Peristiwa Bom Sarinah begitu membekas di benak banyak orang di Indonesia. Aksi teror yang lebih bervariasi pun masih terus dilancarkan oleh pelaku yang sama. Aksi teror bom baru-baru ini terjadi di gereja Katedral Makassar Sulsel. Keberhasilan Polri yang bergerak cepat dihargai sebagian masyarakat yang memuji kinerja Polri  daam memastikan pelakunya. Ini tampaknya telah memunculkan sentimen positif dan menaikkan tokoh kepahlawanan aksi polisi dalam penanganan teror di Indonesia. Apresiasi masyarakat diperoleh baik di publik maupun di dunia maya. Namun di pihak lain, ada sebagian pihak yang berusaha mendeskriditkan kerja polisi dengan memutarbalikkan faktanya.

Jakarta, 31 Maret 2021. Tanggal 14 Januari 2016 adalah hari kelabu bagi warga DKI Jakarta karena terjadinya serangan teroris dan rentetan bom di salah satu jalan utama dan tersibuk di ibukota itu. Ledakan bom di sebuah kafe itu membuat warga panik. Sebagian menjauhi sumber ledakan, sebagian mendekat untuk mencari tahu penyebab ledakan. Sebelum kepanikan reda, sebuah ledakan di kantor pos polisi pun terdengar. Disusul baku tembak antarpolisi dan teroris yang telah membuat warga panik.

Dengan kondisi Jakarta yang sedang mencekam, Polri bergerak cepat. Dalam waktu 22 menit mereka berhasil menumpas para teroris itu. Meski serangan itu sukses, namun telah menyebabkan 7 orang tewas dengan  4 di antaranya pelaku teroris itu sendiri. Peristiwa Bom Sarinah ini begitu membekas di benak banyak orang di Indonesia. Aksi teror yang lebih bervariasi dilancarkan oleh pelaku yang sama. Aksi teror baru-baru ini terjadi di gereja Katedral Makassar di Sulsel.

Keberhasilan Polri yang bergerak cepat dihargai oleh sebagian masyarakat yang memuji kinerja Polri memastikan pelakunya. Hal ini tampaknya telah memunculkan sentimen positif dan menaikkan tokoh kepahlawanan aksi polisi dalam penanganan teror di Indonesia. Apresiasi masyarakat diperoleh baik di publik maupun di dunia maya. Namun di pihak lain, ada sebagian pihak yang berusaha mendeskriditkan kerja polisi dengan cara memutarbalikkan faktanya. Isi film “22 Menit yang merujuk pada keberhasilan polisi mengatasi aksi teroris yang bagi para pengkritisinya dianggap propaganda Polri kemudian diadu dengan kemunculan cuplikan video Gusdur yang menjadi viral  di Twitter karena prasangka pada polisi sebagai pelaku ketimbang yang menjadi tersangkanya.

Film ‘22 Menit”

Diproduksinya film ’22 Menit’ merupakan upaya memenuhi kebutuhan memotret kehidupan polisi dan situasi pelaku pada saat kejadian dan setelah kejadian. Film ini disebut 70 persen berdasarkan kejadian dan baru sisanya fiksi. Para penonton sejak awal langsung diajak masuk ke dalam cerita untuk melihat dan merasakan suasana teror di Jalan Thamrin dari dekat. Penceritaan film juga mengambil banyak sudut pandang, yang mengingatkan penonton pada film Vantage Point (2008). Upaya membuat kesamaan itu  bertujuan agar penonton bisa merasakan emosi atas banyak hal, antara lain beratnya tugas polisi, sosok polisi sebagai orang biasa yang mencintai keluarganya, pesuruh kantor yang jadi tulang punggung keluarga atau sekadar kesibukan masyarakat beraktivitas sehari-hari di sekitar Jalan Thamrin Jakarta.

