Dari hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)  2017 dilaporkan ada 143,26 juta dari total 262 juta orang Indonesia  yang rutin mengakses internet. Dari 143,26 juta itu, 49,52% anak muda, dengan rincian usia, 13-18 tahun di angka 16,68%, 19-34 di angkta 49,52%,, 35- 54 di angka 29,55%, dan di atas 54 tahun di angka 4,24%. Pengguna sosial media terbesar juga kelompok milenial, tidak hanya menggunakannya sebagai sumber informasi tapi juga untuk eksistensi diri, dengan konten yang isinya sangat personal dan subyektif. Rata-rata mereka menghabiskan 4 jam di jaringan internet pada Januari 2020. Ironisnya, Indonesia tercatat sebagai negara yang amat tinggi tidak saja dalam peretasan online, tapi juga cyberbulling dan penyebaran hoaks. Indonesia bahkan masuk peringkat negara paling tidak sopan dalam berinternet di Asia Pasifik. Masalah pemahaman akan literasi digital masih menjadi  masalah serius di Indonesia. Berangkat dari data di atas, tampaknya masalah literasi digital menjadi urgent.

Jakarta, 16 Maret 2021. Program literasi untuk meningkatkan pemahaman dan kedewasaan masyarakat dalam memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi program prioritas Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri. Program ini pun dianggap strategis untuk upaya pencegahan tindak pidana siber paling ampuh. Namun demikian, menurut Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Mabes Polri Brigjen Slamet Uliandi masukan-masukan dari berbagai pihak masih amat diperlukan agar program ini tepat sasaran dan efektif. Apakah itu  masukan dalam bentuk diskusi, narasi atau penambahan-penambahan penyusunan rencana tindak lanjut (RTL) Program ini. (12/8/2020). Tampaknya terdapat hubungan erat antara rendahnya pemahaman literasi digital dengan naiknya angka penyebaran hoaks di Indonesia. Aktivitas penggunaan internet di Indonesia meningkat selama pandemi Covid-19, seiring dengan laju penyebaran hoaks.

Guna menaikkan literasi digital selama merebaknya epidemi Covid-19, Kemkominfo sudah meluncurkan hotline COVID-19 di WhatsApp untuk membantu dan memberi saran perawatan kesehatan resmi yang akurat dan tepat waktu kepada masyarakat. Mereka juga memberi tips-tips praktis untuk pencegahan penyebaran virus. Menurut staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto, literasi digital adalah upaya yang harus dilakukan terus-menerus guna meningkatkan sikap dan kemampuan seseorang memanfaatkan teknologi digital untuk mengakses, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Karena penegakan hukum di hilir, menurutnya hulunya ialah pencegahan melalui literasi digital tersebut. Selain hukum, perlu pula  diadakan pendekatan budaya melalui literasi digital kepada masyarakat.

Angka Pengguna Internet

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)  2017 melaporkan ada143,26 juta dari total 262 juta orang Indonesia  yang rutin mengakses internet. Dari 143,26 juta itu, 49,52% anak muda, dengan rincian usia, 13-18 tahun di angka 16,68%, 19-34 di angkta 49,52%,, 35- 54 di angka 29,55%, dan di atas 54 tahun di angka 4,24%.  Pengguna sosial media terbesar juga kelompok milenial, tidak hanya menggunakannya sebagai sumber informasi tapi juga untuk eksistensi diri, dengan konten yang isinya sangat personal dan subyektif. Rata-rata mereka menghabiskan 4 jam di jaringan internet pada Januari 2020.

Ironisnya, Indonesia juga tercatat sebagai negara yang amat tinggi tidak saja dalam peretasan online, tapi juga cyberbulling dan penyebaran hoaks. Indonesia bahkan masuk peringkat negara paling tidak sopan dalam berinternet di Asia Pasifik. Masalah pemahaman akan literasi digital sepertinya masih menjadi  masalah yang cukup serius di Indonesia. Berangkat dari data di atas, tampaknya masalah literasi digital yang sedang kita bicarakan adalah menyangkut generasi milenial khususnya.

