Penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua usai dilabeli teroris menjadi kewenangan aparat kepolisian. Cukup Polri di garis depan dibantu penebalannya oleh TNI. Bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Apa kabar pula Satgas Binmas Noken Polri?
(Jakarta – 26/06/2021). Isu atau masalah pelanggaran HAM berat bisa menjadi pintu masuk tekanan dunia internasional di Papua. Apalagi, selama ini masalah pelanggaran HAM telah menjadi sorotan negara-negara yang memiliki kepentingan di Papua. Demikian diungkapkan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, Laksda (Purn) Soleman B Ponto.
“Kalau pelanggaran HAM di Papua bisa terbukti, ini bisa menjadi pintu masuk tekanan dunia internasional. Selama ini pelangaran HAM Papua terus menjadi sorotan negara-negara kawasan,” kata Soleman.

Dikatakan, selama di Papua tidak terjadi pelangaran HAM berat, selama itu pula Papua tetap tidak akan bisa merdeka. Karena itu, pemerintah sebaiknya dapat melakukan pendekatan yang dapat terhindar dari potensi terjadinya pelanggaran HAM berat.
“Caranya, penegakan pemeliharaan keamanan dilakukan melalui penegakan hukum oleh Polri mengingat OPM hanya dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata dan belum mencapai tahap konflik bersenjata,” ucapnya.

Menurutnya, penanganan OPM yang ada di Papua tentunya berbeda dengan penanganan GAM yang pernah dilakukan di Aceh. GAM ketika itu memiliki struktur komando serupa dengan militer. Bahkan, kelompok tersebut menguasai wilayah tertentu dan sudah mengenal tanda kepangkatan prajurit layaknya yang dimiliki TNI.

Sebaliknya, OPM yang ada di Papua merupakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang tidak menguasai wilayah dan bergerak secara sporadis. Di dalam kelompok itu hanya memiliki komando dari satu atau dua tokoh yang disegani.
“KKB berbeda dengan GAM, yang sudah merupakan gerakan kelompok bersenjata yang sudah memiliki hirarki yang jelas (wilayah kekuasaan, pangkat militer, dan lain-lain). OPM hanya dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata dan belum mencapai tahap konflik bersenjata, karena itu penanganannya cukup oleh polisi,” ucapnya.

Tidak Satu Kata
Ketua Program Studi (Kaprodi) Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia (USNI), Pradono Budi Saputro juga menjelaskan, saat ini kelompok separatis Papua tidak lagi satu satu suara terkait tuntutannya. “Ada yang lebih mengedepankan konfrontasi fisik juga ada yang memilih berjuang melalui jalur diplomasi internasional. Mereka tampak sudah tidak lagi satu suara,” kata Pradono.
Kelompok yang lebih mengedepankan diplomasi, seperti United Liberation Movement for West Papua (ULM WP), ada juga WPLO (West Papua Liberation Organization). Sementara, kelompok yang lebih mengedepankan konfrontasi, seperti yang dilakukan OPM atau yang biasa disebut KKB.
Di sisi lain, pemerintah (aparat) selama ini selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena dianggap melakukan pelanggaran HAM terhadap kelompok separatis.
Dirinya mengingatkan, adanya ancaman keamanan telah membuka jalan untuk melegitimasi penggunaan kekuatan atau mengambil tindakan khusus dalam penanganannya. Di sisi lain, konflik Papua juga menyebabkan sekuritisasi isu Papua, dimana ada upaya untuk menjadikanisu-isu yang sebelumnya tidak dianggap sebagai isu keamanan, kemudian dianggap sebagai isu keamanan.”Pemerintah harus dapat meyakini masyarakat sipil Papua, bahwa tindakan gerakan separatis bersenjata adalah langkah yang keliru,” ujarnya.

