Satu kesamaan dari kedua kasus ini adalah aksi keduanya berakhir tragis, terbunuh dalam waktu singkat di tangan polisi yang  mereka jadikan target penyerangan di Markas Besar kepolisan kedua negara tersebut. Kesamaan itu tidaklah berakhir di situ saja. Rupanya terdapat pola-pola  menarik yang penting dicermati yakni fenomena milenial, sosial media dan keterlibatan kelas menengah ke bawah dalam tren terorisme baru, lewat serangan lone wolf.  Mereka yang berkepentingan menangani serangan-serangan kejahatan terorisme baik di Indonesia dan dunia harus menyadari bahwa potensi aksi lone wolf akan makin menjadi-jadi di masa depan.

Jakarta, 4 April 2021. Ada dua peristiwa menarik mengenai penyerangan atas markas besar kepolisian di dunia baru-baru ini.  Yang pertama kejadian penyerangan atas Mabes Polri di Jakarta Indonesia oleh Zakiah Aini (ZA) pada 31/3 lalu, dan yang kedua adalah penyerangan yang juga menggemparkan atas Markas kepolisian Amerika Serikat di Capitol Hill di Washington, Amerika Serikuta oleh Noah Green (NG) pada 2/4 yang baru lalu. Cara penyerangan mereka, walaupun kelihatan berbeda namun sebenarnya sama-sama dianggap bodoh dan tidak profesional. Lebih jauh lagi, ada beberapa kesamaan menarik untuk dikaji dan dicermati untuk penanganan terorisme di masa-masa mendatang.

Kasus ZA

            Kasus ZA adalah penyerangan yang dilakukannya terhadap polisi di pos jaga gerbang depan Polri sesudah berhasil masuk dengan menyelundupkan senjata air gun. Ia sempat melepaskan enam tembakan senjata air gun BB bullet cal (kaliber peluru) 4,5 mm nya. Pelor air gun  nya ditujukan sebanyak 6 kali ke arah polisi tersebut.Tembakannya tidak mengenai berhasil polisi tersebut, dan tidak lama, ia pun ditembak petugas polisi dan meninggal seketika saat tembakan peluru mengenai jantungnya. Ketua Umum Persatuan Olahraga Airsoft Seluruh Indonesia (Porgasi), Setyo Wasisto  menyatakan (29/7) “Jarak 3 meter ditembak air gun ke arah dada orang bisa tewas. Selain pelurunya dari gotri, daya tekanan air gun cukup kuat melontarkan peluru,”

            Senjata air gun menggunakan mekanisme tekanan CO2 untuk melepaskan peluru. Material peluru air gun berupa gotri seberat 1-1,5 gram. Muntahan peluru itu mampu menembus kaca, triplek bahkan mematikan manusia. Kemudian diketahui bahwa ZA membeli senjata air gun dari sebuah toko di Srengseng Sawah, Jakarta. Ini memperlihatkan adanya penyalahgunaan penggunaan senjata airgun ilegal di Indonesia dan persoalannya tengah diselidiki lebih lanjut.

Aksi Noah Green

            Mulanya NG menyerudukkan mobilnya terhadap dua petugas polisi dekat barikade.  Setelah itu dia keluar dari mobil, dan secara agresif menuju ke dua korban sembari menghunuskan pisau. Hal ini telah menyebabkan seorang personel polisi meninggal, NG kemudian ditembak oleh polisi di Capitol Hill dan tewas. “Jelas ini adalah seseorang yang bertingkah berusaha menerjang apa pun dan siapa pun,” kata Kepala Polisi Washington DC, Robert Conti.

            Polisi masih menyelidiki motif dari laki-laki dari Indiana. NG  tidak ada dalam catatan kejahatan polisi lokal dan Capitol sehingga aksinya tidak bisa dikaitkan dengan terorisme. Faktor gangguan kejiwaan ditengarai penyebab serangan itu menurut kata sebagian orang. Namun, ia sudah telanjur dicap ‘teroris’ oleh media karena ada unggahan pidato dan artikel Louis Farrakhan dan Elijah Muhammad, mantan pemimpin Nation of Islam dalam akun sosial media NG. 

