Tim tracer virus Covid-19 adalah bagian penting upaya percepatan penanganan pandemi Covid-19. Penelusuran kontak erat merupakan satu dari tiga kunci utama – selain testing dan treatment – untuk memutus penyebaran virus.  Tugas tracer sebagai garda terdepan melacak kontak-kontak erat pasien positif virus Covid-19 dan memetakan klaster penyebarannya. Polri memutuskan akan melakukan kegiatan pelatihan 2.284 orang relawan untuk dijadikan tim tracer atau pelacakan penularan Covid-19 di Indonesia. Pelatihan tersebut dilaksanakan pada hari Selasa (29/6/2021) hingga 1 Juli 2021. Pelatihan tracer tersebut jelas merupakan terobosan Polri yang diperlukan. Namun sesungguhnya tantangan besar yang juga dihadapi para tracer dalam menjalankan tugasnya adalah persoalan kuatnya keyakinan yang salah akibat terjadinya disinformasi mengenai Covid-19  selama ini. Masalah ini jelas harus ditangani secara beriringan dan terpadu.

 

Jakarta, 1 Juli 2021. Sudah jadi rahasia umum bila kemampuan penelusuran kontak erat Covid-19 di Indonesia hingga kini  oleh masih di bawah standar. Hal ini juga telah diakui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.  Menurutnya, rasio contact tracing Indonesia masih 1 banding 4. Padahal WHO menetapkan batas ideal contact tracing 1:30 (satu kasus positif maka pelacakannya ke 30 kontak erat).

“Sesudah testing, data itu harus dikasih ke tracer dan mesti mencari 30 kontak erat dalam seminggu terakhir. Kenyataanya, kita mungkin hanya mendapatkan baru 4 [kontak erat]. Itu pun bukan seminggu, tapi dalam tiga minggu. Susah sekali melacaknya dengan manual,” ujar Budi pada Januari 2021 lalu. Selain itu, harus diakui pula bahwa sistem pelacakan kontak di Indonesia terhadap Covid-19 masih terbilang lemah.

Menurut Aqsha Azhary Nur, anggota Tim Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (Satgas IDI) jika mau ideal  3 banding 10.000, Indonesia seharusnya sudah menyediakan sekitar 80 ribu tracer di seluruh wilayah tanah air. Jumlah ini masih tidak memadai, sehingga sulit mengharapkan tim tracer tersebut mengkover keseluruhan kebutuhan mereka di lapangan.“Jumlah di Puskesmas selaku garda terdepan tidak mencukupi itu. Sejak awal, Puskesmas tidak mengalokasikan tracer untuk COVID-19 dan upaya perekrutan baru dijalankan setelah Covid-19 muncul,”  demikian jelasnya.

 

Penting dan kerja menantang

Tidak dapat disangkal, tim tracer virus Covid-19 adalah bagian penting upaya percepatan penanganan pandemi Covid-19. Penelusuran kontak erat merupakan satu dari tiga kunci utama – selain testing dan treatment – untuk memutus penyebaran virus.  Tugas tracer sebagai garda terdepan melacak kontak-kontak erat pasien positif virus Covid-19 dan memetakan klaster penyebarannya.

Tanggungjawab dan beban mereka amat berlapis, karena kerja tim tracing bersandar pada tiga hal: identifikasi kontak erat, pendataan, serta karantina dan pemantauan harian selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan kasus positif. Alur kerjanya panjang; wawancara kasus, mengidentifikasi kasus, lalu evaluasi kontak erat. Kemudian, jufa menentukan siapa para target kontak erat. Tracer mengontak para target, lalu meminta mereka melakukan karantina selama 14 hari.

Alur kerja yang tidak mudah ini masih ditambah lagi dengan implementasinya yang tidak sesederhana petunjuk teknisnya. Gerak mereka di lapangan amat terbatas dan memerlukan faktor-faktor pendukung untuk melancarkan kerjanya. Peran serta tokoh masyarakat dan setempat untuk menyadarkan masyarakat  di Indonesia seringkali sangat vital. Peran mereka diperlukan bila ingin  mencapai target dan agar para tracer dapat diterima masyarakat dengan tangan terbuka.

Tim tracer yang inovatif akan mencoba mencari jalan-jalan untuk melancarkan usaha mereka. Banyak dari mereka menghindari penggunaan atribut yang menyeramkan, misalnya tanpa hazmat, hanya dengan seragam biasa dan masker dan topi. Sebagian dari mereka juga merasa harus melengkapi pekerjaan mereka dengan sarana pendukung lain misalnya memperlihatkan data, gambar dan situasi pandemi yang akurat dari media sosial online dan internet.

