Hidayatullah.com | JUDUL di atas mungkin agak aneh, sebab di era modern ini tidak lagi dikenal istilah perbudakan. Terlebih dengan massifnya propaganda soal Hak Asasi Manusia.
Akan tetapi, sesungguhnya perbudakan itu tetap ada. Imam Ghazali kala membahas makna fakir dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Hati yang terikat dengan kesenangan terhadap harta itu laksana budak. Dan, orang yang merasa kaya dari harta itu laksana orang merdeka.”
Lihatlah keseharian umat manusia. Ada yang mati-matian, siang dan malam banting pulang demi harta.
Jika cara yang wajar tak menjanjikan, ia pun menerobos (melanggar) syariat dengan menanggalkan sifat amanah yang mesti ia pegang teguh. Korupsi, riba, dan menipu menjadi jalan yang dianggap rasional di zaman seperti sekarang.
Bahkan tekad manusia untuk mengumpulkan harta sangat luar biasa. Ada yang berani menantang regulasi demi bisa bekerja meski harus ke luar negeri. Ada yang rela menyogok demi tercapai keinginan hati, baik masuk fakultas favorit di universitas atau pun diterima sebagai pegawai atau pun aparat di institusi negara.
Bahkan orang yang terdidik pun, sekolah hingga ke luar negeri, kala menjadi seorang pejabat, tiba-tiba berubah, seolah tak pernah sekolah. Ilmunya tak lagi diarahkan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi menjilat siapa yang telah mengangkatnya menjadi pejabat.
Sikap demikian adalah bukti bahwa tidak sedikit manusia yang menghamba pada harta, sehingga ia rela diperbudak oleh harta. Akal sehat, ilmu, dan kecemerlangan berpikir menjadi tumpul. Semua ucapan dan tindakan sesuai dengan titah yang menjanjikan harta kepadanya.
Padahal, Nabi, istri-istrinya dan para sahabat sangat merdeka, meski harta dalam genggaman mereka.
Suatu waktu Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha diberi seratus ribu dirham. Maka ia pun mengambilnya, dan segera membagi-bagikan pada hari itu juga. Lalu pembantu Aisyah bertanya, “Apakah engkau tidak mampu pada yang engkau bagi-bagikan hari ini seandainya engkau membeli untuk kita dengan satu dirham saja daging yang bisa kami gunakan berbuka puasa?”
Dengan spontan, istri Nabi itu menjawab, “Seandainya engkau mengingatkanku, niscaya akan aku lakukan.”
Demikianlah idealnya sikap seorang Muslim. Senantiasa menjadikan harta sebagai jalan mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Bukan malah mengutamakan angan-angan, kesenangan-kesenangan yang justru akan semakin menjauhkannya dari keimanan.
Tetapi, faktanya tidak demikian. Lihat saja fakta berupa belum terealisasinya potensi zakat di Indonesia yang mencapai ratusan triliun. Mengapa itu terjadi? Bukan tidak ada umat Islam yang kaya, tetapi belum banyak yang benar-benar kaya, sehingga kekayaan berupa harta terus membelenggunya untuk tidak meningkat iman dan taqwanya.
Belumlah sifat seperti sahabat Nabi, Abdurrahman bin Auf radhiyalluh anhu.
Kepada para sahabatnya ia berkata, “Aku sangat khawatir kalau-kalau aku ini termasuk orang yang dicepatkan mendapat kebaikan di dunia, tapi tertahan dan tak dapat menyusul teman-temanku (di akhirat), di sebabkan kekayaanku yang berlimpah-limpah ini.”
Oleh karena itu, Allah menjelaskan bahwa orang yang mau menginfakkan hartanya, meminjamkan hartanya di jalan Allah, sebagai orang-orang yang bertaqwa dan kelak akan mendapatkan Surga.
Terlebih mereka yang mau berinfak di kala lapang maupun sempit.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran [3]: 133-134).
Agar jiwa tidak diperbudak harta, Allah pun memerintahkan umat Islam untuk peduli dengan memperhatikan kebutuhan makan anak-anak yatim dan yatim piatu. Memperhatikan kebutuhan makan orang-orang miskin. Bahkan, jika ada seorang Muslim memiliki harta melimpah, ibadah luar biasa, namun tetangganya dibiarkan kelaparan, sungguh Allah sangat murka kepada perangai yang demikian.
Lantas, bagaimana sikap ideal kita sebagai Muslim, menjauhi harta, mencarinya atau seperti apa?
Imam Ghazali memberikan contoh konkret terkait ini.
“Dan sesungguhnya telah dibawa kunci-kunci bumi kepada Rasulullah ﷺ, dan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab radhiyallahu anhu, maka mereka itu mengambilnya dan meletakkannya pada tempatnya.
Mereka tidak lari dari harta itu. Karena bagi mereka berdua itu sama makna antara harta, air, emas dan batu. Dan tidak diriwayatkan dari mereka bahwa mereka itu menolak harta-harta dimaksud.”
Makna tersiratnya adalah hendaknya kita sebagai Muslim dalam kondisi apapun jangan sampai diperbudak oleh harta. Apa arti negara merdeka jika jiwa manusianya terjajah? Seorang Muslim yang sejati memandang harta sebagai alat, senjata, atau pun sarana untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Untuk itu, sekiranya datang kepadanya harta yang menawar harga imannya, ia pun menolak. Sebab iman tak ternilai, tak terharga berapapun juga. Demikian itu membuatnya semakin merdeka dari perbudakan dimana banyak manusia justru lengah.
Dan, sekiranya harta itu datang untuk menguatkan iman dan keluarganya, maka ia pun semakin giat dalam menebar rahmat ke seluruh muka bumi.
Harta yang dimilikinya menjadikan ia semakin bersemangat untuk menjangkau tempat-tempat yang penduduk suatu negeri jarang atau bahkan tak pernah dikunjungi pemimpin lain di muka bumi. Ia bangun sekolah, rumah sakit, dan ia sejahterakan penduduknya.
Andai ia seorang pengusaha, setiap hari ia akan mencari dimana anak-anak yang bisa dibiayai untuk belajar, dibangunkan fasilitas umumnya, dan disejahterakan masyarakatnya. Dimana semua itu dilakukan atas dasar iman demi tegaknya peradaban Islam.
Adakah kita menghendaki yang demikian? Semoga. Wallahu a’lam.*
Rep: Ahmad
Editor: Insan Kamil