Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah memutuskan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris. Keputusan ini diambil menyusul semakin maraknya kekerasan yang dilakukan KKB yang berujung pada kematian. Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU menjadi salah satu rujukan keputusan tersebut diambil. Lalu, apakah pemerintah langsung kirim pasukan khusus TNI-Polri untuk membasminya? Bagaimana persiapan perangkat hukumnya? Apa kritik para pegiat HAM? Apa konsekuensi pelabelan teroris di Papua?

Jakarta, 4 Mei 2021 – “Berdasarkan definisi yang dicantumkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafisiliasi dengannnya adalah tindakan teroris,” ujar Mahfud, Kamis (29/4/2021). Setali tiga uang, setelah adanya penetapan ini, pemerintah langsung memerintahkan aparat keamanan mengejar KKB dengan tindakan tegas namun terukur. Mahfud mengingatkan aparat keamanan dalam penindakannya jangan sampai menyasar warga sipil.

“Pemerintah sudah meminta kepada Polri, TNI, BIN, dan aparat terkait segera melakukan tindakan secara cepat, tegas, terukur menurut hukum, dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarajat sipil,” kata Mahfud. Lebih lanjut Mahfud juga menyebut bahwa masyarakat Papua 92 persen sebetulnya pro terhadap Republik Indonesia. Pemberantasan terhadap terorisme itu bukan terhadap rakyat Papua, tapi terhadap segelintir orang karena berdasarkan hasil survei lebih dari 92 persen mereka pro-republik, tambah Mahfud.

Siapkan Perangkat Hukumnya

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin menyambut baik keputusan pemerintah mengategorikan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua sebagai organisasi teroris. Namun, Hasanuddin mengingatkan agar pasukan yang dilibatkan dalam pemberantasan separatis di Papua harus benar-benar terstruktur dan terkendali dengan baik. “Mengingat teroris di Papua sudah memiliki organisasi yang cukup kuat, terstruktur, serta mendapat dukungan dari sebagian masyarakat. Maka pasukan yang dilibatkan pun harus terstruktur dengan baik,” kata politikus PDIP ini kepada wartawan, Jumat (30/4/2021). Ditambahkan menurut Hasanuddin, komando pengendalian (Kodal) penumpasan teroris di Papua harus jelas, siapa bertanggung jawab kepada siapa. Kemudian, sistem kordinasinya seperti apa, dan yang terpenting targetnya pun harus terukur dengan baik, dengan tetap memerhatikan HAM.

“Untuk menunjang keberhasilan, pemerintah harus segera mengeluarkan Perpres tentang keterlibatan TNI dalam pemberantasan teroris. Jangan sampai kedodoran di lapangan,” tuturnya. Hasanuddin mendesak agar setelah status KKB di Papua menjadi teroris, harus mendapat penanganan yang lebih komprehensif. Ketika statusnya diturunkan dari OPM menjadi KKB, ternyata tidak mendapat tindakan yang efektif karena setelah dinyatakan sebagai KKB, korban dari TNI/Polri justru lebih banyak. Bahkan terbukti justru dalam status KKB itulah senjata OPM semakin banyak, pengikutnya pun semakin bertambah.”Saya tegaskan, ini jangan terulang lagi, setelah menjadi status teroris,” ucapnya.

Sikap Pemerintah dengan Label Teroris

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani meminta masyarakat tak perlu khawatir soal pelabelan tersebut. Jaleswari mengatakan, keputusan itu sudah melalui pertimbangan yang matang. “Sudah diambil dengan pertimbangan yang matang, dengan memperhatikan masukan dan analisis dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar pemerintah,” kata Jaleswari melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (30/4/2021). Menurut dia, keputusan itu juga didasarkan pada fakta mengenai tindakan kekerasan oleh KKB yang menyasar aparat dan masyarakat sipil, termasuk pelajar, guru, hingga tokoh adat. Berdasarkan data Gugus Tugas Papua PPKK Fisipol UGM, selama 2010-2020 terdapat 118 kasus kekerasan yang pelakunya merupakan KKB. Kemudian, korban jiwa dari kasus kekerasan mencapai 356 orang, terdiri dari 93 persen masyarakat sipil dan TNI-Polri. Sisanya merupakan anggota KKB.

