Wacana kekuatan politik kelompok habib dan syarif di Indonesia banyak menghiasi berita-berita di media sosial selama ini. Ini sesungguhnya bukan sesuatu  yang baru. Terutama dalam konteks Indonesia, kehadiran dan pengaruh kelompok habib telah berlangsung lama dan berevolusi untuk memenuhi relevansi kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia.  Tidak mengherankan kita melihat capaian bentuk yang dikenal sekarang yang tak lain kristalisasi proses-proses kesejarahan sebelumnya.

Sejarawan telah merekonstruksi sejarah kehadiran habib di Nusantara yang ditarik mundur sejak masa pra Islam hingga sekarang. Perannya dalam penyebaran Islam, campur tangan dalam politik kesultanan-kesultanan Islam, hingga aktivitas semasa masa penjajahan telah membentuk popularitas dan kehadiran mereka  makin mengakar di  masyarakat.

 Kehadiran ini tidak terputus hingga masa Orde Baru dan sesudah Reformasi dan mereka tampaknya sukses dalam upaya-upaya penggunaan simbol Islam dan masyarakat Islam Indonesia yang mereka motori sebagai basis upaya perlawanan yang relevan dengan situasi politik kontemporer Indonesia.

Jakarta, 24 Maret 2021. Makna tekstual ‘habib’ berarti kekasih, yakni gelar kehormatan yang diberikan  kepada keturunan nabi Muhammad SAW di Hadhramaut, Yaman. Mereka adalah keturunan Husein yang berasal dari Alawi dan sering disebut sebagai Alawiyin atau dikenal pula sebagai komunitas Sayid. Rizieq adalah salah seorang keturunan sayid yang terkenal di masa kontemporer.  Namun dalam sejarah Indonesia, sayid-sayid lain atau habib-habib lain juga dengan segala kiprah politik dan keagamaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebagian besar dari mereka pengikut Tarekat Sufi Alawiyah yang inti ajarannya melibatkan ritual-ritual seperti ziarah kubur, perayaan maulid, dan pengajian doa-doa sufi seperti burdah. Para habaib (jamak dari kata habib) merupakan kelompok yang bermigrasi dari kawasan Hadramaut di Yaman ke Indonesia sejak abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Di antara orang Hadrami lainnya terdapat kelompok non-sayid atau masyaikh yang bukan keturunan nabi. Menurut sejarawan Alwi Shahab,  masyaikh adalah nenek moyang orang-orang Indonesia keturunan Arab terkenal yang  bermarga Ba’asyir, Baswedan, Sungkar dan Thalib. Karena perbedaan pandangan keagamaan, sejarah hubungan antara keturunan nabi dan bukan cenderung kurang harmonis di Indonesia.

            Jauh sebelum berimigrasi dan menetap di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara lainnya,  orang Hadrami secara umum dilaporkan telah aktif menyebarkan Islam ke Nusantara. Pada seminar “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” di Medan (1973) disimpulkan bahwa siar Islam oleh orang-orang dari Hadramaut diikuti oleh orang-orang dari Persia dan Gujarat dan terus berlangsung hingga abad ke-15. Kontribusi mereka adalah memunculkan kantong-kantong komunitas muslim di Indonesia yang menjadi cikal bakal berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Bila keturunan nabi Muhammad SAW penyebar Islamnya dikenal sebagai Habib, penyiar agama Islam non Alawiyin dikenal dengan sebutan  ‘Syaikh’, ‘Syekh’ atau ‘Syaikhah’ Menurut  sejarawan Tiar Anwar Bachtiar, habib itu sebenarnya hanyalah sebutan. Kalau gelar resmi mereka adalah ‘Sayyid’ atau ‘Sayyidah’. Namun dalam perkembangan kekinian, sebagaimana dikatakan Ismail Fajrie Alatas, umumnya penduduk di Indonesia beranggapan bahwa seluruh keturunan Alawiyin bergelar Habib (Jamak: Habaib).

            Namun sebelumnya, keturunan habaib yang sudah mulai menyebar dan membentuk kantong-kantong masyarakat di pesisiran Jawa tersebut, disebut-sebut juga sebagai penyebar Islam di Jawa. K.H. Ali Badri, Ketua Dewan Pembina Majelis Dzurriyat Wali Songo menyatakan bahwa selain Syech Siti Jenar, delapan wali sanga penyiar Islam di Jawa adalah keturunan dari para sayid/habib ini. Karena disiarkan langsung oleh keturunan nabi Muhammad SAW, bagi orang Jawa khususnya, peran para habib ini dianggap membanggakan. Karenanya, mereka merasa wajib tunduk pada petunjuk, instruksi dan tuntunan yang diberikan para keturunan langsung Rasullullah tersebut.Tidak mengherankan, sejak pada zaman pra-kolonial, komunitas sayid yang bermahzab Syafii ini mudah mendapatkan posisi penting dalam sistem politik raja-raja. Mereka bekerja sebagai penasihat dalam urusan keagamaan, seperti di Kesultanan Islam Melayu di Palembang, Riau, Kedah dan Pattani di selatan Thailand.