Semua hsl itu ditampilkan lewat karakter polisi pemburu teroris Ardi (Ario Bayu), polisi lalu lintas Firman (Ade Firman Hakim), office boy Anas (Ence Bagus), korban tilang yang dibawa ke pos polisi Dessy (Ardina Rasti), dan korban di kafe Mitha (Hana Malasan). Menariknya, film ini ternyata berdampak besar, paling tidak terhadap pemain-pemain utamanya. Heroiknya cerita tentang polisi yang menangani Bom Thamrin, membuat aktor utamanya, Ario Bayu merasa lebih kagum dengan sosok personel kepolisian, terutama yang berkiprah pada penumpasan aksi-aksi terorisme di Indonesia.

“Sebelum memerankan sosok Ardi, saya berkesempatan berlatih dengan porsi latihan layaknya seorang anggota kepolisian. Saya kagum dengan sosok polisi yang dalam kondisi genting masih dituntut agar tetap tenang dan tidak gegabah. Apalagi ditambah harus membawa peralatan kepolisian yang berat,” katanya. Aktivitas bootcamp untuk keperluan film dilakukan di Mako Brimob. Ario sempat melakukan latihan pengenalan alat, persenjataan, latihan fisik maupun strategi penyergapan.

Ade Firman yang berperan sebagai Polantas Briptu Firman merasakan dampak positifnya pula. Awalnya ia bersikap negatif terhadap polisi karena citra mereka yang sering menilang masyarakat. Setelah film ini, persepsinya mengenai polisi berubah. Bahkan kini is merasa kagum dengan keahlian dan kemampuan polisi. Ia makin menyadari polisi memiliki tugas berat dalam pengamanan warga negara Indonesia dari kriminalitas. “Jadi ibaratnya tak kenal maka tak sayang. Semoga masyarakat bisa lebih dekat dan mengenal Polri,” katanya.

Film tentang polisi yang lebih kritis perlu diperbanyak

Film ini mungkin masih jauh dari sempurna. Plot ceritanya masih datar dan kurang bervariasi. Beberapa pengamat menilai film ini akan lebih berbobot bila bahan-bahan dari media juga digunakan. Sebab tampaknya sumber utamanya adalah sumber kepolisian itu sendiri. Mengingat belum banyak menampilkan personel polisi dan aksi-aksi menghadapi berbagai kejahatan, hadirnya film ini penting dan harus dilihat sebagai bahan edukasi positif atas peran polisi dalam penanganan terorisme di Indonesia.

Industri film Hollywood atau India telah banyak memproduksi film-film mengenai peran polisi dan berbagai aspeknya. Narasi cerita mereka juga bervariasi dan disertai teknik yang semakin maju.  Kesempatan pembuatan film-film bertema polisi dan peranannya di Indonesia masih sangat lebar, terutama untuk penggambaran kerja  pemolisian yang profesional di era baru. Film yang bisa menghibur dan mengedukasi masyarakat dan bertema kejahatan atau teror-teror pengeboman sebenarnya banyak sekali aspeknya. Karenanya, insan-insan perfilman dan pihak Polri harus lebih dekat berkolaborasi memanfaatkan kekayaan informasi yang ada, yakni mengenai pelaku, motif, serta bahan laporan media massa dan media sosial.

Masyarakat Indonesia masih banyak memerlukan munculnya film-film baru yang dapat menjembatani pemahaman atas anatomi teror, upaya dan bagaimana dampaknya dalam masyarakat di Indonesia. Yang penting digarisbawahi juga adalah bahwa film mestinya diciptakan berdasarkan riset yang bagus, balans dan tidak terkesan dijadikan alat propaganda. Elemen mengedukasi bagus sebagai upaya preventif.

Film ’22 Menit’: Alat propanda Polri?

Film ’22 Menit’,  merupakan satu-satunya film tentang peran polisi dalam film-film Indonesia.  Mengingat unsur kepahlawanan dan dukungan dana pemerintah digunakan di masa lalu untuk propaganda, dapatkah film ini dikategorikan sebagai film propaganda Polri? Tidak dapat disangkal aspek pembelajaran dalam film ’22 Menit’ berguna bagi bangsa Indonesia agar waspada dan bahu-membahu meredamkan jaringan terorisme.

