Pemerintah harus  bekerja ekstra keras untuk terus berupaya mencabut organisasi-organisasi radikal yang telah dilarang sampai dengan ke akar-akarnya paca pembubaran organisasi FPI.  Hal-hal mendasar seperti bagaimana organisasi tersebut tadinya dioperasionalkan, kuat pada masyarakat yang mana dan elemen lain harus dilakukan penelitian secara seksama termasuk soal ketaatan terhadap para pemimpin sesudah suatu organisasi dibubarkan. Selain harus menunjukkan obsesi dan tugas yang agres, personel kepolisian juga harus bekerja menghadang berbagai nilai ideologi dan wacana-wacana yang masih hidup di kalangan pengikutnya.

Jakarta, 31 Maret 2021. Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral, Kota Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021 lalu. Seperti yang telah diberitakan oleh media massa, setelah terjadinya aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Tim Densus 88 dan aparat keamanan yang terlibat menanganinya langsung menyelidiki secara lebih seksama siapa dalang di belakangnya, jaringan apa. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menjelaskan bahwa dua pelaku bom yang terekam dalam CCTV itu kemudian diketahui adalah kelompok militan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Lebih jauh lagi, pihak Densus 88 Polri juga telah terdapatnya atribut FPI dalam proses penggeledahan di  rumah tersangka teroris di Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur.Sebutan teroris dan radikalisme itu jelas ditujukan kepada FPI, setelah terdapat sejumlah barang bukti yang berkaitan dengan FPI di kediaman salah satu tersangka teroris.

Mempermasalahkan FPI

Akibat dari peristiwa-peristiwa itu, ternyata kemudian muncul banyak komentar berseliweran dari pengamat, bekas anggota dan juga anggota masyarakat, seperti tertangkap dalam berbagai komentar di platform sosial media. Komentar  masih berhubungan dan menghubungkan permasalahan dibubarkannya FPI hingga tuduhan FPI bagian dari teroris tersebut. Saidiman Ahmad dari Saiful Mujani Research Center sebelumnya menganggap keputusan pemerintah membubarkan FPI tanpa terlebih dahulu melewati proses hukum atau lewat pengadilan adalah keputusan yang salah, keliru namun juga berbahaya.

Pendekatan itu menurutnya amat berseberangan dengan seruan pemerintah selama ini bahwa segala proses politik di Indonesia harus disesuaikan dengan hukum, dan dilakukan secara demokratis mengingat pentingnya memberi ruang bagi hak-hak sipil di tanah air.Namun Pemerintah ternyata bersikukuh percaya bahwa para pengikut FPI masih  terus diam-diam melakukan kegiatan yang tentunya meresahkan masyarakat. Upaya pemerintah, diargumentasikan, didasarkan motif murni menciptakan ketertiban masyarakat.

Deputi di Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam), Sugeng Purnomo menekankan bahwa keterlibatan anggota atau eks-anggota FPI dalam tindak pidana terorisme hanyalah satu dari sekian banyak pertimbangan pemerintah untuk melarang ormas Islam tersebut, namun alasan itu sangat penting. Pengamat terorisme Alif Satria setuju bahwa Pemerintah memang harus  bekerja ekstra keras untuk dapat terus mencabut organisasi-organisasi radikal yang telah dilarang sampai dengan ke akar-akarnya.

Mereka juga harus mempelajari hal-hal seperti dasar-dasar bagaimana organisasi tersebut dioperasionalkan, terdapat  pada masyarakat yang mana. Juga soal ketaatan mereka  terhadap para pemimpinnya walaupun organisasi sudah dibubarkan.

Selain harus menunjukkan obsesi dan tugas yang agresif, menurutnya, personel kepolisian juga harus bekerja menghadang berbagai nilai ideologi dan wacana-wacana yang masih hidup di kalangan pengikutnya. Apalagi dunia sosial media kini telah dijadikan arena adu argumen. Artinya, isi pada platform-platform di media harus mendapatkan perhatian juga untuk penyusunan strategi-strategi yang diperlukan.