Jaleswari menambahkan bahwa penyebutan organisasi/individu teroris di Papua ini secara limitatif, hanya dilekatkan pada organisasi atau orang yang melakukan perbuatan serta motif sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “Antara lain perbuatan kekerasan, menimbulkan teror, perusakan fasilitas publik, dan dilakukan dengan motif politik dan gangguan keamanan,” tutur dia. Penyebutan KKB sebagai organisasi/individu teroris dimaksudkan untuk mengefektifkan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap KKB. Kendati demikian, Jaleswari menyebut, pemerintah akan memastikan tindakan penegakan hukum yang dilakukan aparat tidak eksesif dan berdampak negatif pada masyarakat.

Mulai Kirim Pasukan Gabungan TNI-Polri

Pasukan gabungan TNI dan Polri mulai dikirim ke Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Sabtu (1/5/2021), untuk memburu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang kekinian ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah. Kepala Satuan Tugas Humas Nemangkawi Komisaris Besar Polisi Iqbal Alqudusy mengatakan, pengerahan pasukan bersenjata itu adalah wujud representasi RI di wilayah setempat. “Pada Sabtu pagi tadi pasukan TNI dan Polri telah tiba di Distrik Ilaga dalam rangka melakukan pengamanan kegiatan masyarakat maupun pengejaran tehadap KKB yang sekarang ini telah disebut sebagai Kelompok Teroris,” kata Iqbal. Ia mengatakan, pengiriman pasukan TNI dan polisi ke Ilaga itu tidak lepas dari tewasnya Kepala BIN Daerah Papua Mayor Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Minggu (25/42021).

Sejauh ini, situasi keamanan di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak, cukup kondusif, masyarakat setempat tetap beraktivitas sebagaimana biasanya. Pejabat Kepala Polres Puncak, Komisaris Polisi I Nyoman Punia, mengakui situasi keamanan di wilayah Distrik Ilaga dan Kabupaten Puncak pada umumnya masih kondusif. “Sampai saat ini situasi keamanan di Ilaga masih normal-normal saja, tidak ada hal-hal yang menonjol. Demikian pun di Bandara Ilaga, penerbangan lancar-lancar saja. Sementara di Pasar Ilaga, seperti biasanya warga tetap berjualan, ada banyak juga warga masyarakat yang datang ke pasar untuk membeli berbagai barang kebutuhan pokok,” tukasnya.

Sejumlah faksi kelompok bersenjata yang saat ini dilaporkan kini mengonsentrasikan kekuatannya di Markas Lumawi, Distrik Ilaga Utara. Markas Lumawi itu diketahui menjadi markas sejumlah gembong mereka, di antaranya Lekagak Telenggen, Militer Murib, dan lain-lain. Jarak tempuh dari Ilaga ke Markas Lumawi sekitar dua jam perjalanan menggunakan  mobil melewati gunung terjal dan sungai. Sedangkan Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan pengerahan pasukan elite kepolisian itu masih menunggu perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Densus 88 akan siap membantu satuan tugas operasi Nemangkawi yang saat ini sudah bertugas di dalam rangka memburu KKB di Papua. Saat ini, masih menunggu perintah dari Kapolri,” kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/4/2021).

Ramadhan menyatakan Densus 88 dibentuk Korps Bhayangkara untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan terorisme di Indonesia. Setelah KKB ditetapkan sebagai organisasi teroris, Densus 88 ikut terlibat. Ramadhan mencontohkan operasi yang melibatkan Densus 88 dalam pelacakan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah. “Kami sampaikan bahwa Densus 88 Antiteror Polri itu diciptakan sebaai satsus kontra terorisme yang tentunya memiliki kemampuan untuk menumpas setiap aktivitas terorisme di tanah air,” ujarnya.