            Pengaruh mereka kuat pula dalam masyarakat Islam yang baru bertumbuh. Apalagi banyak terjadi akulturasi akibat perkawinan campur mereka dengan perempuan lokal.  Bila secara siilsilah para habib memiliki garis nabi lewat anak perempuannya Fatimah Az Zahra, maka sejarah mencatat pula bahwa mereka memiliki darah lokal dari garis ibunya, karena paa habib laki-laki umumnya datang ke Nusantara tanpa membawa istri. Komunitas sayid yang paling terkemuka di Indonesia datang dari marga besar seperti Shihab, al-Attas, Assegaf, al-Haddad dan Musawa. Awalnya mereka berperan sebagai elit penting yang bekerja sebagai saudagar, kepala pelabuhan, kapiten dan sebagainya. Namun kemudian mereka juga mendapatkan pengaruh politik dan berhubungan erat dengan konstelasi politik di kesultanan-kesultanan Asia Tenggara. Ini karena mereka ikut  berhadapan langsung dengan penjajahan asing yang datang kemudian ke Asia Tenggara, baik penjajahan Belanda di Indonesia atau  penjajahan Inggris di Malaysia.

            Elemen Islam yang mulanya dimotori para habib/keturunan Hadramaut dalam konteks kesultanan itu lambat laun menjadi simbol perlawanan lokal terhadap kekuasaan penjajahan Barat dan melawan kaum ‘kafir’. Simbol ini terus digunakan hingga masa akhir penjajahan di Indonesia bahkan kemudian dihidupkan dalam konteks kontemporer. Di era kolonial, sudah sejak awal abad ke-20, perbedaan pendapat mengenai perlakuan istimewa untuk turunan Nabi dengan yang bukan keturunan nabi telah timbul di antara masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Menurut sejarawan Universitas Padjajaran Tiur Anwar Bachtiar, hal ini terfleksikan dengan kelahiran perkumpulan Arab bernama Jami’at Khair pada 1901.

             Organisasi yang menyatukan seluruh keturunan Arab akhirnya pecah disusul pendirian  Al-Irsyad Al-Islamiyah pada 1914 akibat adanya paerbedaan pandangan soal persamaan derajat antara golongan sayyid (Alawiyin) dan non-sayyid (non Alawiyin). Pendeknya, terutama pengaruh para sayyif atau habib di Indonesia makin menguat. Pertama dari jumlah keturunannya. Apalagi mereka memiliki tradisi mencatat silsilah keluargan yang ditarik mundur hingga ke keluarga Nabi. Mereka terus berkiprah hingga masa kemerdekaan.

Golongan Alawiyin dan Tarekat di Indonesia

      Menurut Ahmad Alatas, ketua pencatatan nasab Alawiyin Rabithah Alawiyah, pada 2014 keturunan Alawiyin se-jabodetabek mencapai 14.500 jiwa. Menurutnya, di Jawa mereka mempunyai catatan lengkap sampai kakek ke-5.  Sayangnya  keturunan  di Sumatera seperti Medan dan Aceh sudah agak susah ditelusuri jejaknya. Penelitian pada 2017 menyebutkan 500 ribu sampai 1,5 juta keturunan Hadhramaut hidup di Indonesia, terdiri dari 68 warga Alawiyin dan 239 warga Arab lain yang bukan  keturunan nabi.  Kesultanan Pontianak tercatat memiliki hubungan langsung dengan habib. Bila ditambah jumlah mereka di Asia Tenggara, jumlahnya pasti akan tidak sedikit. Apalagi mereka juga berkiprah di kesultanan-kesultanan di Malaysia dan Tahiland dan membuat jaringan intelektual yang menghubungkan antara Mekkah dengan Nusantara dan antara Hadramaut dan kerajaan -kerajaan lokal tersebut.

      Sampai 1990-an keturunan habib di Indonesia masih bekerja menegakkan Islam lewat ajaran Tarekat Alawiyah, dipimpin oleh tokoh habib yang kharismatik. Sejak madrasah Dar al-Mustafa dibuka di Hadramaut oleh ulama karismatik Habib Umar bin Hafidz, tempat ini mulai didatangi murid-murid dari seluruh dunia termasuk keturunan habib dari Indonesia. 