Adegan pengeboman yang digarap serius memberi gambaran dan efek kuat dari film bagi penontonnya, tidak saja untuk adegan-adegan aksi baku tembak. “Kita berharap film ini menjadi pembelajaran soal antiterorisme di Indonesia. Kita sebagai warga sipil bisa punya andil membantu tugas mereka dengan cara waspada dan senantiasa berani melapor,” Demikian penjelasan produsernya, Lexy Mere.

Peresensi film harian Kompas, Lucky Natalia menyatakan bahwa film yang tayang perdana pada 19 Juli 2018 ini memang sangat bergaya Hollywood. Namun yang terpenting menurutnya keberhasilan mengedukasi penonton muda agar tidak perlu takut dengan terorisme dan selalu bersatu melawan segala aksi yang mengancam negara. Film ini membawa banyak pesan kuat bahwa di setiap kejadian bom, pasti ada orang-orang yang terdampak dahyat dalam hidup mereka. Korban-korban teror bom ini sesungguhnya adalah masyarakat Indonesia sendiri.

Namun tampilan slogan-slogan kebangsaan dan nuansa nasionalistik di film ini, menurut Zahrotustianah dan Mohammad Y Prasetya, memang dibuat untuk menumbuhkan rasa nasionalisme penontonnya, baik dilihat dari penokohan maupun adegan-adegannya. Tanggapan negatif terhadap film ini merupakan refleksi masih kuatnya narasi dan persepsi film-film keamanan dan penegakan hukum masih belum dapat dipisahkan dengan tujuan propaganda seperti di masa lalu di Indonesia. Dalam budaya modern hingga kini, masih banyak sikap sinis dan kritis masyarakat dan intelektual  Indonesia terhadap birokrat, politisi dan aparat keamanan/pihak kepolisian. Transparansi dan akuntabilitas yang ada belum memuaskan sehingga berkontribusi pada masih kuatnya persepsi  tersebut pada masyarakat luas.

Kapolda Metro Jaya waktu itu.,Tito Karnavian muncul sebagai cameo  di film. Banyak yang menganggap ini pertanda Polri sponsornya. Tito Karnavian digambarkan di film, tidak menggunakan helm saat bermotor bersama istrinya dan terlihat mencoba ‘jual nama’ Kapolri agar terbebas dari proses tilang oleh Firman sang Polantas. Di sini dianggap ada pesan sponsor yang kuat. Penonton lain menganggap film ini secara tidak langsung menunjukkan semua masalah terorisme bisa diselesaikan karena pelakunya selalu berhasil ditangkap aparat Polri yang tanggap dan cepat. Ini dianggap ironis karena kasus-kasus di luar negeri saja belum tentu  secepat itu ditangani. Sebagian masyarakat juga heran mengapa film ini tidak berusaha menjelaskan motif dan alasan di balik aksi bom pelakunya. Apakah penekanan masih pada saat peristiwa itu terjadi dan aksi pasca pengeboman saja?

Atau apakah karena mereka kekurangan atau ada alasan lain yang sensitif? Misalnya dikawatirkan bisa memicu polemik mengenai hubungan teror dengan agama. Seorang kritisi film Putu Radar Bahurekso menyatakan terus terang bahwa penggambaran polisi di film ini masih terlalu hitam putih dan hanya menghadirkan polisi yang narsis. Seseorang penonton melihat slogan ‘Profesional Modern Terpercaya (Promoter)’ dari Polri ada di dalam film ini sebagai bukti  bahwa Polri sponsor dan digunakan sebagai alat propaganda.

Menentukan kategori film propaganda

Membicarakan apakah sebuah film adalah propaganda atau tidak, khususnya di Indonesia, harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Sejarah Nazi Jerman paling jelas memperlihatkan digunakannya film sebagai alat propaganda Hitler. Dalam bukunya Mein Kamf, Hitler menyatakan pesona gambar memiliki kesempatan yang lebih baik dan lebih cepat untuk membuat seseorang langsung memahami suatu pesan. Itu sebabnya ia tercatat dalam sejarah menggunakan film untuk menggiring opini publik di era 1930-an, terutama untuk penyaluran ideologi anti semitisme, dengan cara dipertontonkan kepada siapa saja yang disasarnya.

