kekuasaan Islam dipindahkan dari Madinah ke Kufah (Irak). Adalah suatu kebiasaan Ali, yakni gemar mengetuk pintu rumah-rumah yang dijumpainya dalam perjalanan menuju masjid menjelang subuh. Suatu kali, Ali melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memperoleh perlindungan negara.

Tiba-tiba, Ali melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan salah satu rumah. Keponakan Rasulullah Muhammad SAW itu pun menghampirinya. Dia memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Sesudah itu, Ali merasa yakin bahwa benda itu miliknya. Sesudah memimpin shalat subuh berjamaah, Khalifah Ali kembali lagi ke rumah itu. Dia lantas mengetuk pintu. Keluarlah si pemilik rumah. “Wahai Yahudi, bagaimana keadaanmu?” tanya Ali. “Baik-baik saja, wahai khalifah,” jawab si Yahudi ini. Ali kemudian menunjuk pada baju perang yang sedang dijemur. “Aku melihat ada baju perang di depan rumahmu. Apakah itu kepunyaanmu?” selidik Ali. “Baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja baju perang itu punyaku,” terang pria Yahudi itu. “Tapi aku yakin baju ini milikku,” tegas Ali lagi. Sahabat Nabi SAW itu lantas menunjukkan beberapa ciri yang memang terdapat pada pakaian tersebut. Orang Yahudi itu toh tetap bertahan pada argumentasinya. Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan saat itu juga.

Tibalah giliran kasus Ali dan si Yahudi tadi digelar. Dihadapan mereka, sang hakim bertanya, apa pokok persoalannya. “Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku,” terang Ali. “Bagaimana menurut engkau?” tanya sang hakim kepada si Yahudi. “Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Aku mengatakan, baju perang itu adalah milikku,” tegasnya.

“Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut hukum agama ini, kesaksian anak atas orang tuanya–atau orang tua atas anaknya–tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya. Kini yang tersisa dari para saksi engkau adalah satu orang perempuan, yakni istri engkau. Sementara, hukum agama ini mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh (diganti menjadi) satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Adakah mereka itu?” tanya Hakim. Ali sejenak berpikir dan kemudian berkata, “Tidak ada.” Dengan demikian, sang hakim mengetok palu. Dia memutuskan, baju perang itu adalah milik si Yahudi. Sidang pun selesai. Selesaikah perkara tersebut? Ternyata belum. Belakangan karena si Yahudi tadi merasa diperlakukan dengan adil, meskipun berperkara dengan pimpinan negara, akhirnya dia mengakui bahwa dialah yang mencuri baju perang milik Ali di luar pengadilan. Dan atas rahmat Allah SWT si Yahudi lantas berikrar masuk Islam karena indah dan adilnya pemimpin Islam.

Penuh hikmah, berargumentasi boleh, tapi tidak harus menghujat, menista atau menjelek-jelekkan penegak hukum dan pengadilan. Kalah di pengadilan juga bukan suatu aib, namun percayalah bahwa kebaikan untuk umat akan terwujud dengan caranya Allah SWT, seperti dicontohkan sahabat Ali bin Abi Thalib tadi. Syaratnya, mengikuti proses pengadilan yang ada dan tidak mengambil tindakan ekstra pengadilan, meskipun mampu.

Masalah sangat serius

“Saya menghadapi 3 sidang dengan 11 dakwaan dan 18 pasal berlapis. Ada pasal yang ancamannya 6 tahun penjara, ada pasal yang ancamannya 10 tahun penjara. Bagi saya Ini masalah yang sangat serius. Saya harus all out dan super maksimal di dalam membela diri,” kata Rizieq Shihab. Berikut 3 perkara mantan Pimpinan FPI itu beserta dakwaan dan pasal yang disangkakan berdasarkan surat dakwaan.