      Pemerintah Orde Baru Soeharto mengizinkan pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi di Yaman sesudah perang dingin berakhir. Ketika generasi pertama alumni Dar al-Mustafa pulang, mereka langsung mengambil peluang merevitalisasi ajaran-ajaran Tarekat Alawiyah di Indonesia dengan melakukan peningkatan aktivitas ziarah ke makam Wali Habib Ali Kwitang dan Habib Gubah al-Haddad (Mbah Priok).

      Pada saat bersamaan, popularitas majelis-majelis taklim dan majelis-majelis zikir pun semakin berkembang dan menarik banyak pengikut dari masyarakat Indonesia. Pada titik inilah, peranan habib sebagai mediator ritual menjadi penting. Habib menjadi mediator bagi peserta ritual untuk menemukan pengalaman spiritual melalui ziarah, maulud, zikir atau ritual lainnya di kalangan pengikutnya. Habib Munzir al-Musawa adalah generasi pertama lulusan Dar al-Mustafa yang mendirikan Majelis Rasulullah, salah satu organisasi sufi paling dihormati di Jakarta para kurun 2005 sampai 2013. Pengikut setianya berjumlah ribuan di Indonesia berkat karisma dan sifat tolerannya.

      Habib Munzir mengeluhkan banyaknya orang yang mengaku-ngaku sayid namun tidak punya pengetahuan yang mumpuni Islam secara keseluruhan.  Lewat Majelis Rasulullah ia menciptakan sejumlah kaidah dasar bagi para habib yang pulang dari Hadramaut mengenai cara berdakwah dan apa saja yang boleh dan tak boleh dikatakan. Munzir melarang penggunaan kata-kata hinaan dalam ceramah, dan juga menentang kekerasan bentuk apa pun. Munzie meninggal pada 2013. Sayangnya, Majelis Rasulullah menyurut popularitasnya sesudah kepergiannya. Sedangkan penggantinya Habib Nabiel al-Musawa malahan  bergabung menjadi anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Habib baru, perjuangan baru, pengikut baru

      Pada saat bersamaan, keturunan habib yang lain, Rizieq Shihab mulai menemukan panggungnya di politik nasional.  Ia mendapat  pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didanai Saudi Arabia.  Pada 1990, Habib Rizieq melanjutkan pendidikannya ke King Saud University di Riyadh. Delapan tahun sesudah kembali di Indonesia, ia  mendirikan FPI. Organisasi ini kemudian berkembang pesat meskipun kontroversial. Yang jrlas  kini lahir habib yang berjuang dengan pendekatan baru, terutama mulai terlibat pada sejumlah aksi kekerasan dan sweeping. Riziq  juga terlibat beberapa kasus ujaran kebencian dan sempat dipenjara.

      Ironisnya, FPI  yang dipimpin keturunan habib ini, makin dipercayai menjadi alternatif organisasi untuk melindungi moralitas umat Islam dari bahaya “sepilis” (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) serta “ancaman” dari kelompok Kristen, Tionghoa dan LGBT.  Masa paceklik pemimpin karismatis di kalangan habib  rupanya diisi oleh kehadiran Rizieq selaku habib baru dan segera mendapat dukungan masa  yang signifikan.

      Walau tidak memusuhi sufisme seperti Tarekat Alawiyah, demi agenda politik FPI , Rizieq tidak berkeberatan beraliansi dengan organisasi-organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta tokoh-tokoh kontroversial seperti Abu Jibril dan Abu Bakar Ba’asyir, yang mengutuk tradisi relijius. Ini jelas menimbulkan kekhawatian di kalangan habib yang masih percaya dengan cita-cita  damai dari Tarekat Alawiyah  dan sudah  melihat konsekuansi  buruk akibat tuduhan bid’ah di Yaman.

      Ada banyak habib muda yang kemudian merasa perlu mencari wadah politik baru. Itu sebabnya mengapa sebagian besar anggota Majelis Rasullah dan para habib, sayid, alumni Dar al-Mustafa  dan  komunitas muslim Indonesia  lainnya memilih menyeberang masuk ke FPI.  Organisasi ini  makin memikat karena dibuat amat terbuka, tidak mengikat dan mengutamakan persatuan spiritualitas antara pemimpin dengan pengikut ketimbang struktur yang ketat.  Apalag sosial media untuk kampanye-kampanyenya digunakan dengan luas sehingga makin memunculkan sosok Rizieq sebagai habib untuk semua masyarakat Islam di Indonesia.

Popularitas kontemporer habib di kalangan masyarakat Islam kini

      Harus dicatat bahwa para habib yang dimotori oleh Rizieq amat pandai menggunakan elemen-elemen Arab untuk legitimasi kiprah kegiatan mereka. Selain klaim sebagai keturunan langsung nabi, juga mengawinkan antara elemen nasionalisme Indonesia  dengan Islam yang kemudian disebut nasionalis-religius.