            Nation of Islam adalah organisasi gerakan nasionalis religius kulit hitam yang memperjuangkan nasib kaum Afrika Amerika. Sebagian orang lain bereaksi dan menuduh bahwa ini adalah perbuatan yang justru disengaja oleh pendukung sayap kanan Partai Republik.

Kesamaan Aksi Keduanya

            Satu kesamaan dari kedua kasus ini adalah aksi keduanya berakhir tragis, terbunuh dalam waktu singkat di tangan polisi yang  mereka jadikan target penyerangan di Markas Besar kepolisan kedua negara tersebut. Kesamaan itu tidaklah berakhir di situ saja. Rupanya terdapat pola-pola  menarik yang penting dicermati dan dikaji sebagai berikut:

            Pertama, konteks pandemi Covid-19. Menurut beberapa pengamat, kesamaan sama-sama memiliki latarbelakang global yakni memburuknya situasi ekonomi dunia akibat pandemi covid-19. Pandemi tidak saja telah mengakibatkan ekonomi masyarakat di seluruh dunia menjadi sulit, meningkatnya pengangguran dan rusaknya situasi mental kejiwaan jutaan orang, ternyata  ia juga telah membuat orang memindahkan dunia mereka ke virtual sebagai pelarian atau harapan semu.

            ZA diketahui droup out dari kuliahnya, sedangkan NG ternyata juga mengalami persoalan ekonomi dan kemiskinan akut. Mereka adalah bagian dari generasi yang sama dan melihat persoalan mereka dari kacamata yang mereka yakini.  ZA memiliki kepercayaan yang kuat terhadap falsafah ISIS, sedangkan NG adalah contoh buruknya nasib banyaknya masyarakat kulit hitam di AS karena rasialisme dan juga kepercayaan mereka. Rasa frustrasi mereka antara lain terlacak jejaknya lewat komentar di laman sosial media keduanya, yang menjadi obyek penyelidikan sesudah mereka meninggal karena aksinya.

            Jangan lupa pula mencatat bahwa baik Noah Green maupun ZA keduanya diketahui berusia 25 tahun, atau bagian dari generasi milenial yang aktif di media sosial.

Faktor media Sosial dan milenial

            Tidak saja kejahatan siber yang meningkat akibat adanya pandemi covid-19,  namun ternyata trafik aktivitas  manusia di sosial media menjadi begitu kencang lajunya. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar menjelaskan bahwa di Indonesia, di tengah pandemi COVID-19, kejahatan terorisme banyak dilakukan melalui media sosial (medsos). “Di sinilah bibit-bibit kejahatan disuburkan lewat penyebaran narasi-narasi radikalisme yang menargetkan individu-individu.” Katanya. Tampaknya pndangan mereka mewakili generasi yang terhalusinasi ketika menjadikan dunia sosial media tumpuan dan berakhir dengan aksi nyata namun buruk. ZA diketahui mem-posting dukungan terhadap ISIS pada akun Instagramnya. Sedangkan Noah Green terlihat jejaknya sebagai pemuja tokoh-tokoh aktivitas Islam kulit hitam di Amerika Serikat.

            Jejak kehadiran mereka di media sosial  malahan dijadikan alat melancarkan tuduhan-tuduhan yang disangkakan ke mereka meski tidak seratus persen tuduhan terbukti, terutama menyangkut kasus NG di Amerika Serikat. Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan  bahwa generasi milenial memang target yang diincar kelompok terorisme untuk direkrut menjadi anggota baru.Kelompok teroris memang sengaja menargetkan anggota barunya pada masyarakat yang cenderung tidak kritis dan menelan semua informasi yang diberikan. kata Wawan dalam diskusi daring Polemik MNC Trijaya FM (3/4/2021)

            Menurutnya tidak perlu waktu lama untuk seorang individu yang terpapar radikalisme lewat sosial media melakukan aksinya. Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, “Antara satu sampai enam bulan, biasanya ya. Sudah bergerak,” Meskipun tidak melibatan organsiasi, namun dialog dalam media sosial memegang peran kunci yang dapat dibina secara berkelanjutan. Sifat radikal dapat terpupuk lewat jalan pribadi, tanpa memikirkan strategi dan dianggap ceroboh dan mengenaskan.