Kewenangan Polri
Senada dengan dua pendapat tokoh di atas, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua usai dilabeli teroris menjadi kewenangan aparat kepolisian.
Dalam memburu para teroris di Papua ini, kata Mahfud, aparat kepolisian akan berada di barisan terdepan. Sementara TNI turut memberi bantuan penebalan pasukan ketika dibutuhkan.
“(Penanganan) akan dilakukan menurut undang-undang. Siapa itu yang melakukan? Satu, yang di depan itu polisi dengan bantuan penebalan dari TNI. Itu saja undang-undangnya,” kata Mahfud dalam konferensi pers yang digelar di kantornya, Jakarta Pusat.
Menurut Mahfud, teroris KKB di Papua jumlahnya tak banyak. Ia memastikan tak ada perbedaan signifikan atas penanganan aparat kepolisian maupun TNI usai melabeli KKB sebagai teroris.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai, aparat yang menangani hanya akan menemui segelintir orang yang bergabung dalam KKB. Mahfud mengklaim hampir 92 persen masyarakat Papua pro terhadap NKRI.”Itu tidak perlu banyak (pasukan), tinggal dikoordinasikan. Menurut istilah presiden kemarin, disinergikan saja jangan jalan sendiri-sendiri,” ucap Mahfud.
Dalam pelaksanaannya, lanjut dia, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) setempat harus berkoordinasi dengan baik terkait penanganan teroris KKB ini.Mereka juga akan dikomando langsung oleh Panglima TNI dan Kapolri. Sementara untuk Badan Intelijen Negara (BIN), Mahfud menjelaskan, akan diminta untuk melakukan kegiatan-kegiatan intelijen yang lebih bersifat politis.
“Politis itu misalnya penggalangan terhadap tokoh-tokoh, mengidentifikasi lokasi-lokasi, kemudian melakukan penggalangan diplomasi bersama Kemenlu terhadap negara-negara sekitar di Pasifik atau negara-negara lain yang menjadi tempat pelarian orang-orang separatis,” jelasnya.
Pemerintah sebelumnya resmi mengkategorikan KKB sebagai teroris. Pertimbangannya, segala tindakan yang dilakukan KKB selama ini adalah tindakan teroris.Merujuk UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, KKB dinilai patut masuk dalam kategori teroris karena dianggap mengancam, menggerakkan, dan mengorganisasi kekerasan atau ancaman kekerasan hingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut.

Kolaboratif dan Holistik
Berbagai upaya terus dilakukan menuju damai tentram di Papua. Semua upaya itu intinya bermuara ke pendekatan yang lembut tanpa kekerasan. Penanganan kasus kekerasan yang terjadi di Papua memerlukan pendekatan kolaboratif dan holistik agar persoalan yang terjadi dapat segera selesai. Masih terjadinya kasus kekerasan menjadi bukti bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menangani konflik tersebut dinilai kurang tepat. Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua dalam rentang waktu Januari 2010 hingga Februari 2018.
Ini antara lain rapor merah Polri. Pelaku kekerasan didominasi aparat kepolisian dengan 34 kasus, lalu anggota TNI 23 kasus. Sementara 11 kasus lain dilakukan bersama-sama oleh anggota Polri dan TNI. Sedangkan, satu kasus dilakukan oleh satuan polisi pamong praja. Akibat tindakan kekerasan oleh aparat keamanan, sebanyak 85 warga Papua meninggal dunia. Di sisi lain, aksi kekerasan juga dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dalam sebulan terakhir turut menewaskan aparat keamanan.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menuturkan, pendekatan dialog dapat dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang dialami masyarakat Papua, seperti diskriminasi dan ketidakadilan. “Dialog damai sebagai strategi penyelesaian siklus kekerasan dan membuka jalan untuk isu-isu lain, ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya,” kata Beka dalam diskusi virtual bertajuk Menanti Perdamaian di Papua: Urgensi Penghentian Kekerasan, baru-baru ini.
Beka menyoroti persoalan hak ulayat di Papua. Menurutnya, masyarakat adat Papua yang menggantungkan hidupnya pada hutan, kini tengah mengalami persoalan. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan pembangunan dan investasi yang tengah digencarkan oleh Presiden Joko Widodo. Pembangunan dan investasi, disebutnya menyebabkan perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. “Hak ulayat masyarakat yang memang sehari-hari menggantungkan hidup pada hutan, tapi hutannya berganti perkebunan,” ujarnya.

Penegakan Hukum
Selain dialog Beka meminta agar pemerintah harus memastikan penegakan hukum berjalan adil dan transparan. Menurutnya, penegakan hukum ini tidak hanya berlaku bagi KKB, melainkan juga kepada aparat TNI-Polri yang terbukti bersalah. “Penegakan hukum bukan ke KKB saja, tetapi juga kepada aparat TNI-Polri yang memang bersalah kemudian membawa korban masyarakat biasa. Saya kira itu juga harus diberi sanksi dan dihukum. Tidak hanya berkonsentrasi pada KKB saja,” nilai dia.

