Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menjelaskan sejumlah perkara yang menyita perhatian publik dalam Rapat Kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (16/06/ 2021). Salah satunya adalah pembunuhan di luar hukum atau unlawfull killing terhadap enam anggota laskar FPI (Front Pembela Islam) yang telah dibubarkan. Menurutnya, awalnya perkara ini sempat dihentikan karena seluruh korbannya meninggal. Enam laskar itu tewas ditembak polisi di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50 pada Senin dini hari, 7 Desember 2020 lalu. Menurut Kapolri, pihaknya akan segera mempercepat kasus-kasus yang menjadi perhatian publik termasuk kasus tersebut. Dalam waktu dekat Polri akan mengembalikan berkas unlawful killing yang telah dikembalikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu. Bagaimana kronologi peristiwa itu? Baik menurut Pori, FPI maupun Komnas HAM. Apa saja kritik terhadap penanganannya? Apa kata para pakar hukum?

 

Jakarta, 18 Juni 2021 – Kapolri Listyo Sigit menjelaskan, karena kasus ini telah bergulir kembali, saat ini posisi perkaranya dalam tahap pertama dan sudah pernah diajukan ke Kejaksaan. Namun, kata dia, Kejaksaan mengembalikan berkas itu kepada Polri untuk dilengkapi. “Ada petunjuk P19 dari kejaksaan, sudah kami lengkapi dan mudah-mudahan minggu ini segera kami kirim kembali ke kejaksaan,” kata Listyo. Menurutnya, kekurangan itu sudah dilengkapi oleh timnya. “Mudah-mudahan pekan ini segera kami kirim ke Kejaksaan,” katanya.elanjutnya Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Andri Rian mengatakan bahwa paling lambat hari Jumat (18/6/2021) akan dilimpahkan kembali ke JPU (Jaksa Penuntut Umum).

Sebagai informasi, ada tiga tersangka yang dijerat sebagai tersangka dalam perkara itu. Mereka merupakan polisi yang bertugas di Polda Metro Jaya. Hanya saja, salah satu polisi berinisial EPZ telah meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal awal Januari 2021 lalu. Penyidikan terhadapnya pun dihentikan. Dua tersangka lainnya tak diungkap identitasnya oleh polisi. Namun, para tersangka tak ditahan meskipun dijerat pasal dugaan pembunuhan dengan ancaman hingga 15 tahun penjara. “[Kedua tersangka] tidak ditahan,” lanjut Andi.

Merujuk pada Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), aparat penegak hukum memiliki sejumlah alasan subjektif dan objektif untuk dapat melakukan penahanan kepada tersangka. Misalnya, penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun atau lebih. Atau, penyidik mengkhawatirkan tersangka nantinya dapat melarikan diri, mengulangi perbuatan pidana, atau merusak barang bukti selama proses penyidikan berjalan.

Penetapan tersangka itu terjadi atas desakan publik agar perkara ini kembali dibuka. Dengan dalih para korban meninggal dunia, polisi sempat menutup buku pengusutan perkara ini. Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM kemudian melakukan penyelidikan dan menemukan adanya dugaan unlawful killing dalam perkara penembakan enam laskar FPI. JPU dan Bareskrim Polri telah melakukan rekonstruksi ulang kasus dugaan unlawful killing Laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek. “Proses rekonstruksi bersama JPU pada hari Senin lalu,” kata Dir. Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi, Jumat (11/6/2021). Menurut Andi, dilakukannya rekonstruksi ulang perkara tersebut merupakan permintaan dari pihak JPU. Lokasi ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan JPU di Cikeas.

 

 

 

Beda Kronologi Polisi Vs FPI

Rombongan Muhammad Rizieq Shihab (MRS) diberondong peluru oleh kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 pada Senin (7/12/2020) dini hari. Akibatnya, enam anggota FPI tewas tertembak. Kematian enam anggota FPI tersebut menjadi sorotan publik. Bahkan, media asing juga turut mewartakan insiden tersebut. Pihak kepolisian telah merilis kasus tersebut dan menjelaskan kronologi kejadian. Namun, kronologi tersebut berbeda dengan kronologi yang disampaikan oleh FPI. Berikut perbedaan kronologi penembakan anggota FPI versi polisi dan FPI.

Menurut versi polisi berdasarkan keterangan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Fadil Imran menjelaskan, timnya mendapatkan informasi adanya pengerahan massa untuk mengawal pemeriksaan MRS di Polda Metro Jaya. Informasi pengumpulan massa tersebut beredar melalui pesan singkat di grup WhatsApp.