Kerumunan Bandara

Kasus kerumunan di Bandara Soekarno-Hatta yang terjadi pada 10 November 2020 dan di Petamburan saat acara Maulid Nabi sekaligus pernikahan putrinya yang terjadi pada 14 November 2020. Perkara ini tercatat dalam nomor registrasi PDM-011/JKT.TIM/Eku/02/2021 yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Teguh Suhendro pada 4 Maret 2021 terkait kasus kerumunan di Soekarno-Hatta dan Petamburan yang terjadi pada 10 November 2020 dan 14 November 2020. Rizieq didakwa telah melanggar Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “Mereka yang melakukan, menyuruh, dan turut serta melakukan perbuatan menghasut melakukan perbuatan pidana kekarantinaan kesehatan di muka umum dengan lisan atau tulisan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 93, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan UU atau perintah jabatan berdasarkan UU,” dikutip dari surat dakwaan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Timur.

Dalam surat dakwaan itu tertulis, setibanya Rizieq di Bandara Soetta pada 10 November 2020, Rizieq seharusnya melakukan isolasi mandiri selama 14 hari, namun Rizieq malah menuju kerumunan ribuan orang yang telah datang memadati hampir seluruh area bandara Soetta. “Tidak ada upaya yang serius dari terdakwa untuk mengimbau, melarang, dan mengingatkan para penjemput agar tidak berkerumun/mematuhi protokol kesehatan yang berlaku, tapi terdakwa malah bergabung di keramaian tersebut. Secara bersamaan terdakwa dan lainnya menuju rumahnya di Petamburan,” kata Jaksa. “Sesampainya terdakwa di rumahnya, lokasi tersebut sudah dikerumuni banyak orang. Terdakwa tidak memberikan larangan agar tidak berkerumun yang mana bisa mengakibatkan klaster baru Covid-19. Seharusnya terdakwa karantina mandiri,” kata Jaksa bacakan surat dakwaan. Setelah acara tersebut berlangsung, dalam dakwaan itu disebutkan bahwa 33 dari 259 sampel dinyatakan positif Covid-19. Pasal-pasal yang dilanggar akibat timbulnya klaster baru Covid-19 di Petamburan yaitu:

1. 160 KUHP jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2. Pasal 216 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

3. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

4. Pasal 14 ayat (1) UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Rizieq dan kawan-kawan juga dijerat Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d terkait tindak pidana yang dilakukan FPI.

“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 59 ayat 3 huruf c dan d. Huruf c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman, ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan sosial. Huruf d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 59 ayat 3 huruf c dan d dikutip dari surat dakwaan tersebut. PN Jaktim kemudian mempermasalahkan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa bersama pengurus FPI lainnya. Mulai dari mengirimkan surat yang ditandatangani dengan logo dan kop surat FPI ke Sudin Jakpus ataupun surat pengaturan lalu lintas acara Maulid Nabi dan pernikahan putri Rizieq.

“Ketika masa berlaku FPI berakhir, dan FPI tidak berbadan hukum, serta tidak terdaftar di Kemendagri, terdakwa bersama pengurus lainnya masih melakukan kegiatan organisasinya termasuk dalam acara Maulid Nabi, dan saat terdakwa menikahkan putrinya,” tambah Jaksa.

Bukan hanya itu, PN Jaktim juga menyebutkan 13 tindak pidana hukum yang selama ini dilakukan FPI. 13 pelanggaran hukum tersebut tertuang dalam foto copy legalisir Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 20 Oktober 2008.

Beberapa tindak pidana hukum yang disebutkan yaitu melakukan kekerasan di muka umum terhadap orang dan barang bersama-sama, menghasut orang lain melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, melawan pejabat secara bersama-sama yang menyebabkan luka, kekerasan terhadap orang di muka umum secara lisan, tindakan penganiayaan, dan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan luka berat. “Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 82 A ayat (1) jo. 59 ayat 3 huruf s dan d UU No 16 Tahun 2017 tentang PP pengganti UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas Menjadi UU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.”

Kerumunan Megamendung

Perkara ini tercatat dalam nomor registrasi PDM-013/JKT.TIM/Eku/02/2021 yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Diah Yuliastuti pada 4 Maret 2021 terkait kasus kerumunan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang terjadi pada 13 November 2020. Rizieq didakwa telah melanggar Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “PN Jaktim berwenang memeriksa dan mengadili perkara ni, yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan,” dikutip dari surat dakwaan tersebut, Rabu (23/3). Pada 11 November 2020, Kasatpol PP Kabupaten Bogor menerima pesan terusan whatsapp dari Sekda Kabupaten Bogor terkait seruan penyambutan Rizieq sekaligus kegiatan peletakan batu pertama pembangunan masjid dan peresmian studio Markaz Syariah TV pada 13 November pagi di Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah di Kp. Babakan Pakancilan, Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Bogor, Jawa Barat.