Pendekatan Kolaboratif
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo memberikan saran agar penyelesaian konflik di Papua diselesaikan dengan cara pendekatan kolaboratif. Pemerintah, kata dia, perlu melakukan upaya pendekatan tersebut karena masalah di Papua yang begitu kompleks. “Penyelesaian konflik di Papua diperlukan pendekatan secara kolaboratif dan holistik. Persoalan Papua yang complicated dan multidimensi ini perlu dipahami dalam spektrum yang lebih luas,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik.
Karyono menilai, persoalan Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan solusi tunggal. Ia mengungkapkan, berdasarkan data penyelesaian konflik wilayah, persoalan di Papua tergolong sulit diselesaikan dan memakan waktu yang sangat lama. Menurutnya, pendekatan kolaboratif dalam penyelesaian konflik di Papua harus mensyaratkan kerja sama, interaksi dan kesepakatan bersama. Oleh karenanya, dia beranggapan bahwa model pendekatan kolaboratif memungkinkan untuk menjadi jalan keluar atas konflik di Papua. “Nah, inilah yang perlu dikaji lebih dalam. Ini memacu kita untuk kembali mengidentifikasi persoalan yang menjadi penyebab konflik. Identifikasi akar persoalan tersebut membutuhkan penyelesaian secara kolaboratif, komprehensif dan holistik,” ucap Karyono.

Hilangkan Tindakan Rasialisme
Catatan dalam upaya penyelesaian konflik di Papua juga datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi meminta pemerintah bertindak tegas terhadap tindakan diskriminatif berdasarkan ras atau rasialisme terhadap masyarakat Papua. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan untuk mengakhiri siklus kekerasan yang terjadi di Bumi Cendrawasih. Ia pun mengingatkan bagaimana pada 2019, aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan terjadi di Manokwari. Peristiwa itu dipicu oleh kasus persekusi dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur. “Ini tidak boleh ada tindakan rasialisme itu. Semua rakyat Papua di seluruh Indonesia, itu tidak boleh ada kejadian seperti di Yogyakarta, di Surabaya,” kata Bobby.
Politikus Partai Golkar itu menegaskan, tindakan rasialisme terhadap masyarakat Papua harus dihilangkan. Dia meminta, pemerintah menindak tegas semua pihak yang masih melakukan praktik rasialisme. “Harus ditindak sampai aktor-aktor intelektualnya, termasuk organisasi-organisasi yang masih melakukan aksi-aksi rasialisme seperti itu,” tegasnya.
Selain itu, Bobby juga meminta pemerintah mengintensifkan dialog yang setara dan partisipatif antara pusat dan daerah. Ia pun meminta, dialog itu terpusat dilakukan dengan pemangku kepentingan di tujuh wilayah adat di Papua. Sebab, ia meyakini, masyarakat adat Papua memiliki usulan terkait pembangunan. Sehingga, pembangunan yang diupayakan pemerintah bersifat bottom-up. “Karena mungkin mereka di sana ada beberapa unsur-unsur usulan pembangunan yang sifatnya bottom-up. Selama ini karena memang ada kesulitan untuk bersinergi dalam kesetaraan, itu semua program pembangunan itu adalah top-down,” nilai Bobby.

Sudah Puluhan Tahun
Sudah puluhan tahun konflik bersenjata di Bumi Papua tak kunjung menemukan titik usai. Telah terjadi berbagai peristiwa baku tembak antara Aparat Keamanan dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) separatis pro kemerdekaan Papua yang sering kali membuat warga sipil menjadi korban. Konflik tersebut terjadi dari era orde baru hingga reformasi saat ini, yang awalnya konflik terjadi karena tuntutan kemerdekaan kemudian meluas hingga isu rasial.
Menjadi pertanyaan kemudian, apakah yang salah dari penanganan negara terhadap konflik Papua yang terlalu berlarut-larut?