Seperti diketahui, MRS dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan di acara kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Atas informasi tersebut, polisi menyelidiki kebenaran informasi dengan mengikuti mobil yang diduga mengangkut simpatisan MRS. Sesampainya di Tol Jakarta-Cikampek Km 50, Fadil mengaku kendaraan polisi dipepet oleh mobil berisi simpatisan MRS yang berjumlah 10 orang.

Ketika anggota Polda Metro Jaya mengikuti kendaraan diduga adalah pengikut MRS, kendaraan petugas dipepet lalu kemudian diserang. Lantaran merasa terancam, polisi kemudian melakukan perlawanan kepada para pelaku. Alhasil, enam orang pelaku tewas ditembak. “Anggota yang terancam keselamatan jiwannya karena diserang melakukan tindakan tegas terukur sehingga terhadap kelompok yang diduga pengikut MRS berjumlah sepuluh orang. Kelompok MRS yang melakujan penyerangan b di meninggal dunia sebanyak 6 orang,” ungkap Fadil.

Menurut Fadil, enam anggota FPI yang menyerang polisi tersebut merupakan laskar khusus. Tim itu pula yang kerap kali menghalangi proses penyidikan kasus pelanggaran protokol kesehatan di acara pernikahan putri MRS. Dalam konperensi pers, Fadil memamerkan sejumlah barang bukti yang disebut merupakan milik simpatisan MRS. Barang bukti tersebut berupa dua senjata api, tujuh peluru dan tiga selongsong peluru. Selain itu ada pula satu bilah pedang dan celurit.”Ini asli (bukan senpi rakitan), ini sudah ada tiga yang ditembakkan,” ungkap Fadil.

Sedangkan kronologi peristiwa penembakan versi FPI, menurut Sekretaris Umum FPI, Munarman menjelaskan bahwa rombongan tersebut berangkat pada Minggu (6/12/2020) malam sekira pukul 22.30 WIB keluar dari Sentul, Bogor usai mengikuti pengajian keluarga inti. Rombongan Rizieq tersebut terdiri dari delapan mobil, di mana empat mobil berisi keluarga MRS dan empat mobil lainnya berisi laskar FPI. Mereka menyadari sejak keluar dari perumahan di Sentul ada mobil Avanza berwarna silver yang membuntuti rombongan.

Para penguntit tersebut baru beraksi sekitar pukul 12.30 WIB setelah rombongan tiba di Tol Jakarta-Cikampek, dekat gerbang Tol Karawang Timur. Mobil penguntit yang berisi orang tak berseragam tersebut berusaha memotong rombongan dan menghentikan kendaraan. Para anggota laskar FPI langsung bereaksi berusaha melindungi MRS. Dua mobil laskar FPI meneruskan perjalanan bersama rombongan keluarga MRS, sementara dua mobil laskar lainnya berusaha menghalangi mobil penguntit. Satu mobil laskar langsung melarikan diri saat mendengar suara tembakan. Sementara satu mobil laskar lainnya tetap mengadang mobil penguntit.

Munarman menyebut keenam anggota laskar yang berada di dalam mobil tersebut diculik. Ia terkejut saat mengetahui ternyata enam orang tersebut telah tewas ditembak mati. “Para penghadang berhasil melakukan penembakan dan satu mobil berisi enam orang laskar masih hilang diculik oleh para preman OTK bertugas,” ungkapnya. Munarman membantah tuduhan polisi yang menyebut laskar FPI memiliki senjata api asli dan senjata tajam. Ia menegaskan laskar FPI tak pernah dipersenjatai apapun. “Ini fitnah luar biasa pemutar balikan fakta dengan menyebutkan bahwa laskar yang lebih dahulu menyerang dan melakukan penembakan,” tegas Munarman.

Lebih lanjut, Munarman mengatakan, pihaknya tidak pernah punya akses untuk bisa mendapatkan senjata api. Ia meminta barang bukti senpi yang sempat dipamerkan polisi untuk dicek keasliannya. “Dan tidak mungkin membeli dari pasar gelap. Jadi bohong, bohong sama sekali. Apalagi di angota kartu FPI dan kartu anggota LPI disebutkan bahwa setiap anggota FPI dilarang membawa senjata tajam, senpi bahkan bahan peledak. Itu dilarang. Jadi upaya-upaya memfitnah, memutarbalikan fakta, hentikanlah,” tuturnya.

