Peradilan terdakwa Rizieq Shihab (RS) gaduh. Sidang perdana yang digelar virtual ditandai dengan aksi Walk Out terdakwa dan tim penasehat hukumnya. Hakim, Jaksa malah dituduh bikin gaduh. Adapun RS dan tim pengacaranya terancam tambahan hukuman penghinaan lembaga peradilan (contempt of court).

JAKARTA – (24/03/2021).  “Saya didorong. saya dipaksa, saya dihinakan. Saya tidak ridho dunia akhirat,” tegas Rizieq. Ketika diminta hadir dalam sidang virtual pekan lalu. Sebelumnya, Habib Rizieq Shihab (HRS) kembali menolak menghadiri persidangan secara virtual. Jaksa penuntut umum memohon agar majelis hakim melakukan pemanggilan paksa terhadap Rizieq.

“Memohon agar majelis karena kelihatannya terdakwa tidak mau mengikuti persidangan ini, kami mohon pada majelis hakim untuk mengeluarkan penetapan untuk pemanggilan paksa terhadap terdakwa Rizieq Shihab,” ujar Jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang disiarkan secara virtual, Jumat (19/3/2021).

Jaksa menambahkan, Habib Rizieq telah menyampaikan penolakan saat penjemputan. Selain itu, penolakan juga dilakukan Habib Rizeq saat jaksa memberikan surat pemanggilan. “Yang bersangkutan tidak bersedia dihadirkan secara online, dan hal tersebut juga sudah disampaikan. Jadi pada intinya kami tim jaksa memohon kepada majelis hakim untuk melanjutkan persidangan,” sambung Jaksa.

Setelah berdiskusi majelis hakim meminta terdakwa Rizieq Shihab untuk tetap dihadirkan ke persidangan dengan cara apa pun.”Kami tim penuntut umum dengan beberapa petugas masih berusaha menghadirkan terdakwa,” kata jaksa. Terdakwa Habib Rizieq melakukan perlawanan dalam upaya penghadiran paksa tersebut. “Kita minta bantuan polisi dan pengawal rutan agar terdakwa dihadirkan ke persidangan dengan cara apa pun,” katanya.

Setelah beberapa menit bernegosiasi Habib Rizieq pun berhasil dihadirkan dalam sidang online. Terlihat di layar, Habib Rizieq digiring ke ruang sidang oleh petugas. Habib Rizieq mengaku kehadirannya ke ruang sidang karena dipaksa.

Didorong, dipaksa, dihinakan inilah kata-kata yang diteriakan HRS agar menjadi narasi yang menyudutkan jaksa, polisi dan petugas rutan. Kalau ada pemaksaan, didorong memang ada risiko kesalahan yang dilakukan petugas. Dan memang itulah yang selalu didengungkan oleh HRS dan tim pengacaranya.

Contempt of court

Sikap HRS dan Tim pengacaranya ini seketika mengundang reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya adalah dari Dewan Pakar PKPI, Teddy Gusnaidi. Ia menyebut bahwa tindakan walk out (WO) yang dilakukan eks Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS) dan tim pengacaranya di pengadilan merupakan tindakan pidana.

Menurutnya, tindakan tersebut tergolong ke dalam kategori penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court. “Perbuatan Tim Rizieq cs di pengadilan kemarin itu, bisa masuk dalam kategori penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court, itu tindak pidana,” tulis Teddy Gusnaidi melalui akun Twitter pribadinya, @TeddyGusnaidi, 18 Maret 2021.

Mengutip uraian dalam buku Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 terbitan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI (hal. 7), istilah contempt of court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi:

“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court. Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan definisinya.”

Dalam artikel berjudul Aturan Contempt of Court Dibuat Demi Kewibawaan Pengadilan danartikel Sela Pembacaan Vonis Bisa Contempt of Court, disebutkan antara lain bahwa di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku saat ini terdapat beberapa pasal yang termasuk penghinaan terhadap pengadilan di antaranya Pasal 207, Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP.

Dalam Pasal 207 KUHP, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dalam Pasal 217 KUHP, barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.

Dalam Pasal 224 KUHP, barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan untuk perkara pidana dan dengan pidana penjara paling lama enam bulan untuk perkara lain.