Aksi lone wolf

            ZA sudah langsung disebutkan sebagai aksi lone wolf, sebagaimana juga sebutan polisi Amerika terhadap NG. Rodger A Bates menyatakan bahwa teroris lone wolf melakukan proses  radikalisasi pribadi dan kemunculan mereka itu signifikan dan mematikan sehingga perlu diwaspadai.     Dosen Ilmu Politik UCLA Jeffrey Simon menyebutkan bahwa ancaman terorisme lone wolf berbeda dengan yang terorganisir pada dekade 1970-an hingga 2000-an.  Lone wolf  berciri: dilakukan secara individu atau lebih, bukan bagian dari kelompok atau jaringan terorisme besar, sulit untuk diidentifikasi modus operandinya, dipahami dan diatur oleh individu tanpa adanya komando. Baik ZA maupun NG tampaknya aksinya tidak dibekali pelatihan-pelatihan dan tidak mempersiapkan pola serangnya.

            Profesor Mark Hamm dari Indiana State University percaya bahwa  pelaku lone wolf telah membuat rencana dan metode sendiri tanpa dibantu pihak ke dua dan ketiga. “ZA ini nggak mempelajari formasi tempur. Dia hanya menembak tanpa pelindungan, tanpa tiarap, tanpa mengendap di tempat-tempat yang bisa membuat dia tertahan kalau ada serangan balik. Dia lebih cenderung di tempat terbuka,” Demikian penjelasan Wawan.

Aksi Teroris atau Hanya Aksi Penyerangan Kebencian?

            Sebagian orang di Indonesia berpendapat ZA mungkin belum tentu teroris  atau melakukan perbuatannya untuk mewakili oragansiasi tertentu. Namun karena ideologi radikal ISIS nya, seperti kata Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo, tidak menututp kemungkinan ZA masuk jaringan terorisme yang ada.  Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berkeyakinan bahwa pelaku aksi seperti ZA pasti bisa membayangkan risiko yang akan dia hadapi saat menyerang jantungnya lembaga kepolisian. “Jadi, serangan tersebut sekaligus merupakan aksi terencana untuk bunuh diri (suicide by cops),” ujarnya.

            Di Amerika Serikat menurutnya, berdasarkan The Serve and Protection Act, serangan terhadap aparat penegak hukum hanya sebagai hate crime dan bukan terorisme. Jadi tindakan ZA di Indonesia bukan tindakan terorisme, tetapi hate crime (kejahatan berbasis kebencian). Jelasnya. NG secara resmi oleh pihak kepolisian tidak dianggap teroris tetapi sebagai penyerang ‘hate crime’. Namun aksinya itu telah dibingkai sedemikian rupa di Amerika Serikut. Ia digambarkan sebagai refleksi rasa keputusasaan seorang anak muda milenial di Amerika Serikat terhadap sistem yang meminggirkan kaum hitam di sana, apalagi yang bersangkutan seorang muslim.

            Tuduhan makin membesar karena laman media sosialnya memperlihatkan bahwa ia baru saja menyelesaikan sertifikat Nations of Islam pada 17 Maret yang baru lalu.   Selain itu, ia juga aktif berbagai artikel-artikel tentang tokoh Islam dalam akun sosial medianya. Dapat disimpulkan bahwa ada proses radikalisasi pribadi lewat sosial media sebelum keduanya melancarkan aksi lone wolf menyerang polisi di markas besarnya.

            Keduanya sama-sama berlatarbelakang milenial Islam dari kelas menengah ke bawah yang sedikit banyak mungkin dipengaruhi oleh dampak pandemi Covid-29 yang berhubungan dengan masalah sosial ekonomi mereka. Walaupun masih harus dibuktikan dengan seksama, keduanya sudah langsung dicap teroris karena jejak sosial medianya.