 

Kronologi Versi Komnas HAM

Sementara itu, Komnas HAM menyimpulkan empat dari enam anggota laskar FPI yang dieksekusi mati oleh kepolisian sebagai pelanggaran hak asasi manusia. KomisionerKomnas HAM Muhammad Choirul Anam mengatakan, dalam rekomendasinya menyebutkan eksekusi mati dengan peluru tajam tersebut, sebagai bentuk unlawful killing, atau perampasan hak hidup dengan cara penegakan hukum yang berlebih-lebihan.

“Peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI merupakan kategori pelanggaran HAM,” kata Anam di Komnas HAM, Jakarta, Jumat (8/1). Anam adalah ketua tim penyelidikan dan investigasi terkait peristiwa yang terjadi di tol Jakarta Cikampek Km 50, pada Senin (7/12/2020) dini hari itu. “Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan, mengindikasikan adanya unlawful killing terhadap keempat anggota laskar FPI tersebut,” sambung Anam.

Empat laskar FPI tersebut, yakni Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Muhammad Reza (20), dan Luthfi Hakim (25), serta Muhammad Suci Khadavi (21). Sementara dua anggota laksar FPI lainnya, Faiz Ahmad Sukur (22), dan Andi Oktiawan (33), dikatakan Anam memang juga tewas dieksekusi petugas dengan peluru tajam petugas kepolisian. Akan tetapi, Komnas HAM tak memasukkan kedua korban tersebut, ke dalam klasifikasi pelanggaran HAM.

Berikut kronologi singkat peristiwa penembakan enam anggota laskar FPI, dari hasil penelusuran fakta yang dilakukan oleh Komnas HAM, sejak Senin (7/12/20. Bahwa peristiwa meninggalnya enam orang laskar FPI dilatarbelakangi adanya kegiatan pembuntutan terhadap Imam Besar FPI Muhammad Rizieq Shihab (MRS) yang secara aktif dilakukan oleh kepolisian Polda Metro Jaya sejak 6-7 Desember 2020, di saat rombongan MRS bersama sejumlah pengawal berjumlah sembilan unit kendaraan roda empat bergerak dari Perumahan the Nature Mutiara Sentul, ke sebuah tempat di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Mobil rombongan MRS dibuntuti sejak keluar gerbang kompleks perumahan, masuk ke gerbang tol Sentul Utara 2, hingga tol Cikampek dan keluar pintu tol Karawang Timur. Pergerakan iringan mobil masih normal. Meskipun saksi FPI mengatakan, adanya manuver mobil pengintai yang masuk ke rombongan iringan mobil HRS. Versi kepolisian, mengaku hanya sesekali maju ke iringan mobil MRS dari lajur kiri tol, untuk memastikan bahwa target pembuntutan MRS berada dalam iring-iringan.

Rombongan MRS keluar di pintu tol Karawang Timur. Dan tetap diikuti oleh beberapa kendaraan yang melakukan pembuntutan. Sebanyak tujuh mobil rombongan MRS melaju lebih dahulu, dan meninggalkan dua mobil unit pengawalan lainnya. Dua mobil yang tertinggal itu, Avanza silver (Den Madar FPI), dan Chevrolet Spin (Laskar Khusus FPI). Kedua mobil pengawalan itu, menjaga agar mobil yang membuntuti iring-iringan MRS, tak mendekat.

 

Kedua mobil FPI tersebut, berhasil membuat jarak dan memilik kesempatan untuk kabur dan menjauh. Namun, mengambil tindakan untuk menunggu mobil petugas kepolisian yang membuntuti. Tiga mobil yang membuntuti, berplat K 9143 EL, dan B 1278 KJD, dan B 1739 PWQ.

Telah didapatkan fakta telah terjadi kejar-mengejar, dan aksi saling tempel, dan serempat dan seruruk yang berujung saling serang dan kontak tembak antara mobil Laskar Khusus FPI (Chevrolet Spin), dengan mobil petugas pembuntutan. Aksi tersebut, terutama terjadi di sepanjang Jalan Internasional Karawang Barat, diduga hingga sampai Km 49, dan berakhir di Km 50 Tol Japek.

Bahwa di Km 50 tol Japek, dua orang anggota Laskar Khusus ditemukan dalam kondisi meninggal. Sedangkan empat lainnya (Den Madar), masih hidup dan dibawa dalam keadaan hidup oleh petugas kepolisian. Terdapat pula informasi adanya kekerasan, pembersihan darah, pemberitahuan kepada warga sekitar oleh petugas bahwa ini kasus narkoba, dan terorisme. Dari fakta pengungkapan, juga terjadi pengambilan rekaman CCTV oleh petugas di salah satu warung, dan perintah untuk menghapus dan memeriksa handphone masyarakat yang melihat.