Pendekatan Kesejahteraan Kapolda Papua

Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Irjen Mathius D Fakhiri memastikan penanganan KKB yang sudah dilabeli sebagai teroris oleh pemerintah, belum akan berubah. Aparat keamanan akan sebisa mungkin mengedepankan pendekatan kesejahteraan sebelum melakukan penindakan hukum. “Kita tetap mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Tentunya sebagai Kapolda dalam menyikapi keputusan pemerintah tentu kita laksanakan, tetapi tetap berpedoman terhadap apa yang sudah kita lakukan karena disitu penegakan hukum telah dilaksanakan,” ujarnya pada hari Minggu (2/5/2021). Fakhiri menegaskan, penindakan hukum kepada KKB akan tetap dilakukan selama mereka masih membuat aksi kekerasan bersenjata.

Hanya saja, dia tidak menginginkan penindakan yang dilakukan aparat justru membuat keluarga atau kerabat dari KKB menyimpan dendam. “Kita tegas tapi terukur, kita tidak main-main dengan kelompok ini, penegakan hukum itu kita lihat secara baik, dampak penindakan itu jangan sampai menimbulkan persoalan baru, kita tidak mau penindakan ini membuat luka,” kata dia.  Kepala daerah, sambung Fakhiri, memiliki peran sangat penting untuk bisa mendekati KKB secara kemanusiaan. Sebagai perwakilan pemerintah pusat yang dipilih langsung oleh masyarakat, para bupati diyakininya memiliki hubungan emosional lebih dibandingkan dengan aparat keamanan. “Kita melakukan soft approach dengan mendekati semua elemen masyarakat, pemerintah daerah di titik-titik krusial kita usahakan agar mereka di depan dengan mengambil langkah konkret dalam melakukan penggalangan untuk menarik mereka (anggota KKB) keluar,” kata Fakhiri. 

Saatnya Operasi Tempur Terhadap Teroris

Pengamat intelijen dari UI, Ridlwan Habib menjelaskan bahwa Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Papua Brigadir Jenderal (Brigjen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) IGP Danny Nugraha gugur dalam tugas. Menurutnya, KKB pimpinan Lekagak Telenggen beroperasi di Kabupaten Puncak.Mereka menembak guru, membakar sekolah, menembak anak sekolah menengah atas (SMA) dan membunuh tukang ojek. “Operasi pemulihan situasi oleh BIN Daerah Papua dan Satgas (Satuan Tugas) Nemangkawi berhasil dan rakyat Beoga mulai akan beraktivitas normal, KKB geram dan menyerang lagi,” jelas Ridlwan. Kunjungan almarhum Brigjen IGP Danny Nugraha menunjukkan sikap aktif BIN di Papua sehingga Kepala BIN Daerah (setingkat Kapolda) turun langsung ke hotzone atau daerah konflik.

Menurutnya, almarhum Kabinda Danny Nugraha adalah prajurit parakomando yang berkemampuan intelijen tempur dan faham benar bahwa untuk menang lawan KKB harus mendapatkan simpati penduduk setempat. Dari beberapa foto dan video yang didapat, tampak Kabinda Papua itu sangat akrab dengan suku-suku di pedalaman Papua. “Beliau tipe komandan yang turun langsung ke lapangan,” kata Ridlwan. Alumnus Strata 2 Kajian Intelijen Universitas Indonesia tersebut menilai ulah KKB Telenggen tak bisa dibiarkan. Iamenegaskan bahwa kelompok ini kecil, estimasi sekitar 25 orang, dapat dilumpuhkan jika satuan tempur TNI dikerahkan. Tentu, satuan tempur itu dalam wadah Satgas Menangkawi yang merupakan operasi penegakan hukum. “Kita tidak dalam status berperang dengan KKB, mereka itu gerombolan kriminal bersenjata, bukan institusi militer resmi, pengacau saja,” ucap Ridlwan. Ia juga berharap segera ada operasi terbatas untuk menyelesaikan gangguan keamanan di Beoga.

Jangan Sampai Pelanggaran HAM Meluas

Berbeda dengan sikap pemerintah yang akan bertindak tegas terhadap teroris di Papua, para pegiat HAM justru mengkritinya. Kritik keras datang dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah mengkaji kembali pemberian label teroris terhadap KKB di Papua. Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar mengatakan, penetapan KKB sebagai kelompok teroris akan berdampak serius bagi keamanan warga sipil di Papua dan berpotensi menyebabkan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua meningkat. “Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada Menkopolhukam untuk menilai kembali dan mencabut penetapan KKB sebagai kelompok teroris karena akan berdampak serius bagi persoalan HAM,” kata Wahyudi dalam keterangannya, Sabtu (1/5/2021).