Soft Approachdi Papua
Di samping sebagai kekayaan, keanekaragaman suku-suku dan budaya merupakan dasar fondasi kuat berdirinya bangsa ini, yang semuanya sepakat untuk berdaulat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Papua merupakan bagian penting tak terpisahkan dalam perjalanan bangsa ini, apa yang terjadi di sana adalah masalah kita bersama dan perlu solusi dari kita semua.
Kita tidak boleh melupakan tujuan negara Indonesia sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945 yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai tujuan pertama. Harusnya negara mempertimbangkan perlindungan masyarakat Papua sebagai prioritas, sebab pendekatan militeristik perlu dievaluasi kembali karena telah banyak menelan korban sipil tak berdosa.
Menurut Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H., M.H. – Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember, kegagalan pendekatan militeristik, membuat berbagai pihak mendorong pemerintah untuk mengubah upaya penyelesaian konflik ke arah yang lebih soft secara politis yang mengedepankan dialog. Sesungguhnya model seperti ini pernah diterapkan dan terbukti berhasil untuk meredakan konflik.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, untuk menyelesaikan konflik di Papua, Gus Dur memilih dialog secara hangat dan humanis. Singkat cerita, pada pada 30 Desember 1999 dalam agenda kunjungannya ke Papua, yang mana saat itu masih bernama Irian Jaya, Gus Dur mengundang berbagai tokoh masyarakat Papua termasuk dari pihak “Gerakan Papua Merdeka” untuk berdiskusi.Tanpa adanya pengamanan yang ketat, Gus Dur kemudian mendengarkan segala aspirasi baik yang pro NKRI maupun pro kemerdekaan Papua. Setelah forum selesai, Gus Dur mengambil kebijakan mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran bintang kejora sebagai bendera kultural di bawah bendera merah putih yang lebih tinggi. Meskipun kebijakan tersebut dinilai tidak populer dan kontroversial, namun justru efektif meredakan konflik di Papua.
Masih menurut Fahmi, Soft approach lainyang dapat dijadikan contoh penanganan konflik adalah Perjanjian Helsinki. Perjanjian disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang tujuannya untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua. Kesepakatan Helsinki merinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.
Perjanjian Helsinki melalui perundingan yang berlangsung sebanyak lima kali pertemuan, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005. Pertemuan pertama berlangsung dari 27 hingga 29 Januari 2005, pertemuan kedua dari 21 Februari 2005 hingga 23 Februari 2005, pertemuan ketiga dari 12 April 2005 hingga 14 April 2005, pertemuan keempat dari 26 Mei 2005 hingga 31 Mei 2005, pertemuan kelima dari 12 Juli 2005 hingga 17 Juli 2005 dan penandatanganan perjanjian pada 15 Agustus 2005.
Perjanjian terdiri dari 71 pasal. Antara lain, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
Perjanjian Helsinki merupakan wujud dari implementasi nilai Pancasila dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan permasalahan sebagai sesama anak bangsa. Poin pentingnya adalah, Perjanjian Helsinki dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Pemerintah untuk segera mengubah gaya penyelesaian konflik Papua agar lebih humanis dengan mengedepankan dialog dan musyawarah. Sebab, penyelesaian konflik dengan pendekatan militer malah memperparah keadaan, membuat kita dipandang buruk di mata dunia, menimbulkan ketakutan dan membuat masyarakat sipil menjadi korban.