Petugas kepolisian, mengaku mengamankan sejumlah barang bukti berupa dua buah senjata rakitan jenis revolver gagang coklat, dan putih, sebilah samurai, sebilah pedang, celurit, dan sebuah tongkat kayu runcing. Bahwa empat anggota Laskar Khusus tersebut, kemudian ditembak mati di dalam mobil petugas saat dalam perjalanan dari Km 50 ke atas, menuju Polda Metro Jaya dengan informasi hanya dari petugas kepolisian semata, bahwa terlebih dahulu telah terjadi upaya melawan petugas yang mengancam keselamatan diri sehingga diambil tindakan.

Anam menjelaskan, kronologi, dan runtutan singkat kejadian, merupakan hasil dari investigasi dan penyelidikan yang Komas HAM lakukan sejak Senin (7/12) lalu. Dari seluruh rangkaian penyelidikan itu, Komnas HAM melibatkan banyak pihak. Termasuk dari kepolisian, dan Jasa Marga pengelola jalan tol, serta permintaan keterangan dari DPP FPI yang ikut dalam rombongan MRS ke Karawang.

Menurut Anam, dari penyelidikan, dan pengungkapan, Komnas HAM mempunyai banyak barang bukti yang dijadikan basis untuk merangkai fakta kejadian. Beberapa barang bukti tersebut, termasuk sebanyak 105 percakapan via voice note dari FPI, 32 foto kondisi jenazah, dan keterangan dari saksi fakta persitiwa. Sedangkan dari kepolisian, Komnas HAM menghimpun barang bukti, sebanyak 172 percakapan voice note, dan 191 transkipnya, serta laporan siber, forensik, labfor, dan inafis. Dari Jasa Marga, Komnas HAM menerima barang bukti berupa rekaman CCTV sebanyak 9.942 video rekaman kondisi jalan tol Japek, dari Km 48 sampai Km 72. Pihak Jasa Marga menyerahkan bukti sebanyak 137, 548 foto aktivitas statis kendaraan yang melintas lokasi kejadian menjelang tengah malam (6/12/2020), sampai pagi hari, Senin (7/12/2020).

 

Kritik IPW dan Jawaban Polri

Indonesian Police Watch (IPW) menyebut ada tiga kejanggalan dalam rekonstruksi penembakan 6 laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pertama adalah tidak diborgolnya pengikut Habib Rizieq Shihab (HRS) tersebut saat diringkus ke dalam mobil polisi, hingga akhirnya melawan dan ditembak.

“Pertama, keempat anggota FPI yang masih hidup, setelah dua temannya tewas (versi polisi tewas dalam baku tembak) dimasukkan ke dalam mobil polisi tanpa diborgol. Ini sangat aneh, Rizieq sendiri saat dibawa ke sel tahanan di Polda Metro Jaya tangannya diborgol aparat. Kenapa keempat anggota FPI yang baru selesai baku tembak dengan polisi itu tangannya tidak diborgol saat dimasukkan ke mobil polisi?” kata Presidium IPW Neta S. Pane, Senin (14/12/2020). Kini, Neta S. Pane sudah wafat akibat terkena penyakit jantung sekaligus terpaan COVID-19.

Neta menuturkan kejanggalan berikutnya adalah ketika empat pengikut HRS diringkus ke dalam mobil. Neta menilai hal itu aneh dan tidak masuk akal karena kapasitas mobil hanya untuk 8 orang. “Kedua, memasukkan keempat anggota FPI yang baru selesai baku tembak dengan polisi ke dalam mobil polisi yang berkapasitas delapan orang, yang juga diisi anggota polisi, adalah tindakan yang tidak masuk akal, irasional, dan sangat aneh,” tuturnya.

Ia kemudian menyinggung jargon Polri, yakni profesional, modern, tepercaya, atau promoter. Neta menyebut tak promoter. “Ketiga, anggota Polri yang seharusnya terlatih terbukti tidak promoter dan tidak mampu melumpuhkan anggota FPI yang tidak bersenjata, sehingga para polisi itu main hajar menembak dengan jarak dekat hingga keempat anggota FPI itu tewas,” tutur dia. “Dari ketiga kecerobohan ini, terlihat nyata bahwa aparatur kepolisian sudah melanggar SOP yang menyebabkan keempat anggota FPI itu tewas di satu mobil,” imbuh dia.