Keesokan harinya, Satgas Covid-19 Pemkab Bogor mengimbau masyarakat Bogor, khususnya di kawasan Ponpes Alam tersebut untuk menerapkan protokol kesehatan. Namun sayangnya upaya Pemkab Bogor tersebut tidak diindahkan oleh Rizieq dan simpatisannya. Tanpa mendapatkan izin dari Satgas Covid-19 Bogor, Rizieq tetap menghadiri acara tersebut hingga menimbulkan kerumunan massa. “Upaya Pemkab Bogor diabaikan oleh terdakwa. Terdakwa melanggar masa karantina 14 harinya dan hadir ke agenda tersebut tanpa seizin Satgas Covid-19 Bogor”. Setibanya Rizieq di simpang Gadog Bogor pada 13 November 2020, tercatat 3.000 orang hadir. Dalam dakwaan itu tertulis, terdakwa tidak melakukan upaya apapun untuk mengimbau massa agar tidak berkerumun dan tidak membatasi jumlah peserta yang hadir sesuai ketentuan protokol kesehatan.

“Terdakwa justru dengan antusias bergabung ke massa yang hadir dan membiarkan kegiatan tersebut terselenggara mmulai pukul 9.00-23.00 WIB sehingga perbuatan terdakwa telah melanggar Keputusan Bupati Nomor 443/479/Kpts/Per-UU/2020 tanggal 27 Oktober 2020 tentang Perpanjangan Kelima Pemberlakuan PSBB Pra Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Sehat, Aman, Produktif di Kota Bogor.” Dalam Keputusan Bupati tersebut, waktu pelaksanaan kegiatan dalam masa PSBB yang diperbolehkan yaitu maksimal 3 jam. Sedangkan jumlah orang yang diperbolehkan datang dalam suatu acara maksimal 150 orang. Sepekan setelah acara tersebut berlangsung, 41 orang warga Bogor terinfeksi Covid-19, dan pada pekan berikutnya, 71 orang terinfeksi Covid-19. Kota Bogor pun masuk ke dalam zona merah Covid-19. Padahal sebelumnya masuk dalam zona hijau.

Satgas Covid-19 Bogor pun langsung melayangkan surat kepada Pondok Pesantren Rizieq untuk melakukan rapid test kepada seluruh siswa dan pengurusnya, namun ditolak dengan alasan ponpes tersebut telah melaksanakan rapid test pada 21 November 2020. “Dalam surat yang dikirimkan Ponpes terdakwa tertulis bahwa Satgas Kabupaten Bogor tidak diperkenankan melakukan rapid test.” Pasal-pasal yang dilanggar akibat timbulnya klaster baru Covid-19 di Kabupaten Bogor yaitu:

1. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

2. Pasal 14 ayat (1) UU No 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular

3. Pasal 216 ayat 91) KUHP

Kasus Berita Bohong RS UMMI

Perkara ini tercatat dalam nomor registrasi PDM-016/JKT.TIM/Eku/02/2021 yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nanang Gunaryanto pada 4 Maret 2021 terkait kasus penyebaran berita bohong bersama RS UMMI, Bogor, Jawa Barat. “Dakwaan pertama – bahwa terdakwa Habib Muhammad Rizieq Shihab bersama dengan Muhammad Hanif Alatas dan dr. Andi Tatat (penuntutan terpisah) pada hari Kamis, 26 November 2020 atau setidaknya pada bulan November 2020 di RS UMMI, Bogor, PN Jaktim berwenang mengadili mereka yang melakukan, menyuruh, dan turut serta melakukan perbuatan dengan menyiarkan berita bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,” dikutip dari surat dakwaan tersebut.