Film-film propaganda juga melakukan pembingkaian dan menyuruh tim tertentu untuk menyutradarainya.Italia di bawah diktator fasis Musolini Fasis juga percaya bahwa sinema merupakan senjata yang kuat.  Ia pernah mendirikan rumah produksi film pada 1936 untuk memproduksi materi propaganda dan edukasi sesuai ideologi  yang berfokus pada kesuksesan militer dan kemajuan sosial. Dari sini, sejarah propaganda dalam film kemudian berkembang dengan munculnya film-film propaganda pemerintah oleh Uni Sovyet (Rusia) dan Amerika Serikat.

Peneliti film Indonesia dari Australia Khrisna Sen berargumentasi bahwa di bawah Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno, film-film produksi Amerika memiliki peran-pesan khusus sehingga diboikot. Ketika Orde Baru didirikan, film propaganda bertema sejarah kepahlawanan mulai diproduksi oleh Pemerintah. Sejak 1970-an telah diupayakan memberikan gambaran luas kepada masyarakat mengenai peran kepahlawanan Soeharto dalam fase-fase kehidupan dan karier tentaranya. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budi Irawanto menyatakan bahwa film Janur kuning (produksi PFN 1981) menampilkan sosok Soeharto sebagai pahlawan melawan Belanda selama 1946-1949.

Peran yang sama juga muncul dalam film Serangan Fajar yang melegitimasi Rezim Orba sebagai pahlawan utama Revolusi Indonesia. Film-film itulah yang tergolong film propaganda di Indonesia karena merupakan pembenaran bagi kendali politik Orba di bawah Suharto. Film Gerakan 30 September membingkai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya sebagai dalang tunggal peristiwa kelam ditayangkan sebagai bahan edukasi pada setiap malam 30 September di televisi. Adrian Jonathan Pasaribu mengatakan bahwa sejak Reformasi, modus produksi film-film pesanan pemerintah berubah. Meski negara tetap menyalurkan uang dan mendukung misalnya lewat izin penggunaan lokasi syuting, pembuat film ‘propaganda; biasanya pihak swasta.

Pembelaan Sutradaranya

Eugene Panji sutradara film’22 Menit’ tidak suka dikatakan film hasil garapannya dianggap film propaganda. Walau demikian, ia menekankan film ini mendapat bantuan yang besar dari pihak kepolisian terutama di segi teknis seperti penyediaan barakuda, helikopter dan bantuan izin syuting di car free day. Pemain-pemainnya juga berkesempatan dilatih soal kemampuan sebagai satuan anti terorisme dalam aksi pengamanan dan penyelamatan, cara memegang senjata, mengenakan rompi antipeluru dan menghadapi teroris.

“Film ini murni tentang kemanusiaan, yang direfleksikan lewat lima sudut pandang/karakter yang berbeda yaitu polisi, pengunjung kafe, pengguna jalan dan pekerja,” demikian jelasnya. “Humanisme sangat penting bagi saya. Film ini bukan tentang politik, agama, ataupun kultur, tetapi poinnya tentang humanisme. Ini adalah kisah-kisah tentang Anas dan Hasan yang memberitahu bahwa rakyat kecil menjadi korban. Kisah AKBP Ardi dan Firman bahwa polisi juga manusia biasa dan pnya keluarga dan kisah asmara seperti layaknya semua orang.” Tambahnya.

Tentang Cuplikan Video Gus Dur

Sekarang ini tengah ramai dan viral di twitter cuplikan video lama Gus Dur yang menyinggung isu soal polisi dan bom. Pengunggahnya dengan tendensius menunjukkan bahwa seharusnya polisi juga dicurigai untuk  menjawab pertanyaan soal milik siapa bom itu. Ini jelas merupakan pelontaran wacana kontra dengan maksud agar kecurigaan aksi bom-bom di Indonesia bisa dialihkan dalam bingkai kerja Polisi  daripada menyalahkan jaringan terorisme yang sudah berkali-kali dibuktikan terlibat dalam aksi-aksinya.