Di lapangan, para tracer  juga sering menghadapi kesulitan menghadapi orang yang tidak mau bekerjasama dan kurang bersahabat ketika dikontak/ditelepon. Mereka  tidak jarang harus menghadapi kontak-kontak yang ngeyel dan amat sulit diinsyafkan. Masalah ini antara lain berkaitan dengan masih kuatnya budaya dan stigma terhadap penyakit di kalangan masyarakat terutama menyikapi pandemi Covid-19 secara serius. Walaupun nyata-nyata mereka melihat situasi pandemi yang memburuk, mereka tetap  tidak percaya kondisi di daerahnya sudah memasuki zona merah.

“Stigma membuat masyarakat takut berterus terang, takut dianggap sebagai penyebar virus, dan takut kalau akhirnya diisolasi,” jelas Kepala Puskesmas Tamansari Syukur Pelianus. “Walhasil, mereka menutup-nutupi apa yang sebenarnya jadi concern kami.” Sementara mengubah keyakinan masyarakat tersebut tidak semudah membalik telapak tangan dan sumber daya tim tracer berkualitas juga tampaknya terbatas, pandemi dan transmisi Covid-19 semakin menggila. Pendeknya, pekerjaan sebagai tim tracer virus Covid-19 di Indonesia masih sangat menantang, bila dibandingkan dengan kerja rekan-rekannya di negara yang sudah maju.

 

Peran Babinsa dan Bhabinkamtibnas Sebagai Tracer Covid-19

Tampaknya pihak Polri melihat betapa kompleksnya persoalan penanganan Covid-19 tanpa ada dukungan dari pihaknya maupun TNI dalam membantu tugas pemerintah. Itulah sebabnya petugas Bhabinkamtibmas dan Babinsa dilibatkan dalam melakukan tracing atau pelacakan Covid-19 secara nasional pada April 2021 yang lalu sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Babinsa dan Bhabinkamtibmas diturunkan ke masyarakat dan sebelumnya melalui on-the job training (OJT). Pelatihan mereka dibantu oleh puskesmas setempat. Dilaporkan bahwa  pelibatan Babinsa dan Bhabinkamtibmas terlaksana di 10 provinsi prioritas PPKM mikro di Indonesia. Mereka tampak turun berinteraksi langsung dengan masyarakat guna percepatan penanggulangan covid-19 lewat penguatan Testing dan Tracing sehingga mereka bisa lebih dini menemukan kasus dan melakukan tindakan penanganannya.

Di lapangan kerja mereka adalah mendampingi para nakes untuk menjalankan tugas sebagai Tracer dan Vaksinator Covid-19. Sesudah menerima kegiatan Pelatihan Tracer Covid-19 antara lain dari Dinas Kesehatan Kota. Dalam kegiatan tersebut para Babinsa dan Babinkamtibmas menerima sejumlah materi yang meliputi Pengetahuan dasar tentang Covid-19, pencegahan dan pengendalian, Strategi pengendalian Covid-19 melalui penelusuran kontak (Contact Tracing) dan Pelatihan Babinsa dalam rangka Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro termasuk pelaksanaan Posko Desa dalam rangka PPKM Mikro.Sebagai aparat, mereka juga bisa membantu mengedukasi warga terkait perlunya mengikuti tes swab maupun rapid antigen. Ini karena tidak semua warga mau menjalani tes swab atau rapid antigen guna memastikan ia terkonfirmasi positif Corona atau tidak seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain dengan sistem yang ketat seperti Australia.

Tim Tracer bertugas menghimbau yang sedang melaksanakan isolasi mandiri agar tetap disiplin  tidak keluar rumah  dan mematuhi ketentuannya. Masyarakat sekitar juga mereka himbau agar jangan kucilkan mereka agar bisa sembuh  seperti sedia kala. Demikian penjelasan Bhabinkamtibmas Brigadir Mukti Nofriko, SH. Tim tracing dari Puskesmas bersama Babinsa dan Bhabinkamtibmas kemudian muncul sebagai ujung tombak upaya penanggulangan wabah Covid-19 untuk melacak warga yang pernah menjalin kontak erat dengan warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 tersebut.