Dalam dakwaan tersebut, tercatat pada 12 November 2020, dr. Hadiki Habib dan dr. Tonggo Meaty Fransisca menerima surat pendampingan medis terhadap Rizieq dan keluarganya. Selanjutnya pada 23 November 2020, Hadiki dihubungi Hanif Alatas terkait keluhan Rizieq. Sebelum maghrib, Hadiki dan Tonggo tiba di kediaman Rizieq, membawa kelengkapan standar medis untuk memeriksa pasien yang diduga terpapar Covid-19, berupa: tas obat berisi obat standar, Alat Pelindung Diri (APD), alat swab antigen, dan alat USG Portable untuk paru-paru. Saat di-swab antigen oleh MER-C, Rizieq dan istrinya (Fadlun) dinyatakan positif Covid-19. Akhirnya terdakwa dan istrinya dirawat di lantai 5 RS UMMI pada tanggal 24 November 2020 malam. Dokter penanggung jawab pasien, dr. Nerina Mayakartifa memeriksa Rizieq dan istrinya. Rizieq didiagnosa mengidap infeksi paru karena Covid-19.

Pada 26 November 2020, Direktur Utama RS UMMI, Andi Tatat memberikan pernyataan kepada media TV One di RS UMMI yang diunggah di channel youtube Askah TV. Dalam pernyataannya, dia mengatakan bahwa Rizieq sehat dan tidak terinfeksi Covid-19. Keesokan harinya, terdakwa menolak swab-test yang mau dilakukan oleh Satgas Covid-19. Terdakwa juga melarang Satgas Kota Bogor mengetahui hasil swab test-nya yang dinyatakan positif itu. Keesokan harinya terdakwa membuat surat pernyataan bahwa dirinya tidak mengizinkan siapapun membuka informasi mengenai hasil swab-nya.”Tindakan terdakwa merupakan tindakan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, di mana Satgas dan Dinkes Bogor tidak bisa melakukan tracing dalam rangka penanggulangan Covid-19.” bunyi dakwaan tersebut. Selanjutnya pada 29 November 2020, channel youtube RS UMMI mengunggah video berjudul ‘Testimoni IB HRS Untuk Pelayanan RS UMMI’. “Saya saat ini ada di RS UMMI, sebentar lagi insya Allah akan kembali ke rumah karena saya rasa sudah segar sekali, alhamdulillah hasil pemeriksaan semuanya baik, mudah-mudahan tetap sehat wal afiat,” kata Rizieq dalam video testimoni tersebut.

Bukan hanya kedua video tersebut, namun Hanif Alatas juga sempat menyatakan bahwa kondisi Rizieq sehat wal afiat saat diwawancarai Kompas TV yang tayang di youtube Kompas TV. “Hanif Alatas dan Andri Tatat berpura-pura bahwa terdakwa tidak terinfeksi Covid-19. Keduanya mengelabui dengan memberitakan keadaan yang tidak sebenarnya padahal keduanya bisa menyangka bahwa pemberitaan yang mereka sebarkan ke youtube tersebut adalah berita bohong.” tulis surat dakwaan itu. Pasal-pasal yang dilanggar Rizieq, kasus penyebaran berita bohong tentang kondisi kesehatannya:

1. Pasal 14 ayat (1) UU RI No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

2. Pasal 14 ayat (2) UU RI No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

3. Pasal 15 UU RI No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

4. Pasal 14 UU RI No 4 Tahun 1946 tentang wabah penyakit menular Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

5. Pasal 216 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Mengundang Masalah Baru

Dakwaan yang diajukan kepada Rizieq Shihab sangat beragam dan sungguh memberatkan. Tetap boleh saja mengajukan pembelaan dan haknya dilindungi oleh undang-undang. Namun dengan sikap arogan yang ditunjukkan Rizieq Shihab dan tim kuasa hukumnya, hal ini sangat berpotensi mengundang masalah baru yang lebih memberatkan.  Komisi Yudisial (KY) menilai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memiliki kewenangan untuk menentukan proses jalannya persidangan terhadap Rizieq Shihab, dan kawan-kawan. Termasuk, menggelar sidang secara online demi mengurangi risiko penularan pandemi corona. Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata menyatakan Hakim memiliki landasan hukum kuat, yakni, PERMA Nomor 4 Tahun 2020 untuk menggelar sidang secara daring. Kata dia, hakim adalah pimpinan dalam persidangan, sehingga memiliki kewenangan penuh untuk mengambil sikap.