Cuplikan video itu sebenarnya berasal dari rekaman acara ‘Dateline di TV SBS Australia program 12 Oktober 2005 lalu. Saat itu, Gus Dur diwawancara jurnalis Australia dalam rangka menanggapi kasus Bom Bali yang masih pada tahap awal penyelidikan.  Wawancara itu terdengar heboh terutama komentar Gus Dur mengenai polisi. Namun sesungguhnya program harus dilihat secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong.  Harus dicatat bahwa Presiden Gus Dur saat itu sangat populer di Australia, bahkan film dokumenter kehidupannya di istana negara sempat diproduksi dan disiarkan  pula di Australia.  

Ketika peristiwa bom Bali terjadi, Gus Dur sedang  dalam posisi sulit hubungannya dengan pihak Polri, terutama persoalan pergantian pimpinan baru. Bagi seorang ahli Indonesia Prof David Reeve, ada perbedaan kutub yang tajam antara  jurnalisme Australia dan jurnaisme Indonesia sehingga seringkali menimbulkan masalah-masalah, respon dan persepsi. “Bagi jurnalis Australia yang kritis, mereka senang menggali sensasi atas berita-berita dari tetangga di utaranya. Bom Bali banyak menelan korban orang Australia dan Gus Dur juga sedang menghadapi persoalan politik domestik. Jadi ketika ia diberi kesempatan bicara, Gus Dur menggunakan wawancara itu sebagai corok untuk ‘stirring up’ atau mengocok opini dunia internasional tentang Indonesia.”

“Karena itulah opini nya tentang bom itu kemudian menjadi populer meski harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Pertimbangkan pula spontanitas dan canda Gus Dur yang suka ceplas-ceplos dan nyeleneh.” Bila Gus Dur itu provokatif, sasarannya pernyataannya bisa dua, pertama apakah agar orang yang mendengarkannya mikir dan terbahak-bahak, atau kedua, membuat pihak yang disentilnya menjadi lebih mawas diri.  Dalam hal ini tampaknya sentilannya pada  pihak polisi. Pandangan pihak yang memlintir ucapan Gus Dur  di lain pihak, sejalan dengan model kritikan terhadap film ’21 Menit’ sebagai propaganda Polri. Isi kepahlawanan Polri dianggap tipu-tipuan Polri dalam mengangkat perannya.

Juga harus dilihat mengenai segi lain tentang aspek fantasi dan perfileman. Para penganut teori konspirasi biasanya percaya bahwa produk budaya, seperti film atau media visual merupakan produk rekayasa yang sudah diramu dengan kombinasi harmonis antara fakta dan fiksi dan efektif mengacaukan pemikiran orang. Studi neurosains di New York University sudah membuktikan bahwa sebuah film dapat mengendalikan perasaan penontonnya.

Otak manusia akan mudah bereaksi dengan adegan, warna, musik agar pesan-pesan menancap pada diri seseorang utamanya soal ideologi, rasa patriotisme, nasionalisme. Dengan konteks itu, ditambah dengan situasi masyarakat Indonesia pasca Reformasi yang masih mewarisi sikap kurang percaya pada birokrasi dan aparat kepolisian dan militer sejak masa lalu, membutuhkan waktu untuk berubah. Penerapan politik Orde Baru dan pengaruh film-film propaganda militer di masa lalu itu hanya dapat dikaunter dengan pembuatan film-film yang edukatif, jujur dan tetap memiliki aspek entertainmen sehingga dapat dipercaya sebagai sumber yang patut diperhitungkan untuk pemahaman soal polisi dan tugas-tugasnya. (Isk – dari berbagai sumber)

Artikel sebelumyaKementerian Prancis Tolak RUU Pelarangan Simbol Agama
Artikel berikutnyaDari Pembubaran Hingga Tuduhan Teroris Bagi FPI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here