Gaung Buruk bagi kelompok muda

      Bagi banyak orang di Indonesia, penyerangan ZA ke Mabes Polri, dilihat dari sudut strategi, tampaknya  memang tidak cerdas dan ceroboh. Namun dengan gaya heroik seperti adegan film-film dan ditampilkan secara dramatis oleh media, sebenarnya aksi buruk dan bodohnya, justru berpotensi menginspirasi calon-calon teroris muda yang baru di masa kemudian. Kekhawatiran ini telah banyak diulas di banyak media sosial seperti twitter, facebook dan dalam grup-grup whatsApp. Banyak yang memperlihatkan keprihatinan akan tren baru terorisme di Indonesia itu. Tidak sedikit orang membaca kejadian ini sebagai  hasil keyakinan ZA menjadi dasar keberanian, eksistensi dan keinginan besarnya, agar suaranya didengar dan dilihat di media.

      ZA telah berani dan nekat melakukan penyerangan terhadap simbol represi pemerintahan ‘thogut’ seperti yang juga dipercaya banyak orang termasuk orang-orang milenial kelompoknya. Kesuksesannya adalah soal lain. Bagi milenial yang sudah terpapar radikalisme, yang dilakukan ZA adalah misi suci, bagian perjuangan yang tidak akan berhenti sampai negara Khilafah akhirnya berhasil didirikan di Indonesia.

Waspada akan potensi Aksi Lone Wolf

            Mereka yang berkepentingan menangani serangan-serangan kejahatan terorisme baik di Indonesia dan dunia harus menyadari bahwa potensi aksi lone wolf akan makin menjadi-jadi di masa depan. Nasir Abas Mantan pemimpin Jemaah Islamiah di Asia Tenggara menyatakan, “Polisi jadi target karena dianggap sebagai rintangan, sementara orang bukan muslim jadi target karena kaum militan yakin bahwa ini suruhan Tuhan.” Namun yang perlu dicermati sesungguhnya adalah kenyataan bahwa seorang perempuan muda mencoba menyerang aparat kepolisian langsung di jantung kekuasaan dan kontrolnya yakni Mabes Polri.  Tentu saja itu merupakan keseteruan yang tidak berimbang, antara dua pihak yang pada semua elemen terlihat jomplang. Di mana satu pihak pemilik otoritas penegakan hukum nasional, sedangkan di kutub lain, seorang perempuan muda tak berdaya yang dipengaruhi halusinasi mengubah dunia menjadi lebih baik menurut keyakinannya.

            Bagi banyak orang ini dilihat sebagai keberanian luar balas dendam atas  penangkapan terduga militan di seluuh Indonesia yang dilakukan wanita muda. Stanislaus Riyanta, analis terorisme, menyatakan bahwa meskipun kekuatan ISIS melemah tapi mereka belum mati di Asia Tenggara.Ancaman dan warisan ISIS  di Asia Tenggara malahan menggunakan hubungan personal dan keluarga sebagai perekat baru terutama di negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia. Menurut Noor Huda Ismail dari S Rajaratnam School of Internasional Studies, letak keunikan organisasi ISIS di Asia Tenggara adalah  bergabungnya orang Indonesia sebagai anggota keluarga. Adalah fakta nyata bahwa khilafah virtual itu keberadaannya pasti, dan ini jelas sulit dihabisi.

Potensi Baru Ancaman Lone wolf di masa depan

            Ancaman terorisme tidak akan berkurang di dunia, mungkin malahan akan lebih keras dan berlanjut. Menurut laporan tahunan Counter terorisme ASPI (2021), lansekap terorisme global telah terpengaruh  oleh situasi  Covid-19.  Tapi platform media sosial online memainkan peran yang lebih penting dan meningkat. Platform media sosial memberi kekuatan dan kemampuan teroris  untuk lebih radikal dan lebih menyulitkan penanganannya. Pendukung ISIS di Indonesia dan Malaysia  langsung menyerukan tekad untuk melancarkan lebih banyak aksinya pasca Bom Makassar.  Tidak mengherankan dengan munculnya aksi penyerangan ZA pada Mabes Polri upaya mereka mendapat suntikan kepercayaan diri.

            Muh Taufiqurrohman, periset senior Centre for Radicalism and Deradicalisation Studies (PAKAR) telah mewanti-wanti aksi terorisme yang berpotensi meningkat apalagi memasuki bulan Ramadhan, sesuai hasil pengamatannya atas diskusi-diskusi kelompok ini di sosial media. Upaya deradikalisasi harus tetap ditingkatkan guna mengkaunter pengikut-pengikut organisasi maupun simpatisan ISIS. Mereka tetap bersikukuh berupaya  mendirikan negara khilafah. Dalam konteks edukasi, orangtua harus selalu diingatkan untuk mengawasi materi bacaan generasi milenial untuk mencegah menguatnya fenomena lone wolf atau pergerakan sendiri dalam aksi terorisme. Doktrin dan pembinaan paham ekstremisme sudah berpindah ke media sosial.