Ia meminta Presiden Joko Widodo menempuh jalan damai dengan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan masalah di Papua. Menurut Wahyudi, pemerintah pusat perlu mendengarkan aspirasi seluruh rakyat Papua. “Meminta presiden untuk menempuh jalan damai dengan cara-cara dialog yang bermartabat melibatkan seluruh aktor pemangku kepentingan yang terlibat dalam perjuangan Papua selama ini,” tuturnya. Sedangkan Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu meminta agar pemerintah tidak menggunakan pendekatan represif dan militeristik menghadapi persoalan di Papua yang kompleks. Menurutnya, Jokowi perlu meminta Panglima TNI dan Kapolri mengevaluasi kembali operasi-operasi keamanan di Papua. “Mendesak presiden memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengevaluasi kembali operasi-operasi keamanan di Papua, yang menjadi dasar pengiriman atau penambahan pasukan TNI/Polri di Papua, sampai dengan jelasnya status keamanan Papua,” kata Erasmus.

Di sisi lain, penetapan ini juga dinilai rawan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius di Papua.”Selain kontraproduktif, mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius,” ujar Ketua Setara Institute, Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis (29/4/2021). Ia menilai, keputusan tersebut menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua.  Selain itu, pelabelan tersebut juga menunjukkan ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua. Alih-alih membangun dialog Jakarta-Papua dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan bagi penanganan konflik di Papua.

Hendardi meyakini bahwa pelabelan kelompok perlawanan di Papua tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama dan panjang. Kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih dikarenakan kurangnya dukungan dan kepercayaan dari masyarakat setempat. “Selain kondisi geografis dan pengenalan area di pegunungan sebagai kendala utama. Pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua,” tukasnya.

Konsekuensi Pelabelan Teroris di Papua

Berdasarkan peraturan yang ada, setidaknya ada tiga konsekuensi setelah KKB dinyatakan sebagai organisasi teroris. Pertama, ujung tombak penanganan adalah Polri dalam hal ini Densus 88 , dan para pelaku dihukum menggunakan UU 5 tahun 2018. Dalam operasi penegakan hukum terhadap terorisme maka Polri bisa meminta bantuan  TNI, bahkan pasukan khususTNI. Namun perlu segera ada Perpres TNI mengatasi terorisme sebagai payung hukum dan bisa segera ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Kedua, penyebutan secara spesifik kelompok terorisme di Papua berdasarkan pimpinan mereka. Jangan sampai salah menyebut sebagai kelompok teroris Papua karena akan membuat marah warga Papua lain yang tidak mendukung aksi bersenjata. Sebut saja nama kelompoknya misalnya kelompok teroris Lekagak Telenggen, kelompok teroris Goliat Tabuni, kelompok teroris Kely Kwalik, dan seterusnya.

Ketiga, Densus 88 bisa menangkap siapa saja yang setuju, atau mendukung aksi aksi bersenjata di Papua. Termasuk mereka yang mendukung aksi bersenjata di dunia maya. Misalnya Veronika Koman, yang selama ini mendukung KKB via medsos khususnya twitter maka  bisa ditangkap atas dugaan terorisme sesuai UU 5 tahun 2018. Penangkapan itu juga bisa dilakukan terhadap aktivis aktivis pro KKB yang berada di kota kota di luar Papua. Misalnya di Yogya, di Surabaya, kalau ada indikasi kelompok itu mendukung KKB sekarang bisa dihukum dengan UU terorisme. 

Dengan demikian perlu dipikirkan gencarnya penangkapan terhadap anggota teroris di Papua, termasuk kapasitas penjara yang digunakan nanti. Pergantian istilah menimbulkan konsekuensi serius yang harus disiapkan pemerintah. (EKS/berbagai sumber)

Artikel sebelumyaSiap-Siap Tes Antigen Acak di Pos Penyekatan Saat Arus Balik, Ini Titik Pemeriksaannya
Artikel berikutnyaMembaca dan Memahami Kinerja 100 Hari Pertama Kapolri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here