Oleh: Ady Amar

Hidayatullah.com | Melihat sepotong Indonesia bisa darI mana saja, dan itu berkenaan dengan kebijakan yang dimunculkan. Bahkan Indonesia bisa dilihat dari kebijakan pada sektor kecil tertentu sekalipun.

Tentu ada parameter untuk melihatnya, sehingga bisa dibuat satu kesimpulan, bahwa itu sebuah kebijakan yang berdiri sendiri, atau bahkan justru saling terkait satu dengan lainnya.

Kesimpulan pun tidak muncul begitu saja, tanpa ada peristiwa yang melatarbelakangi. Peristiwa yang muncul, itu bisa disengaja dimunculkan untuk membuat kebijakan lebih luas.

Maka peristiwa demi peristiwa muncul, seperti diskenariokan. Plot-plotnya seperti drama yang dimainkan. Alur cerita bisa mudah di baca atau sebaliknya.

Alur cerita itu bisa diambil dari mana saja, dari peristiwa apa saja. Maka kita ada dalam permainan drama itu, tentu tidaklah sebagai lakon utama, peran figuran pun tidak. Mungkin kita cuma ada dibarisan penonton pasif.

Bangunan kisah bisa dimulai dari peristiwa yang seolah kecil, tapi lambat laun tidak mustahil bisa jadi role model untuk mengambil kebijakan pada skala yang lebih luas tentang apa yang diperkenankan dan sebaliknya.

Baca: Anti Kritik Rezim yang Ditorpedo

Istilah Radikal PT Pelni

Sebagai penonton adegan disuguhkan, yang plot cerita sudah dibuat. Suka atau tidak suka, itu yang dimainkan-dipertontonkan. Maka kita cuma bisa menggerutu jika kisah itu tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Pekan ini suguhan kisahnya adalah “Pelarangan Kajian Ramadhan”. Itu di PT Pelni, sebuah BUMN. Maka dimunculkan isu radikalis pada penceramah yang berencana mengisi tausiah melalui daring.

Pengisi materi pada acara itu, adalah para ulama yang tergolong sejuk. Bahkan jauh dari mengkritik kebijakan pemerintah. KH Cholil Nafis, salah satu pengisi materi, adalah salah satu Ketua MUI, yang jika harus mengkritik itu dengan bahasa halus lembut.

Sedang pengisi materi lainnya, adalah da’i-da’i Salafiyah (Salafi), yang jauh dari mengkritik kebijakan rezim. Bahkan mengkritik rezim yang sedang berkuasa, itu semacam “diharamkan”.

Tapi kalau radikalis itu karena mereka tampil dengan jenggot lebat dan celana cingkrang, maka para da’i Salafi itu pantas terkena stempel radikalis, karena mereka akrab dengan jenggot dan celana cingkrang.

Ustad Syafiq Reza Basalamah, salah satu pengisi materi, memang berjenggut lebat. Bahkan jenggotnya bisa jadi lebih panjang dari ukuran wajahnya. Tapi jika mendengar kajiannya, cuma masalah ringan yang disampaikan, lebih pada masalah keseharian.

Ada yang lalu menyebutnya, sangar di penampilan wajah tapi lembut dalam penyampaian materi. Begitu pula dengan para pemateri lainnya. Tapi jika jenggot dan celana cingkrang yang mereka kenakan menjadikan mereka distempel radikal. Maka bisa disimpulkan bahwa istilah radikal itu tengah bermetamorfosa.

Baca: Narasi Kontroversial Menteri Hilang Akal

Istilah radikal yang bermetamorfosis, bisa terus berkembang, tidak sekadar kepompong yang berhenti saat menjadi kupu-kupu. Definisi radikal itu terus akan berkembang di tangan mereka yang menginginkan. Berkembang dengan sesuka-sukanya.

Dan jika kasus PT Pelni ini dibiarkan oleh Kementerian BUMN, atau tidak ada koreksi dari Kementerian Agama, meski MUI telah mengomentari pelarangan itu. Maka bisa disimpulkan, bahwa kasus PT Pelni ini memang menjadi kebijakan, yang akan ditularkan pada Perusahaan BUMN lainnya, bahkan pada departemen lainnya.

Dari PT Pelni, bangunan kisah melihat sepotong Indonesia tentang kebijakan pelarangan dakwah pada para da’i tertentu bisa dilihat dengan terang benderang. Semua bisa melihat kisah itu, meski kisah yang tidak disuka, dengan hati dongkol. Dan karenanya, ingin sesegera mungkin mengakhirinya. (*)

Kolumnis, tinggal di Surabaya

Baca Opini Ady Amar lainnya

 

Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil

Artikel sebelumyaPolisi Tidak Kriminalisasi Ulama, Yang Ditangkap Memang Melanggar Hukum
Artikel berikutnyaHakim, Polri dan Pengadilan Bertindak Mewakili Hak Warga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here