Binmas Noken Polri
Terlepas dari berbagai kritik soal efektifitas pendekatan militeristik dan sebagainya. Kepolisian RI yang telah diberikan wewenang untuk menangani konflik di Papua juga telah lama berupaya dan menerapkan soft approach salah satunya dengan pembentukan Satgas Binmas Noken Polri.
Binmas Noken Polri merupakan Satuan Tugas Khusus dibawah Operasi Khusus Nemangkawi yang dibentuk atas kebijakan Kapolri, Prof. Jendral Polisi Tito Karnavian, PhD, dengan Surat Perintah Kapolri No. Sprint/231/1/2018 tanggal 31 Januari 2018 dan Sprint/335/II/OPS.1.1/2018, tanggal 9 Februari 2018. Keduanya perihal Pejabat dan Personil operasi Khusus Papua.
Konsep Binmas Noken adalah perpaduan kata dari konsep Binmas sebagai satuan pada fungsi operasional kepolisian dan konsep Noken. Noken adalah tas tradisional yang bagi orang Papua adalah simbol martabat dan peradaban serta kehidupan. Secara sederhana, Binmas Noken memaknai sebagai operasi kepolisian untuk mengangkat harkat dam martabat kehidupan masyarakat dan rakyat Papua.Tugas utama Binmas Noken Polri adalah menjalankan misi atau operasi kepolisian yang bersifat kemanusiaan atau soft approach policing di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Kapolri sangat memahami situasi perekonomian di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang sangat minim, sehingga Satgas ini bertugas untuk membantu pemberdayaan masyarakat. Program yang dilaksanakan adalah Pendidikan, Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Pengembangan Pariwisata serta pemberdayaan mamak mamak.
Adapun implementasi program di tahum 2018 tergelar di 9 wilayah Kabupaten atau distrik, yaitu Wamena, Timika, Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nabire dan Paniai. Sementara di tahun 2019 ini ditambah 2 wilayah Kabupaten atau distrik, yaitu Nduga dan Keroom.
Perlu kerja keras dari Binmas Noken Polri dan segenap stake holders maupun counterparts untuk bisa membangun sinergitas, baik perorangan (individu) maupun kelompok (institusi).

Program Unggulan
Kini, Binmas Noken Polri menjadi salah satu program unggulan Polda Papua. Program ini menjadi perhatian khusus dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Karena itu, seluruh polres diminta membuat program unggulan.
“Terkait program unggulan kita, Presiden Republik Indonesia dan Kapolri telah memberikan perhatian khusus untuk kita implementasikan, yakni Binmas Noken. Oleh karena itu, diharapkan masing-masing polres agar membuat program-program unggulan,” ucap Wakapolda Papua Brigjen Eko Rudi Sudarto dalam keterangan tertulisnya.
Eko menjelaskan Binmas Noken merupakan salah satu wadah untuk mendekatkan sekaligus menjadi tempat berkeluhnya masyarakat agar mereka semakin percaya terhadap keberadaan polisi sebagai pelayan masyarakat. Menurutnya, tujuan pembentukan Binmas Noken Polri adalah untuk lebih banyak mendengar permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat Papua.
“Perlu disadari bersama, esensi dalam kegiatan Binmas Noken ini banyak sekali yang harus dipahami, bahwa Binmas Noken memerlukan kerja sama dengan berbagai komponen pemerintahan dan elemen masyarakat,” katanya.
Salah satu cendekiawan di Timika, Lucky Mahakena, terus berkontribusi positif membangun narasi pembangunan bagi kemaslahatan masyarakat di Timika. Eko menyebut agensi seperti Lucky ada di seluruh wilayah Papua dan sangat membantu Binmas Noken dalam menjalin interaksi konstruktif dengan berbagai komponen dan elemen.
“Sinergisitas dan kolaborasi antarlembaga dalam dinamika Binmas Noken menjadi kata kunci mewujudkan terciptanya harmonisasi kerja sama. Perhatian pemerintah pusat, dalam hal ini pimpinan negeri, terhadap mekanisme kolaborasi menjadi sangat jelas terhadap dalam melihat pembangunan di Papua,” ujarnya.
Eko menyebut implementasi pendekatan atau interaksi yang sangat efektif bagi Polri kepada masyarakat adalah pendekatan secara manusiawi atau soft approach policing. Dalam implementasinya, kata dia, pendekatan tersebut adalah melalui Binmas Noken.
“Ke depannya, Polri akan membangun Kampung Binmas Noken untuk dijadikan tempat belajar, bermain, serta menanamkan kepada anak untuk cinta Tanah Air. Pada prinsipnya, kita selalu ada dalam perahu yang sama dan tidak perlu menjadi nomor satu. Kita perlu responsibility serta tingkatkan kinerja kita,” katanya.
Untuk diketahui bahwa salah satu prioritas kebijakan Polri yang Presisi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan untuk dilanjutkannya operasi khusus gagasan pendahulunya untuk membangun di Papua dengan hati. Membangun Papua dengan hati perlu guna memelihara kondusifitas situasi kamtibmas dan memberdayakan masyarakatnya. (SAF)

Artikel sebelumyaPolri Akan Sikat 3.000 Pinjol Ilegal
Artikel berikutnyaSatpolair Polres Sukamara, Imbau Warga Patuhi Prokes

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here