Menanggapi soal tak diborgolnya tersangka hingga akhirnya melakukan perlawanan di mobil, Polri menjelaskan anggota yang saat itu mengikuti rombongan MRS adalah tim surveilans. Maka mereka tak dibekali borgol. “Kenapa itu terjadi (tidak diborgol), yang pertama itu memang dia tidak diborgol karena memang tim yang mengikuti ini bukan tim untuk menangkap, tim surveilans untuk mengamati,” kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi, saat dihubungi, “Mereka tidak dipersiapkan untuk menangkap tetapi apa bila menerima serangan mereka siap. Nah kejadian di TKP 4 itu,” sambung Andi.

Andi mengungkapkan dua pelaku mencoba mencekik polisi yang duduk di bangku depan mobil. Sementara tersangka lain hendak merebut pistol polisi. “Dua tersangka, dua pelaku itu, yang satu mencoba mencekik anggota dari belakang, yang disamping mencoba merebut (senjata). Terus dalam kondisi begitu kan nggak mungkin lagi kan pakai omongan-omongan kan. (Pelaku saat diringkus) Tangan kosong, makanya mau merebut senjata,” lanjutnya.

Andi menuturkan Polri terbuka dalam mengungkap peristiwa ini secara terang benderang. Dia mengimbau semua pihak yang mengetahui dan memiliki bukti terkait peristiwa ini untuk menyampaikannya melalui hotline yang sudah disediakan. “Saya tidak dalam kapasitas untuk menanggapi komentar-komentar orang di publik. Saya tidak dalam kapasitas untuk itu. Kalau misalnya mereka punya fakta, buktikan, kita kan terbuka. Dari awal Pak Kabareskrim (Komjen Listyo Sigit Prabowo) sudah menyampaikan hotline, terbuka kepada masyarakat, siapapun yang punya informasi terkait ini silakan,” imbuhnya.

 

Polri Sudah Transparan dan Profesional

Sementara itu, pakar hukum kepolisian dari Universitas Bhayangkara Jakarta, Edi Hasibuan menilai bahwa peningkatan status hukum kasus penembakan laskar FPI dari penyelidikan ke penyidikan menjadi bukti keseriusan Polri menuntaskan masalah tersebut. “Kami melihat Polri ingin transparan dan profesional dalam menangani kasus ini. Saya kira inilah jawaban Polri kepada masyarakat yang meragukan Polri dalam menangani kasus ini,” ujar Edi dalam dalam channel You Tube-nya Edi Hasibuan Official yang mengangkat judul ‘Penembakan Laskar FPI Masuk Penyidikan,’ Minggu (14/3/2021).

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) ini mengatakan peningkatan status perkara menjadi penyidikan merupakan perkembangan baru dari kasus penembakan Laskar FPI. Hal ini sekaligus bukti bahwa Polri benar-benar profesional menangani kasus tersebut. “Kami percaya Kepolri ingin kasus ini diproses secara transparan. Kasus ini dilakukan secara profesional. Ini adalah janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit,” ucapnya. Mantan anggota Kompolnas ini lebih lanjut menjelaskan, jika sebuah kasus sudah meningkat statusnya menjadi penyidikan, berarti Polri sudah menemukan adanya indikasi pelanggaran hukum. “Dengan adanya peningkatan status ini, berarti polisi atau tim yang dibentuk Bareskrim Polri, menemukan adanya unsur pidana di dalamnya, termasuk terhadap tiga oknum petugas yang melaksanakan tugas saat terjadi penembakan di Jalan Tol Japek KM 50,” tuturnya lagi.

Di sisi lain, Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel juga memberi tanggapan soal tindakan tegas terukur yang dilakukan pihak kepolisian saat bentrok dengan sekelompok anggota FPI. Dalam bentrokan yang terjadi pada Senin (7/12/2020) dini hari diketahui menewaskan enam orang anggota FPI setelah diberi tindakan tegas oleh aparat kepolisian. Reza menjelaskan dalam psikologi forensik ada istilah penembakan yang menular (contagious shooting). “Ketika satu personel menembak, hampir selalu bisa dipastikan dalam tempo cepat personel-personel lain juga akan melakukan penembakan. Seperti aba-aba, anggota pasukan tidak melakukan kalkulasi, tapi tinggal mengikuti saja,” lanjutnya.