Didakwa tiga kasus

Sebelumnya, sidang perdana terdakwa HRS  telah digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jaktim, Selasa 16 Maret 2021 pukul 13.00 WIB. HRS didakwa atas tiga kasus yakni kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat; kasus kerumunan di Megamendung, Puncak; dan kasus dugaan menghalang-halangi petugas di RS Ummi Bogor. Sidang pun digelar secara terpisah untuk masing-masing terdakwa dan perkara. Total ada enam berkas perkara yang akan disidangkan dengan jumlah terdakwa delapan orang. Kemudian, tim pengacara dan HRS melakukan walk out (WO) pada pukul 14.10 WIB.

WO tersebut diawali dengan protes yang dilayangkan tim pengacara dan HRS kepada Ketua Majelis Hakim Khadwanto agar sidang dilakukan secara langsung, bukan virtual. Namun, Khadwanto menolak permintaan tersebut dan memutuskan tetap melanjutkan persidangan secara virtual.

Persidangan kasus kerumunan di Petamburan (perkara nomor 221/Pid.B/2021/PN.Jkt. Tim) dengan terdakwa Rizieq Shihab diwarnai perdebatan perihal mekanisme sidang. Sekitar satu jam lebih pihak yang beracara disibukkan dengan gangguan fasilitas penunjang guna persidangan virtual.

Keberatan atas mekanisme sidang virtual pada mulanya disampaikan oleh Munarman cs selaku penasihat hukum Rizieq Shihab. Ia mengatakan, sidang virtual membatasi hak-hak hukum yang semestinya diperoleh oleh Rizieq Shihab selaku kliennya. Sementara majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan penasihat hukum beracara secara fisik di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Munarman menganggap, dalih penularan Covid-19 atas pelaksanaan sidang secara virtual tidak dapat dibenarkan seutuhnya. Menurut dia, protokol kesehatan bisa diterapkan dengan menghadirkan terdakwa ke muka persidangan. Munarman mengatakan kerumunan hanya terjadi di luar ruang persidangan. Protes Munarman Cs, menyebabkan kegaduhan dan kekisruhan, sehingga majelis hakim menunda persidangan untuk memberikan waktu kepada tim IT memperbaiki fasilitas yang digunakan untuk persidangan virtual.

Pihak Rizieq merasa keberatan ketika ada seorang jaksa yang menghampiri hakim guna melakukan suatu pembicaraan di tengah proses jeda sidang. Pihak pengacara mencurigai pembicaraan tersebut. Sebagaimana diketahui, akhirnya sidang berujung ricuh, diawali ketika Rizieq Shihab meninggalkan persidangan secara virtual dari Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri, lantaran permohonannya untuk dihadirkan langsung di muka persidangan ditolak.

Tim kuasa hukum Rizieq Shihab yang hadir langsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur berteriak-teriak ke arah Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim. Mereka melakukan walkout, karena kecewa persidangan diputuskan tetap digelar secara virtual. Munarman, salah satu kuasa hukum berteriak “Tidak ada sidang pakai kamera sama kursi sama tembok”. Sementara itu tim kuasa hukum lainnya, Djudju Purwantoro berteriak “Ini negara hukum, negara hukum, bukan negara rezim”.

Selalu membuat keributan

Pegiat media sosial, Eko Kunthadi melalui akun twitter pribadinya mengatakan, sidang Rizieq Shihab yang berujung ricuh menandakan bahwa, eks pentolan FPI itu dan laskar hingga pengacara kerjaannya selalu membuat keributan. “Rizieq. Laskar. Sampai pengacaranya. Kerjanya selalu bikin onar,” tulis Eko Kuntadhi pada akun twitter pribadinya. Tak hanya itu, Eko Kuntadhi juga mempertanyakan seruan revolusi akhlak yang digaungkan Rizieq Shihab tersebut.“Hasil revolusi akhlak yang diteriakkan oleh mereka yang dipertanyakan akhlaknya,” sindirnya.

Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengomentari sidang pembacaan dakwaan kasus Rizieq Shihab yang berujung rusuh mengatakan bahwa, aksi Munarman Cs sudah intoleran dan merendahkan martabat dan kehormatan peradilan, profesi hakim, jaksa dan profesi advokat itu sendiri.

“Menunjuk ke arah majelis hakim dengan narasi atau diksi yang tidak patut yang ditujukan kepada majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk bersidang dengan tembok, sesungguhnya tidak hanya sekedar tindakan contempt of court atau sekedar merendahkan martabat dan kehormatan badan peradilan dan keadilan itu sendiri, tetapi juga mereka telah memanfaatkan arena persidangan untuk aksi “intoleransi” terhadap kekuasaan badan peradilan”. Menurut Petrus, Munarman cs telah bertindak melanggar kewajiban sebagai advokat yaitu kewajiban untuk tetap berpegang teguh pada kode etik profesi dan peraturan perundang-Undangan. Karena itu, dia meminta Mahkamah Agung dan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat harus melakukan tindakan hukum dan administrasi terhadap Munarman cs. Bahkan Petrus menilai, tindakan Rizieq dan Munarman cs sudah masuk kategori tindak pidana seperti dimaksud dalam pasal 207, 212, 214, 217 dan 218 KUHAP juncto 217 dan 218 KUHAP.

