Hidayatullah.com — Eks Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menyoroti tindakan komisaris PT Pelni yang mencopot pejabatnya karena berencana menggelar kajian Ramadhan online yang menurutnya pencopotan tersebut merupakan bagian dari Islamophobia.

“Tindakan Komisaris Independen PT Pelni (Persero) Dede Kristia Budiyanto, yang mencopot pejabat di perusahaannya hanya gara-gara pamflet kajian keislaman di bulan Ramadan, bisa digolongkan sebagai bentuk tindakan Islamophobia,” kata Fadli Zon melalui akun Twitternya @fadlizon seperti yang dilihat hidayatullah.com, Senin (12/04/2021).

Wakil ketua Partai Gerindra ini melihat tindakan seperti itu disertai dengan tuduhan serius mengenai radikalisme yang mestinya punya dasar serta konsekuensi yang juga serius. “Sayangnya, kita tak melihat dasar dan konsekuensi serius tersebut. Siapa sebenarnya yang dituduh radikal? Apakah panitianya? Atau daftar narasumbernya?,” tanya Fadli.

Fadli mengatakan salah satu narasumber dalam rangkaian kegiatan Ramadhan yang dibatalkan itu adalah Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis. Lantas ia bertanya apakah KH Cholil juga dianggap radikal. Begitu juga apakah MUI dianggap sebagai sarang orang-orang radikal oleh Komisaris Independen PT Pelni.

“Jika panitia yang dianggap radikal, apa dasar PT Pelni menganggap stafnya sendiri sebagai radikal? Bagaimana bisa perusahaan negara merekrut orang-orang radikal?” tanyanya.

Ketua BKSAP DPR RI ini melanjutkan jika memang benar-benar radikal, kenapa lantas tidak diproses hukum. Kenapa hanya dipindahkan yang membuat orang jadi mempertanyakan dasar tuduhan tersebut.

“Penyematan stigma radikal tanpa dasar yang jelas adalah wujud nyata sikap Islamophobia. Ironisnya, Islamophobia ini justru terjadi di perusahaan negara yang seharusnya jauh dari intrik dan sentimen politik,” tandasnya.

Lebih jauh, Fadli menilai ada masalah serius dalam hal penunjukan pejabat-pejabat BUMN saat ini. Menurutnya, Kemnterian BUMN tidak boleh membiarkan sikap Islamophobia semacam itu. Menteri BUMN Erick Thohir harus menegur komisaris tersebut karena tindakannya bisa memancing reaksi negatif yang tidak kita harapkan.

“Sebagai wakil pemerintah di BUMN, seorang komisaris mestinya dibekali dengan ‘attitude’ sebagai pejabat publik sehingga tidak bisa sembarangan berbicara dan bertingkah di depan umum,” terangnya.

Karena itu, Komisaris BUMN mestinya direkrut dari kalangan profesional, birokrat, atau orang-orang yang kompetensinya jelas bukan direkrut dari kalangan ‘buzzer’. Dia menyayangkan PT Pelni malah menjadi obyek perhatian publik bukan karena prestasi atau capaiannya tapi karena ada komisarisnya yang mengidap Islamophobia.

Fadli mengatakan sikap fobia terhadap Islam biasanya diidap oleh orang-orang yang kemampuan literasinya miskin dan dangkal. Dia tidak memahami ajaran Islam atau dia tidak mengenal umat Islam dengan baik.

“Akibat dangkalnya pemahaman tersebut, dia jadi gampang memberikan stigma. Menurut saya, sangat berbahaya jika BUMN dihuni oleh pejabat-pejabat yg dangkal pemahaman kemasyarakatannya semacam itu,” tuturnya.

Apalagi, kata Fadli, secara akademik sikap “radikal” bukanlah bentuk kejahatan. Intoleransi, serta terorisme memang adalah bentuk kejahatan. Tetapi, menyamakan “radikal” dengan “intoleransi”, atau “terorisme” jelas sebuah kesalahan. Dia menyebutnya sesat pikir.

Di Indonesia, lanjut dia, label radikal kini secara politis telah dikonotasikan kepada kalangan Islam. Sehingga, tuduhan itu umumnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, secara konsep sudah jelas keliru.

“Inilah yang membuat kenapa masyarakat Islam jadi sensitif jika mendengar tuduhan radikal. Sebab, di sisi lain, kelompok-kelompok yang sudah jelas memberontak, atau melakukan kekerasan bersenjata, malah diberi label eufimistik,” tegasnya.

“Namun, ketika ada kelompok Islam menyerukan ajaran agamanya, seperti menyebut kata “jihad”, misalnya, stigma radikal langsung disematkan. Padahal, kata jihad sendiri memiliki makna yang luas,” lanjutnya.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Fadli menilai pejabat publik mestinya berhati-hati dalam melontarkan pernyataan terkait soal keislaman. Kita tak ingin kembali lagi ke zaman yang tak bersahabat dengan Islam dan umat Islam.

“Menteri BUMN seharusnya memberikan pembinaan kepada para petinggi PT Pelni. Hak karyawan PT Pelni untuk beribadah atau melakukan kegiatan keagamaan, tak seharusnya diintervensi oleh direksi atau komisaris. Itu mengesankan tugas direksi dan komisaris BUMN jadi bersifat remeh-temeh belaka,” tutupnya.

Untuk diketahui, PT Pelni dikabarkan telah mencopot pejabatnya gara-gara merencanakan kajian Ramadhan online dengan mengundang Ketua Komisi Dakwah MUI KH M Cholil Nafis. Kemudian, Ustaz Syafiq Riza Basalamah, serta Ustaz Firanda Andirja. Kajian daring itu digelar oleh Badan Kerohanian Islam (Bakis) PT Pelni.

Kabar dipecatnya pejabat PT Pelni itu dibenarkan langsung oleh Komisaris Independen PT Pelni Dede Budhyarto melalui akun twitternya @kangdede78.

“Pejabat yang terkait dengan kepanitiaan acara tersebut telah dicopot. Ini pelajaran sekaligus warning (peringatan) kepada seluruh BUMN, jangan segan-segan mencopot ataupun memecat pegawainya yang terlibat radikalisme. Jangan beri ruang sedikit pun, berangus,” kata Dede di akun Twitternya, Kamis (08/04/2021).*

Rep: Azim Arrasyid
Editor: Bambang S

Artikel sebelumyaKemenag: Belum Ada Negara yang Dapat Info Kepastian Haji dari Saudi
Artikel berikutnyaHNW: Pancasila Harus Jadi Rujukan Deteksi Dini Potensi Ancaman NKRI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here