 

Solusi Penanganan Lonjakan Signifikan Akhir-Akhir Ini

Namun demikian, kasus-kasus Covid-19 di Indonesia saat ini tengah mengalami lonjakan signifikan. Berdasarkan data terkini, yakni Data Satgas Covid-19 per Rabu (30/6/2021), kasus harian konfirmasi positif bertambah  hingga 21.807 pasien dengan penambahan kasus aktif 10.533 atau ditotal 239.368.

Kondisi tempat tidur nasional pun berada di angka 72 persen berdasarkan pernyataan Jokowi, Rabu (30/6/2021). Situasi tersebut sudah masuk dalam kategori kondisi darurat. Masyarakat  kemudian tampak mengalami kepanikan karena takut rumah sakit kolaps. Belum lagi terdapatnya indikasi banyaknya  warga isolasi mandiri yang terpaksa keluar karena tidak mampu ditampung di tempat isolasi.

Di sisi lain yang tak kalah pentingnya, pemerintah masih mengalami tantangan dalam testing dan tracing. Upaya penegakkan regulasi penanganan Covid-19 juga sulit ditegakkan pemerintah. Apalagi dengan kehadiran varian baru juga membuat lonjakan kasus meningkat, sementara target vaksinasi masih belum tercapai targetnya.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono pada Selada (29/6/2021) memutuskan bahwa Polri akan melakukan kegiatan pelatihan 2.284 orang relawan untuk dijadikan tim tracer atau pelacakan penularan Covid-19 di Indonesia. Pelatihan tersebut dilaksanakan pada hari Selasa (29/6/2021) hingga 1 Juli 2021. Adapun pelatihnya berasal dari Badan Pemeliharaan dan Keamanan (Kabaharkam) Polri. Sementara peserta pelatihan terdiri dari berbagai unsur masyarakat termasuk anggota Polri sendiri.

Argo optimistis pelatihan ayas ribuan tim tracer itu bisa mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Dia juga mengimbau kepada anggota Polri yang tergabung di dalam tim tracer tersebut agar mampu bertindak profesional dan tetap menjaga diri selama berada di lapangan. “Yang pertama menjaga diri kita sendiri, kemudian membuka mata dan telingan dan mendata siapa saja yang terkonfirmasi positif, tidak boleh pasif,” katanya.

 

Disinformasi dan Mitos-Mitos Tentang Covid-19

Pelatihan tracer tersebut jelas merupakan terobosan Polri yang diperlukan. Namun sesungguhnya tantangan besar yang juga dihadapi para tracer dalam menjalankan tugasnya adalah persoalan kuatnya keyakinan yang salah akibat terjadinya disinformasi mengenai Covid-19  selama ini. Wapres Ma’ruf Amin telah mengisyaratkan bahwa banyak orang Indonesia yang masih tidak percaya atas Covid-19 karena terpengaruh dengan teori-teori konspirasi yang disebarkan secara luas dan menggebu-gebu lewat berbagai platform media sosial.

Menurutnya media sosial menjadi saluran masuknya arus informasi kebohongan (hoaks), penipuan, fitnah, provokasi dan bahkan konten-konten yang berisi ajaran sesat serta ajaran ekstrim baik kanan maupun kiri. Akibatnya, banyak orang yang akhirnya tak percaya bahwa penyebaran Covid-19 masih terjadi dan mempengaruhi kestabilan nasional yang merugikan.

Memang ada beragam disinformasi yang beredar untuk mempengaruhi masyarakat tersebut. Selain teori konspirasi, fakta dan hoax hingga kepercayaan bahwa Covid-19 dibawa oleh jin dan tiada lain permainan Dajjal, masih banyak lagi isu-isu lain yang mengemuka.  Sayangnya seringkali pernyataan yang menyesatkan justru dipopulerkan dan diviralkan oleh figur publik yang mudah diikuti masyarakat luas karena ketenaran mereka. Jumlah propaganda anti-vaksin di platform media sosial seperti pantauan memang telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dan sayangnya beraspek religius. Yatun Sastramidjaja dan Amirul Adli Rosli dari ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura menyatakan bahwa

“Mikro-influencer religius di Indonesia memiliki platform, jangkauan, dan kemampuan membuat konten untuk menyebarkan pesan mereka ke basis dukungan besar dari pengikut setia, yang percaya pada panutan agama tetap tak tergoyahkan oleh sensor”. Selain itu cukup kuat beredar di Indonesia pihak-pihak yang mencoba menggaungkan pendapat bahwa Covid -19 merupakan bagian dari konspirasi global yang dibuat oleh elit-elit tertentu dengan tujuan tersembunyi.