      Ini nyata sekali tampak pada setiap acara  perayaan besar Islam yang diadakan. Acara-acara selalu menarik minat dan dipadati jamaah yang tidak saja ingin mendengarkan khotbah menggabungkan ayat Al Quran, humor, Islam dan yel-yel politik tapi juga bertemu dengan sang habib keturunan langsung junjungan Nabi besar Muhammad SAW.

      ”Dicintai Arab karena tiga hal, karena aku seorang Arab, Alquran tertulis dalam bahasa Arab, dan percakapan ahli surga juga mempergunakan bahasa Arab.” Hadis riwayat Ibnu Abbas) seringkali menjadi kutipan yang dilontarkan dalam kampanye-kampanye mereka tentang siar Islam.

      Dengan gabungan yang dibuat itu, massa Islam di Indonesia menjadi mudah dimobilisasi, meskipun bila mereka berasal dari luar kelompok Arab, bukan tergolong Habib yang ekslusif dan sebenarnya sedang membicarakan perjuangan politik domestik di Indonesia. Ini menunjukkan adanya pengulangan sejarah bahwa perlawanan masyarakat kecil selalu digoreng dengan menggunakan simbol Islam seperti pola  yang diterapkan di masa lalu. “Kalau di kalangan orang Betawi, terutama di Jakarta, kalau ada keturunan Nabi yang mendalami agama biasanya kecintaannya agak lebih. Makanya Habib Rizieq itu disenangi masyarakatnya.” Demikian pendapat salah seorang pengikutnya di basis kuat Jakarta.

      Para habib juga selalu mengingatkan soal peran mereka dalam sejarah Indonesia di masa lalu. Tidak jarang digembar-gemborkan bahwa di masa kolonial mereka terbukti menolak tawaran Belanda dinaikkan statusnya karena  merasa orang Indonesia adalah saudara para habib dari pihak ibu (Akhwal). Memperlihatkan foto Presiden Sukarno, sang pendiri Indonesia sedang bersama para Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsy Habib Kwitang dan sejumlah habaib yang membanggakan lainnya juga perlu ditunjukkan kepada masyarakat, termasuk klaim pentingnya  peran ayah Rizieq sebagai seorang habib dalam pusaran politik Indonesia di masa lalu.“Muslim harus melek sejarah dan ditutupi sejak masa Belanda karena Islam dikawatirkan bersatu.” Demikian pesan yang dapat membuat panas para pengikutnya di Indonesia untuk hanya punya pilihan bersatu atas nama Islam.

      Sudah lama masyarakat Islam di Indonesia menaruh hormat berlebihan pada tokoh yang dibesarkan di tengah lingkungan Hadhrami karena mereka dianggap memiliki kecenderungan mendalami agama untuk kemaslahatan komunitas Islam di Indonesia. Habib merupakan dzurriyah atau zuriat Nabi Muhammad terpilih. Memanfaatkan persepsi yang sudah tertanam pada masyarakat Indonesia nampaknya menuai hasil seperti yang kita lihat sekarang. Pengaruh mereka dalam masyarakat sudah menghistoris dan relevansinya terus mereka hidupkan dalam politik kontemporer. Seorang warga biasa bernama Anandra dari Bekasi, sesudah mendengar ceramah Rizieq di Youtube, yakin bahwa Rizieq adalah sang pembela Islam  yang berada terdepan dan paling gigih. Ia tak lain contoh habib ideal yang  mampu memberi komando responsif dan melakukan pendampingan termasuk kepada masyarakat kelas bawah. Pesan seperti inilah, menurut pengamat Islam Achmad Sahal, merupakan cara mereka untuk menyatakan apa yang dilakukannya adalah ‘manifestasi pengalaman dan perintah nabi’. Organisasi FPI kini sudah dibekukan namun konsep bahwa seorang habib adalah keturunan langsung dari nabi  dan karenanya memiliki legitimasi sebagai pemimpin yang dipercaya akan hidup terus.

      Mereka menyadari bahwa aneka ceramah, pengajian dan pengumpulan masa yang lama dilakukan dalam sejarah mereka terbukti sukses dan  telah memberi popuaritas dan pembenaran bahwa usaha habib adalah refleksi usaha perjuangan nabi dalam amar ma’ruf nahi munkar. Akhirnya, sepanjang konservatisme di kalangan muslim Indonesia masih belum mampu diterjemahkan ke dalam politik nasional, menurut pengamat dari LIPI Firman Noor, popularitas seorang habib seperti halnya Rizieq yang sedang diadili, akan terus hidup dan didambakan masyarakat Islam di Indonesia. (Isk- dari berbagai sumber)

Artikel sebelumyaSeputar Kegaduhan dan Contempt of Court Peradilan Rizieq Shihab
Artikel berikutnyaPolri Amankan Persidangan Rizieq Shihab Sesuai Prosedur

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here