Paul Gilster dalam Digital Literacy (1997) menyatakan literasi digital adalah kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. Kalau ditengarai banyak orang Indonesia yang masih belum tahu atau peduli dengan konsep fake atau tidak dari suatu informasi atau konten yang di internet, berarti sesungguhnya kita sedang membicarakan kelompok ini yang perlu disasar secara khusus karena yang paling membutuhkannya.

Masalah literasi digital di Indonesia

Untuk memahami literasi digital di Indonesia seharusnya kita melihat pula tingkat urgensi literasi pada umumnya karena hubungan eratnya. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2019 menunjukkan rata-rata indeks Literasi membaca (Alibaca) di Indonesia masih tergolong rendah, berada pada titik 37,32 persen. Data ini menunjukkan bahwa yang paling penting dibenahi sekarang ini sesungguhnya perbaikan sistem pendidikan yang mampu meningkatkan literasi umum ke arah literasi digital.  Membandingkan dengan Australia misalnya, sekolah  di negeri ini sudah lama menyertakan program literasi digital dalam pelajaran sekolahnya. Hal ini terbukti berguna menekan munculnya kasus-kasus cyberbullying selama ini.

Hal seperti ini tentu bisa diikuti Indonesia karena masalah literasi adalah masalah global bersama, yakni soal bagaimana melakukan pendekatan pelatihan daya nalar atau daya pikir di kalangan generasi yang muda. Ini agar tidak terjadi gagap budaya ketika mengadopsi model berkomunikasi beretika baru lewat alternatif.

Beberapa inisiatif

Laporan Digital Report 2019 yang dirilis We Are Social dan Hootsuit  menyatakan temuan menarik bahwa 83 persen pengguna internet di Indonesia adalah pengguna WhatsApp. Platform ini ditengarai juga menjadi alat paling populer menyebarkan berita-berita hoaks selama ini. Di sisi lain, tingginya pengguna WhatsApp di Indonesi berdampak pula pada peningkatan risiko pelanggaran privasi dan data pribadi. Karena alasan itulah Universitas Gadjah Mada (UGM) dan WhatsApp berinisiatif mengadakan program pelatihan “Perempuan Melawan Hoaks Politik di WhatsApp Grup dalam Pilkada 2020” untuk mendukung upaya memerangi penyebaran hoaks sepanjang Pilkada 2020 dalam konteks literasi digital pada Oktober 2020.

Walaupun tidak menyasar kelompok milinial yang di atas diargumentasikan sebagai kelompok penting, ada banyaknya kelompok perempuan di antara milenial memberi harapan untuk pengetahuan yang kita perlukan. Apalagi bagi perempuan di Indonesia, WhatsApp dianggap perpanjangan kehidupan sosial karena lebih dari separuh grup WhatsApp mereka merupakan keluarga dan teman-temannya. Menurut Novi Kurnia, Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi UGM, sebanyak  70 persen dari 1.250 responden perempuan dalam program itu mempunya hingga 10 grup WhatsApp, di mana juga menjadi tempat mereka terpapar hoaks dan disinformasi.

Perempuan menjadi target dalam komunitas sehingga penting diberi pelatihan literasi digital. Program ini diharapkan mendorong perempuan agar mampu berperan aktif sebagai agen literasi digital melawan hoaks dan ujaran kebencian di tengah-tengah pandemi Covid-19 sampai sekarang ini.

Keterlibatan Semua pihak

Akhirnya penting digarisbawahi bahwa kesungguhan masyarakat, komunitas dan pemerintah berkolaborasi bersama mencari solusi-solusi mengatasi rendahnya literasi digital perlu segera difikirkan,terutama untuk menargetkan kelompok milenial secara keseluruhan. Sekretaris Jenderal Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosarita Niken Widiastuti telah menekankan perlu kerjasama berbagai pihak untuk terjun langsung mencerdaskan masyarakat di bidang digital ini. Sementara Semuel A. Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo mengajak semua pemangku kepentingan di Indonesia agar berkontribusi secara aktif  terutama dalam penjangkauan literasi digital hingga ke pelosok dan daerah di seluruh Indonesia. (Isk – dari berbagai sumber)

Artikel sebelumyaLaporkan Polisi Bila Aksi Cyberbullying Menimpa Anak Kita
Artikel berikutnyaPesan Silaturahim Menag dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here