Reza menyebut kemungkinan menembak menjadi perilaku spontan dan bukan aktivitas terukur. “Semakin besar ketika personel sudah mempersepsikan target sebagai pihak yang berbahaya. Jadi, dengan kata lain, dalam situasi semacam itu, personel bertindak dengan didorong oleh rasa takut,” ungkapnya. Apalagi, kata Reza, jika peristiwa yang dipersepsikan kritis berlangsung pada malam hari. “Ada data yang menunjukkan, dalam kasus penembakan terhadap target yang disangka bersenjata (padahal tidak membawa senjata), 70an persen berlangsung pada malam hari saat pencahayaan minim sehingga mengganggu kejernihan penglihatan personel,” jelasnya.

Reza menyebut ada faktor luar dan dalam yang memunculkan perilaku tersebut.

Faktor luar adalah letusan pertama oleh personel pertama dan kondisi alam di TKP. Faktor dalam adalah rasa takut personel.”Dengan gambaran seperti itu, benarkah penembakan oleh personel polisi pasti selalu merupakan langkah terukur?” ungkapnya. “Tentu, apalagi karena ada dua versi kronologi, butuh investigasi kasus per kasus terhadap masing-masing dan antar personel,” lanjut Reza.

Reza mengungkapkan investigasi dapat dilakukan oleh semacam Shooting Review Board.

“Nantinya (investigasi) tidak hanya mengeluarkan simpulan apakah penembakan memang sesuai atau bertentangan dengan ketentuan. Lebih jauh, temuan tim investigasi bermanfaat sebagai masukan bagi unit-unit semacam SDM dan Diklat,” ungkap Reza.

 

Sesuai Hukum

Upaya Polri menegakkan hukum atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang mengiringi kepulangan dan safari dakwah Muhammad Rizieq Shihab (MRS) Desember 2020 lalu, memasuki babak baru dan menimbulkan kontroversi lanjutan.

Selain pembangkangan hukum dengan tidak menghadiri panggilan Polri dan menghalang-halangi anggota Polri menjalankan tugasnya (obstruction of justice), MRS juga menebarkan kecemasan baru potensi penyebaran COVID-19 dengan kabur dari Rumah Sakit UMMI dengan kondisi yang belum jelas, apakah positif atau negatif COVID-19. Akhirnya MRS ditangkap Polri juga dan hingga kini pengadilan atas pelanggaran-pelanggaran hukumnya itu masih berjalan. Sedangkan untuk kasus penembakan terhadap 6 orang pengikut MRS oleh anggota Polri pada Senin (7/12/2020) dini hari telah menjadi kontroversi baru. Di satu sisi Polri memaparkan alasan obyektif adanya ancaman terhadap jiwa manusia anggota Polri sebagai pembenaran atas tindakan represif yang dilakukan anggotanya.

Di sisi lain, penggunaan senjata api oleh Polri dalam mengatasi peristiwa tertentu, tetap harus mengacu pada prosedur-prosedur yang ketat dan harus dapat dipertanggung-jawabkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI. Lalu tertembaknya 6 orang warga sipil tentu menjadi keprihatinan dan tidak seharusnya terjadi. Tetapi jika betul senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya adalah senjata milik anggota FPI, maka pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam bisa diterima. Namun demikian, untuk memenuhi standar yang diterapkan dalam Perkap 8/2009 tersebut, Polri harus melakukan evaluasi pemakaian senjata api oleh anggotanya. Kapolri dapat memerintahkan Divisi Pengamanan Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk melakukan evaluasi atas fakta-fakta yang menjadi alasan pembenar penggunaan senjata api.

Paralel dengan upaya evaluasi Polri maka harus ada upaya mendorong Polri terus melakukan tindakan hukum yang tegas, terukur dan akuntabel menangani berbagai tindak pidana yang dilakukan anggota-anggota organisasi pengusung aspirasi intoleran, premanisme berjubah agama, dan elit-elit yang menjadi conflict entrepreneur di belakang mereka. Episode pasca kepulangan MRS adalah ujian bagi Polri untuk menegakkan hukum. Jika tindakan-tindakan penegakkan hukum secara tegas itu telak dilaksanalan secara konsisten oleh Polri, maka seluruh elemen bangsa Indonesia akan terus mendukungnya. Tentunya tindakan penegakkan hukumnya berada dalam koridor huum yang berlaku. (EKS/berbagai sumber)

Artikel sebelumyaPolisi: Volume Kendaraan Keluar-Masuk Jakarta via Tol Turun 40 Persen
Artikel berikutnyaUnlawful Killing atau Ekstrajudicial Killing atas Kasus Laskar FPI yang Ditembak Polisi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here