Karena itu, kata dia, sebaiknya ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan organisasi advokat harus segera melakukan langkah-langkah penindakan terhadap Munarman cs dengan melaporkan kepada polisi dari aspek pidana. Selain itu, Munarman juga perlu dilaporkan ke Dewan Kehormatan Organisasi Advokat dan Mahkamah Agung RI dari aspek tindakan administrasi. “Sehingga kepolisian harus segera melakukan tindakan terhadap Rizieq Shihab dan Munarman dkk. Khusus kepada Munarman dkk, Mahkamah Agung berwenang untuk mengawasi, menindak bahkan memecat Munarman dkk selaku advokat,” katanya  Jadi memang revolusi akhlak yang didengungkan tidak hanya sebatas jargon saja. Adab dan akhlak tetap perlu dijaga, apalagi di pengadilan.

Menyikapi kegaduhan ini, tentu kita harus tetap berpikir dan bertindak bijaksana. Hakim, Jaksa, Polisi, Terdakwa maupun pengacara harus sama-sama menjaga marwah peradilan guna mencapai ihtiar keadilan. Untuk itu kita harus kembali menelaah terminologi Contempt of court ini sesuai pengertiannya yang ada di Undang-undang.

Istilah ” contempt of court” dalam bidang hukum bukanlah suatu hal baru. Terminologi ini muncul menyusul dibentuknya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Butir 4 alinea ke-4 aturan tersebut mengisyaratkan perlu disusun undang-undang yang secara khusus mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan atau merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.

Lalu, bagaimanakah konsep “contempt of court” sebenarnya? Setidaknya ada tiga hal yang harus dicermati kembali.

Pertama: Penghinaan terhadap keadilan

Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto menyebut, masyarakat kerap kali salah paham dan disesatkan oleh istilah “contempt of court”. Istilah itu mengesankan seolah-olah yang akan dilindungi adalah keagungan pengadilan. Padahal, menurut Sunarto, tidak demikian. “Sesungguhnya dalam contempt of court, keadilan itu sendiri yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan hakim,” kata Sunarto dalam Seminar Nasional Peran Undang-undang “ Contempt of Court” beberapa waktu lalu di Jakarta.

Sunarto mengatakan, pengertian contempt of court saat ini berada di titik yang absurd dan tidak jelas. Sebab, konsep ini kerap kali dikaburkan dengan prinsip transparansi, kontrol yudisial, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Namun, meskipun disadari istilah contempt of court tidak tepat, hingga saat ini belum ditemukan alternatif lain dalam hal ini.

Secara undang-undang, contempt of court dapat dimaknai sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan atau merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.

Kedua: Sederet kasus contempt of court

Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mencatat, bukan sekali dua kali saja terjadi contempt of court atau penghinaan terhadap keadilan. Pada 15 November 2003 misalnya, gedung Pengadilan Negeri (PN) Larantuka NTT dibakar oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Peristiwa yang sama juga terjadi di PN Maumere NTT tahun 2006, tahun 2011 terjadi di PN Temanggung Jawa Tengah, 2013 di PN Depok Jawa Barat dan tahun 2018 terjadi di PN Bantul DI Yogyakarta.

Tidak hanya infrastruktur pengadilan, penyerangan terhadap hakim juga kerap terjadi. Pada tahun 2013, seorang hakim di Gorontalo diserang saat berkendara. Jauh sebelum itu, Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita ditembak hingga tewas saat berkendara menuju kantornya. Tahun 2005, seorang hakim ditusuk di ruang sidang di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo.

Pada 23 Desember 2008, oknum jaksa menyerang hakim di PN Poso Sulteng sesaat setelah hakim membebaskan terdakwa. “Terakhir, tanggal 18 Juli yang lalu di PN Jakarta Pusat, seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum,” ujar Ketua IKAHI Cabang Mahkamah Agung Syamsul Ma’arif.