“Hakim mempunyai kewenangan penuh dengan mengambil sikap memanggil HRS untuk dihadirkan pada sidang virtual, walaupun hal tersebut juga dibatasi oleh hukum acara atau hukum formil,” kata Mukti dalam keterangannya. Persidangan secara daring memang dimungkinkan selama pandemi corona. Itu dilakukan demi meminimalisir penyebaran virus corona. Oleh sebab itu, kata dia, Majelis Hakim memiliki dasar pertimbangan karena pandemi di Indonesia belum teratasi. “Tetapi yang terpenting bahwa hakim telah menyatakan sidang terbuka untuk umum,” kata dia. Menurutnya, persidangan secara terbuka itu dapat diartikan publik bisa mengakses setiap proses persidangan. Meskipun tak langsung di pengadilan, namun akses itu dapat diperoleh publik secara virtual. Komisi Yudisial, jelas Mukti, bakal melakukan kajian dan analisis terhadap penolakan terdakwa Rizieq untuk hadir dalam sidang virtual tersebut. Secara formil, sidang memang dapat ditindaklanjuti dengan panggilan kedua, ketiga, panggilan paksa, bahkan disidangkan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Karena itu, dia meminta agar semua pihak yang berperkara dapat menghormati pengadilan dengan menjaga etika dan sikapnya. Permintaan itu disampaikan KY terkait tindakan penasehat hukum Rizieq yang keberatan sidang kliennya digelar secara virtual.

“Namun, argumentasi hakim juga akan dicatat oleh KY, apakah ada potensi pelanggaran KEPPH. Misalnya bersikap adil atau tidak, hakim bersikap disiplin khususnya berkaitan dengan sikap harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,” kata dia.

Melalui kewenangan yang dimiliki, KY akan melakukan advokasi terhadap hakim yang direndahkan martabatnya oleh pihak-pihak tertentu. Saat ini, analisis itu masih dalam kajian. Mukti mengatakan bahwa jika analisis itu berkesimpulan bahwa tindakan Rizieq masuk dalam kategori perendahan kehormatan dan keluhuran martabat hakim maka KY dapat mengambil langkah lanjutan, termasuk mengambil langkah hukum dengan melaporkan Rizieq kepada aparat penegak hukum. Langkah itu sesuai dengan Peraturan KY Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim. “Langkah lain, adalah tindakan yang dilakukan Komisi Yudisial berupa non litigasi yang dapat berupa, mediasi, konsiliasi, dan/atau somasi,” katanya.

Namun demikian, hingga saat ini KY belum merampungkan analisisnya itu dan tengah melakukan kajian. Diketahui, sidang Rizieq yang sedianya digelar pada Senin (15/3) lalu ditunda lantaran terdakwa menolak hadir. Pertama kali, kendala teknis menjadi alasan penolakan itu. Sidang kemudian dilanjutkan pada Jumat (19/3). Rizieq kembali bersikeras tidak menghadiri sidang apabila dilaksanakan secara virtual. Dia mengatakan kepada hakim bahwa dirinya akan datang ke persidangan apabila digelar secara offline.

Merendahkan Wibawa Pengadilan

Dengan kasus yang didakwaan kepada Rieziq Shihab, sebetulnya sudah terang benderang betapa banyak pelanggaran yang dilakukan dan jelas mengambil sebagian hak warga masyarakat lainnya. Maka yang harus mewakili aspirasi masyarakat lain yang terambil haknya adalah penegak hukum, Polri, Jaksa, Hakim dan Pengadilan itu sendiri agar dapat berjalan baik dan adil. Sebaliknya, terdakwa Rizieq Shihab malah cenderung merendahkan martabat penegak hukum dan pengadilan. Jelas ini sangat merugikan proses peradilan secara keseluruhan dan tatanan hukum dan perundang-undangan. Seperti disampaikan Komisi Kejaksaan (Komjak) yang menanggapi terdakwa Habib Rizieq Shihab (HRS) yang sempat menyebut jaksa ‘dungu’ terkait SPK ormas hingga menyumpahi diazab Allah saat membacakan eksepsi ketika sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). Komjak menilai seharusnya hakim mengingatkan Habib Rizieq untuk menjaga wibawa pengadilan.

“Memang hal seperti ini sering dihadapi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, berbagai tekanan sering digunakan untuk melemahkan mental aparat penegak hukum karena memang menegakkan hukum itu tidak mudah, karena berhadapan langsung dengan tugas menegakkan hukum dan keadilan, di satu sisi dan di sisi lain adanya perlawanan dari oknum yang bersangkutan,” kata Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak.