Tidak sedikit yang percaya pula bahwa semua ini merupakan permainan kaum elit global, karena WHO (lembaga kesehatan PBB) dikuasai oleh Amerika/China, di mana ada unsur setingan bisnis yang didukung kalangan media dan rumah sakit. Mereka dan para pendukungnya berpendapat adanya motif ekonomi dan perputaran uang dalam pandemi selama ini dengan argumen bahwa bahwa vaksin, vntilator, bisnis rumah sakit, masker semua adalah berhubungan dengan konspirasi dari hanya segelintir elit global yang menguasai dunia.

Karenanya, segala aturan yang terkait dengan upaya pencegahan covid-10 dibantah, apakah itu penggunaan masker, pembatasan kegiatan maupun upaya kerjasama dengan tim tracer. Pernyataan-pernyataan kelompok tersebut tampak makin meresahkan karena dikeluarkan justru di saat kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya, saat semua tempat isolasi dan rumah sakit rujukan penuh dengan pasien positif. Yang pasti dan harus menjadi perhatian pihak-pihak seperti Polri adalah bahwa berbagai pendapat dan tuduhan-tuduhan mereka itu tidak berdasar dan tidak dapat dibuktikan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengkritik sejumlah pihak yang telah mempromosikan keyakinan pseudo-ilmiah dan spekulatifnya kepada masyarakat bahwa pandemi Covid-19 adalah suatu konspirasi. Haedar khawatir pernyataan mereka justru turut memperburuk penanganan pandemi di Indonesia yang selama ini sudah susah payah ditegakkan di Indonesia.

Kritik juga disampaikan Haedar kepada pihak yang terus mempromosikan antivaksin. Haedar menyesalkan ada orang yang menuduh ribuan ahli vaksin di dunia dan tenaga kesehatan sedang bersekongkol melakukan kejahatan. Haedar juga mengkritik pihak-pihak yang melanggengkan kepercayaan konspirasi. Itu didasarkan hanya karena satu dua kesalahan tenaga medis lalu menggeneralisasi kesimpulan dengan stigma pasien-pasien yang sakit atau meninggal dengan status ‘dicovidkan’.

 

Sejarah Yang Berulang

Bahwa muncul begitu banyak mitos, tuduhan dan pandangan-pandangan keliru terhadap Covid-19 dewasa ini bukanlah hal yang baru dan unik. Menurut Maria Cohut PhD, dalam berbagai pandemik serupa yang terjadi di masa lalu, selalu juga disertai oleh munculnya teori konspirasi dan gelombang anti sains di kalangan masyarakat luas. Pandemi Covid-19 bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban dunia. Sejarah mencatat mengenai pandemi “Black Death  pada 1334 yang begitu dahsyat dan efek buruknya masih terus dirasakan sampai pada abad-abad kemudian.  Masih ada sederet pandemi yang memiliki karakteristik yang sama dalam menciptakan disrupsi hebat dalam tatanan peradaban manusia seperti Yellow Rivers, MERS, dan seterusnya.

Mitos-mitos serupa juga muncul ketika terjadi pandemi flu Spanyol 1918. Tidak lama sesudah pandemi itu pecah, sejumlah konsepsi salah yang berbahaya dan teori konspirasi asal usul virus flu itu pun muncul. Jelas ini tidak membantu upaya pemerintah dan pihak kesehatan di Indonesia mengatasi secara holistik.

Menurut peneliti Cathy Cassata, semua mitos-mitos salah itu telah amat mempengruhi  pandangan anti pandemi dan anti vaksin yang masih terus terjadi hingga dewasa ini. Karenanya, area ini harus menjadi perhatian dari pemerintah, di mana peran dan suara-suara ahli epidemiologis dan ahli kesehatan lainnya lebih banyak dipublikasikan ketimbang diperdebatkan tanpa memberi sumbangan berarti dalam upaya penanggulangan Covid-19 seiring munculnya varian-varian baru yang amat mengkhawatirkan tersebut. (Isk – dari berbagai sumber).

Artikel sebelumyaPeran Penting Polri di Masa Penerapan PPKM
Artikel berikutnyaPemerintah Berlakukan PPKM Darurat, Polri Lakukan Sejumlah Antisipasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here