Hidayatullah.com – Guru besar Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Jakarta, Prof Dr Din Syamsuddin mengaku prihatin dengan tuduhan radikal terhadap sejumlah tokoh Islam akhir-akhir ini. Menurutnya, tuduhan seperti ini jelas tidak beralasan dan kebablasan.
“Tuduhan-tuduhan itu tidak tepat dan mengada-ada. Seandainya umat Islam radikal atau penganut radikalisme (khususnya politik) maka tidak akan ada Negara Pancasila. Justeru karena kenegarawanan dan toleransi tinggi para tokoh Islam maka Negara Pancasila ada, “ katanya Din hari Rabu (6/5/2021) di Jakarta.
Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005–2015) ini, Republik Indonesia ada karena kerelaan hati 73 Kesultanan (Kerajaan Islam dari Aceh hingga Tidore) yang mengintegrasikan diri ke dalam negara bangsa dengan syarat mampu mewujudkan kesejahteraan. Begitu pula, tidak akan ada stabilitas Indonesia jika umat Islam tidak toleran.
“Justeru karena toleransi tinggi umat Islam maka kerukunan nasional relatif baik selama ini,” tambahnya.
Menurut Vice Secretary General, World Islamic People’s Leadership, berbasis di Tripoli ini, tuduhan radikal terhadap umat Islam dinilai sebagai gerak politik dari “musuh politik umat Islam”. Gerak politik ini menurutnya dapat didorong oleh beberapa sebab.
Pertama, hal ini boleh jadi karena ketakutan terhadap kebangkitan umat Islam sehingga mereka memandang perlu melakukan preemptive action atau aksi yang mendahului. “Ini adalah cara yang sering dilakukan oleh kaum Komunis,” ujarnya.
Kedua, tuduhan itu dilakukan dalam rangka mematikan langkah kelompok Islam dalam arena politik, sehingga mereka dapat berkuasa atau melanggengkan kekuasaan. “Kelompok ini sebenarnya takut terhadap potensi besar umat Islam dalam politik, tapi mereka juga mengetahui cara untuk melemahkannya.”
Ketiga, tuduhan itu merupakan bagian dari skenario global yang bersekongkol dengan komrad-komradnya di dalam negeri yang sama-sama khawatir akan kebangkitan gerakan populisme Islam di Indonesia. “Cara yang biasa mereka lakukan adalah politik kolonial divide et empera atau politik adu domba. Memang kelemahan umat Islam adalah sulit bersatu,” tambah Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini.
Yang jelas, menurut Din, tuduhan radikal terhadap umat Islam dapat ditengarai datang dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan (the ruling groups) sehingga merasa mampu dan perlu menggembosi kekuatan umat Islam. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk penuduhan yang berujung pada penangkapan dan pemenjaraan tokoh-tokoh Islam.
Juga ada modus lain yaitu menjerat figur-figur tertentu dengan alasan-alasan yang dinilainya absurd. Hal ini pernah terjadi pada Era Soekarno dengan dipenjarakannya sejumlah tokoh Islam.
Pada Era Orde Baru, kalangan Islam dituduh sebagai ekstrim kanan dan anti-Pancasila, walau Pemerintah Orde Baru kemudian sadar bahkan Soeharto menampilkan pembelaan terhadap umat Islam.
Pada Era Jokowi tuduhan radikal terhadap kalangan Islam dinilai terkesan berlangsung sistematis, masif, terstruktur, dan berani. Bahkan, tuduhan-tuduhan itu dilakukan oleh orang-perorang yang dengan sombong dan berani menghina dan menistakan lambang-lambang Islam, kata Din.
“Sayangnya terhadap pelakunya negara tidak selalu hadir, bahkan terkesan tidak adil. Ada yang mencurigai dengan patut menduga bahwa tuduhan radikal terhadap kalangan Islam itu merupakan bagian dari sebuah operasi yang menggunakan muzzling approach atau pendekatan membungkam lawan,” katanya. ”Tidak bisa dilepas dari asumsi ini bahwa tuduan radikal yang juga diarahkan kepada figur-figur kritis terhadap penyelenggaraan negara adalah bagian dari pada mekanisme pengamanan diri (self defence mechanism) kaum oligarkis baik politik maupun ekonomi agar tetap menguasai,” tambah Honorary President, World Conference on Religions for Peace (WCRP), berbasis di New York ini.
Kaum oligarki ini, kata Din, mengendalikan dengan membiayai para buzzer yang bertugas melakukan character assasination terhadap figur-figur umat Islam. “Mereka dinilai berani dan bebas bergerak karena mendapat pengamanan dari aparatur negara (buktinya mereka tidak pernah terjerat hukum padahal sudah diadukan).”
Bagaimana umat Islam menghadapi tuduhan itu? “Tenang saja. Biar mereka berulah. Lihatlah sambil tertawa. Tentu sambil meyakini dan berdoa wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makirin (mereka merekayasa dan Allah merekayasa. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik perekayasa, red), ” kata anggota Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor ini.
Ia berharap, mutlak semua elemen umat Islam bersatu dengan menghilangkan egoisme kelompok, sambil menahan diri dan tidak terjebak ke dalam hasutan atau provokasi untuk terlibat dalam tindak kekerasan. Din menilai, sesungguhnya kelompok-kelompok penuduh itu sebenarnya tidak mengamalkan Pancasila, maka umat Islam justeru perlu tampil mengawal Pancasila dan UUD 1945 yang telah disepakati oleh para pendiri Negara.
Din menilai tuduhan radikal terhadap umat Islam bersifat kontra produktif dan akan menjadi bumerang bagi pelakunya. Jika tuduhan demikian tidak segera dihentikan maka terdapat dua kemungkinan.
“Pertama, ada dari kalangan Islam yang akan melawan dalam rangka pembelaan diri secara radikal pula (cara radikal dilawan dengan cara radikal). Kedua, kekuatan politik dan sosial Islam akan bersatu dengan dukungan massa luas yang akan tampil mengawal Negara Pancasila dan mengenyahkan kelompok-kelompok penuduh radikal yang hanya bertopeng pada Pancasila,” ujarnya.
Kedua kemungkinan ini, menurutnya memiliki alasan kuat dan momentum untuk terwujud.*
Rep: Ahmad
Editor: Insan Kamil