Barita menilai ungkapan kepada penegak hukum tidak masalah selama disampaikan secara wajar dan proporsional. Namun seharusnya hakim mengingatkan ketika sudah melewati batas. “Sepanjang proses itu terjadi dalan persidangan secara wajar dan proporsional saya kira tidak menjadi masalah, namun kalau sudah menggangu wibawa peradilan, saya kira hakim wajib mengingatkan dan menegakkan aturan yang ada demi menghormati wibawa peradilan bagi siapa pun,” ucapnya. Barita berkeyakinan selama ini kejaksaan hingga penyidik kepolisian sudah bekerja secara proporsional sesuai kewenangan yang diatur dalam UU. Dia juga meyakini mereka sudah biasa mendapatkan tekanan seperti itu dari terdakwa.

“Para jaksa yang bersidang sudah dibekali kompetensi yang cukup, sehingga kami yakin mereka akan tetap profesional dan tidak terpengaruh dengan berbagai tekanan itu,” ujarnya. Seperti diketahui, Habib Rizieq menuding Kepolisian dan Kejaksaan melakukan permufakatan jahat karena menyamakan undangan acara Maulid Nabi dengan hasutan melakukan kejahatan. Dia menilai hal tersebut sebagai bentuk dari logika sesat. “Di sinilah Kepolisian dan Kejaksaan telah melakukan mufakat jahat dalam menyamakan undangan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan hasutan melakukan kejahatan. Logika berpikir Kepolisian dan Kejaksaan yang menyamakan undangan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan hasutan melakukan kejahatan adalah logika sesat dan menyesatkan,” ucap Rizieq.

“Saya dan panitia Maulid mengundang umat datang untuk memuliakan Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai suri tauladan, bukan untuk menghasut umat melakukan kejahatan. Jika undangan Maulid difitnah oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagai hasutan kejahatan berkerumun, maka saya khawatir ke depan azan panggilan salat ke masjid dan undangan kebaktian di gereja serta imbauan ibadah di pura dan klenteng juga akan difitnah sebagai hasutan kejahatan berkerumun, sehingga ini akan menjadi kriminalisasi agama,” ungkapnya. Setelah menyampaikan tudingannya, Rizieq mengajak Kepolisian dan Kejaksaan bertobat. Dia mengatakan bahwa hasutan kejahatan dalam kasusnya merupakan fitnah. “Demi Allah saya bersumpah bahwasanya hanya manusia tidak beragama atau anti-agama yang memfitnah undangan ibadah sebagai hasutan kejahatan. Karenanya, melalui sidang ini, saya serukan kepada kepolisian dan kejaksaan, segeralah tobat kepada Allah SWT sebelum kalian kena azab Allah SWT,” tegasnya. Tak hanya itu, Habib Rizieq ternyata juga sempat menyebut jaksa penuntut umum dungu dan pandir. Ungkapan tersebut disampaikan Habib Rizieq saat membacakan ekspesi terkait SKT ormas.

“Semua ormas, baik yang punya SKT maupun tidak, dilindungi oleh konstitusi dan perundang-undangan. Jadi di sini jelas, JPU sangat dungu dan pandir. Soal SKT saja tidak paham, lalu dengan kedunguan dan kepandirannya mencoba sebar hoax dan fitnah,” ungkap Habib Rizieq. Mari kita saksikan kelanjutannya. Bukankah tuduhan dungu, pandir, adanya permufakatan jahat tanpa disertai bukti yang memadai, juga masuk dalam kategori fitnah yang membahayakan?  Dan kalau memakai hukum agama, bukanlah orang yang melakukan tuduhan tersebut sudah melakukan dosa besar? Mari kita renungkan dan pertimbangkan dengan akal sehat dan tetap tenang. (Saf)

Artikel sebelumyaRadikal Istilah yang Bermetamorfosis, Tidak Sekadar Kepompong Menjadi Kupu-kupu
Artikel berikutnyaMadzhab Halal Indonesia: Gabungan Sains dan Fiqih, Menjangkau Semua Potensi Titik Kritis Kehalalan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here