Keterlibatan perempuan muda dalam aksi

            Yang juga lebih penting lagi, khususnya di Indonesia kenyataan bahwa pola lone wolf dan keterlibatan perempuan kelas menengah ke bawah begitu menonjol. ZA diketahui melakukan aksinya sesudah kasus bom Makassar yang melibatkan juga seorang perempuan yang konon tengah hamil 4 bulan. Penggunaan perempuan untuk melancarkan aksi terorisme  ternyata makin menggejala.  Mantan narapidana teroris Haris Amir Falah menyatakan bahwa wanita mulai dilibatkan karena lebih militan.  Ini jauh berbeda dibanding era 2010 ketika wanita tidak diikutsertakan.

            Keuntungan merekrut perempuan-perempuan karena mereka justru mampu mengajak suaminya bergabung dan bukan sebaliknya. Upaya penjaringan dilakukan lewat media sosial dan pembaitannya tidak harus lewat tatap muka dan dianggap sah.

Antisipasi Wajib Bagi Pihak Kepolisian

            Sudah saatnya pihak kepolisian mulai menaruh perhatian terhadap gejala makin banyaknya serangan yang menargetkan polisi dilakukan di markas besarnya langsung. Roby Sugara, pengamat teroris dari UIN Jakarta menganggap aparat kepolisian kerap menjadi target aksi teror karena polisi dianggap sebagai musuh. “Aparat keamanan, khususnya anggota Polri adalah penjaga terdepan dalam mempertahankan Undang-Undang di negara ini, yang mereka nilai thagut. Ibarat balon, maka yang bisa dipecahkan yang paling permukaan,” ujarnya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono menjelaskan bahwa ZA berhasil masuk karena dianggap petugas jaga sebagai masyarakat biasa yang membutuhkan layanan polisi. Tak ada yang tahu Zakiah bakal nekat menyerang. Dia masuk lewat pintu belakang.

            Penjelasan itu sebenarnya kurang memadai dan memuaskan pihak yang memberi ilustrasi bahwa keamanan Mal saja ternyata lebih ketat dan baik ketimbang Mabes Polri. Sayang disayangkan bila publik mulai melihat bahwa keamanan Mabes Polri dapat begitu lemah untuk aksi yang sebenarnya sangat tidak profesional tersebut. Sulit dibayangkan bila serangan yang lebih taktis dan terencana oleh kelompok mengancam di masa depan.  Akademisi Jennifer C Gibbs (2018) sudah lama mengingatkan mengenai polisi sebagai target terorisme. Namun rupanya sampai sekarang ini masih belum banyak dicermati dengan baik tidak saja di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.

            Menurutnya hematnya, teroris yang menargetkan penegak hukum sudah meningkat sejak 1970-an berdasarkan database terorisme global. Sampai sekarang  terdapat angka sebanyak 12%.  Ini mestinya perlu mendapat perhatian dan penelitian, jelasnya. Dalam konteks Indonesia nyatalah ada unsur-unsur yang menyangkut pola baru terorisme seperti keterlibatan kelompok milenial terutama perempuan, dan strategi baru serangan lone wolf yang kita bahas di atas. Studi telah menunjukkan bahwa polisi adalah target simbolik dari pemerintahan di suatu negara. Personel dan markas besarnya merupakan  target strategis bagi setiap teroris.  Bila kita mengkaji lebih besar atas elemen-elemen terorisme terkini atas banding antara Indonesia dan Amerika, pengetahuan kita tentu akan banyak bertambah dan berguna. (ISK – dari berbagai sumber)

Artikel sebelumyaSenpi Glock Hanya Dipakai Polisi dan Tentara, Bagaimana Warga Sipil Bisa Memiliki?
Artikel berikutnyaPutusan Sela, Majelis Hakim Tolak Dua Eksepsi Habib Rizieq

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here