Dari pengalaman organisasi-organisasi radikal apapun yang kemudian dilarang, mereka selalu mencari tempat untuk dapat mengembangkan diri di luar habitatnya. Mereka perlahan tapi pasti, mengisi ruang-ruang  itu bagi usaha menarik golongan-golongan muda ayng mudah dipengaruhi untuk diindoktrinasi menjadi bagian dari kelompok yang radikal dan militan. Lingkungan baru itu akan menjadi temapat subur karena dapat mengakomodasikan usaha publik yang tidakpuasan terhadap cara-cara pemerintahan yang sedang dijalankan. Pola dan model seperti itu tidak disangsikan akan dapat terjadi sesudah FPI ditutup. Misalnya, tampak sekali aktivitas siber masih demikian kuat di sosial media seperti Twitter.

Kelompok radikal era baru menyadari bahwa diperlukan tempat-tempat persemaian baru bagi bibit-bibit baru yang perekrutannya tidak terlalu sukar. Hal-hal seperti ini juga telah dikawatirkan oleh pengamat masalah-masalah radikalisme di Indonesia seperti pendapat Ian Wilson dari Australia. Menyikapi atas penangkapan-penangkapan, ia juga melihat potensi bahwa mereka yang mulanya tidak radikal akan lebih menyebar ke daerah lain dan bertransformasi menjadi lebih radikal.

Pendapat Sidney Jones soal FPI

Sidney Jones, seorang pengamat masalah terorisme yang lama mengikuti sepak terjang organisasi FPI melihat ada cukup banyaknya nama-nama dalam daftar yang dipunyai pemerintah yang memang pernah menjadi anggota dari FPI. Namun demikian menurutnya tidak tepat bila FPI langsung diidentikkan dengan terorisme. Tuduhan tersebut menurutnya telah menunjukkan  bahwa Pemerintah memiliki obsesi dengan FPI. Selain itu, Sidney juga  bahwa ideologi FPI dan kelompok radikal seperti ISIS sebenarnya berbeda. Menurutnya, anggota FPI umumnya adalah orang-orang tradisionalis seperti di Nahdatul Ulama (NU).

“Mereka, misalnya, merayakan Maulid Nabi. Kalau kita tanya orang ISIS, yang mendukung Daulah Islamiyah di Suriah, mereka semua antimaulid, katanya itu bid’ah.” Demikian jelasnya. Ahli dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) itu, juga menambahkan bahwa  tidak sedikit kalau mau dihitung. anggota Pemuda Muhammadyah atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga tercatat pernah menjadi anggota Jemaah Tablig pula. Di Lamongan, menurutnya beberapa orang yang pernah menjadi anggota FPI bergabung dengan kelompok teroris, termasuk Zainal Ansori yang menjadi amir (pemimpin) Jemaah Ansorut Daulah. Namun setelah bergabung dengan ISIS, mereka tidak diterima lagi sebagai anggota FPI Ia berpendapat secara teolog kurang cocok menuduh FPI teroris, katanya.

Pentingnya Berkonsentrasi Pada Masalah Keradikalan

Karena alasan-alasan tersebut, sebenarnya penting sekali untuk menaruh perhatian pada sifat militansi dari mereka yang pernah menjadi anggota organisasi semacam FPI. Dari seorang anggota radikal,  akan dapat diikuti arah ke mana akhirnya orang yang dimaksud akan menggabungkan diri. Proses deradikalisasi ini sepertinya menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia, utamanya pihak kepolisian yang harus dilaksanakan. Aspek deradikalisasi ini begitu banyak dan kompleks.

Deradikalisasi telah menjadi standar pendekatan penanggulangan terorisme yang dijadikan panutan bagi banyak negara. Proses ini merupakan bagian strategis dari kontra terorisme yang bertujuan agar ideologi kelompok teroris dapat segera diubah secara mendalam, serta menjauhkan mereka dari lingkaran kelompok radikal. Deradikalisasi terorisme telah dijalankan dan diterapkan lewat program reorientasi motivasi, re-edukasi, resosialisasi dan upaya menaikkan kesejahteraan sosial dan kesetaraan dalam masyarakat. Bila proses deradikalisasi ini dapat tercapai kemaksudannya, maka upaya menekan tumbuh dan kembangnya organisasi radikal  pasca pembubaran FPI dan penanganan aksi bom Makassar  dapat amat membantu terciptanya situasi dan kondisi yang kondusif di Indonesia. (Isk – dari berbagai sumber)

Artikel sebelumyaFilm ’22 Menit’ berisi Propaganda Polri?
Artikel berikutnyaKuliah SPI: Umat Islam haru Berhati-hati Gunakan istilah ‘Jahiliyah’

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here