Ketiga: Desakan pembentukan Undang-undang contempt of court

Belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur soal contempt of court. Menurut Mantan Wakil Ketua MA Sunarto, perihal contempt of court sejauh ini diatur dalam Pasal 207, 212, 214, 217, dan 218 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 217-218 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sejumlah pihak mendesak pembuat undang-undang untuk segera membentuk aturan soal hal ini karena dinilai urgen. IKAHI Cabang Khusus Mahkamah Agung (MA) menilai, penting untuk segera mengundangkan Undang-undang contempt of court karena banyaknya ancaman terhadap eksistensi badan peradilan atau aparatur pengadilan saat berproses mengadili suatu perkara. Ancaman penyerangan ini tidak akan berkurang jika tidak dicegah melalui penegakan undang-undang.

Oleh karenanya, pembuat undang-undang dinilai tak memiliki pilihan lain kecuali mengundangkan UU contempt of court dalam waktu dekat jika ingin prinsip negara hukum terwujud dengan baik. “Jangan terlalu lama membiarkan aparatur pengadilan bekerja tanpa jaminan perlindungan yang cukup. Jangan terlalu lama membiarkan pihak yang kalah tidak taat melaksanakan putusan pengadilan sehingga para pencari keadilan kesulitan mendapatkan haknya sesuai putusan pengadilan,” kata Ketua IKAHI Cabang MA Syamsul Ma’arif.

Hal yang sama juga disampaikan mantan Ketua MA Bagir Manan. Ia menyebut, ketentuan-ketentuan dalam pidana umum maupun tindakan administrasi saja tidak cukup. Di situlah diperlukan aturan tersendiri soal contempt of court. “Selain karena cakupan contempt of court lebih luas, juga secara sosiologis didapati kenyataan peristiwa-peristiwa atau ucapan-ucapan yang merendahkan atau melecehkan pengadilan dan hakim,” katanya. Namun demikian, bersamaan dengan desakan pembuatan UU contempt of court, Bagir menilai, lingkungan badan pengadilan harus mampu menjadi lembaga hukum yang dipercayai oleh publik.

Peristiwa ini seharusnya dilihat dari sudut pandang “akibat” peristiwa itu bisa terjadi. Menurut Bagir, sebagian publik berpendapat bahwa pengadilan terkadang tidak benar-benar menjadi tempat mencari dan menemukan keadilan. Anggapan ini muncul karena sejumlah peristiwa terdahulu. Misalnya, adanya kasus sejumlah hakim dan pejabat pengadilan lain yang diadili dan dihukum karena menerima suap.

Peristiwa lain, adanya tunggakan perkara yang tidak diputus sesuai dengan asas sederhana dan cepat. Oleh karenanya, Bagir menilai, penting dilakukan upaya penguatan kepercayaan publik. Hal ini untuk menekan angka contempt of court serta menumbuhkan keinginan masyarakat menjaga dan melindungi kehormatan pengadilan dan hakim dari segala bentuk pelecehan. “Kehadiran ketentuan contempt of court hanyalah sarana. Tanpa kehendak dan tekad yang kuat dari pengadilan untuk menjaga kehormatannya, ketentuan semacam contempt of court tidak dapat mencegah pelecehan terhadap pengadilan dan hakim,” katanya.

HRS dan Contempt of court

Semakin jelaslah bagi kita, bahwa kegaduhan yang terjadi saat proses peradilan HRS belakangan ini, semakin menambah alasan kuat dan urgen untuk mewujudkan UU contempt of court. Betapa pun pengadilan adalah ihtiar manusia yang berakal budi untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kepastian hukum.

Setiap orang memiliki hak mengeluarkan pendapat dan dilindungi Undang-undang. Namun bila sudah melanggar hak orang lain bahkan cenderung melawan badan peradilan yang ditujukan untuk memperoleh keadilan, jelas ini merupakan penistaan dan pelecehan terhadap lembaga peradilan yang harus segera dihentikan dengan UU tentunya.

Agar diperoleh kepastian bahwa Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak bertindak diluar koridor hukum. Terdakwa mendapat pelayanan dan perlakuan hukum yang sesuai dengan perbuatannya dan masyarakat umum menjadi paham proses dan risiko apa saja yang perlu diketahui agar tidak terjebak pada pelanggaran hukum. (Saf).    

Artikel sebelumyaTernyata Ini Alasan Habib Rizieq Ngotot Ingin Sidang Tatap Muka
Artikel berikutnyaKehadiran dan Pijakan Politik Yang Kuat Dari Kelompok Habaib dan Syarif Sudah Lama Berakar di Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here