Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mulai mengirimkan peringatan virtual ke sejumlah akun media sosial yang mengungah konten yang berpotensi tindak pidana. Selain diberi peringatan, ada pula tersangka penyebar hoaks yang telah ditangkap.

Jakarta. 17 Maret 2021.“Sejak 24 Februari 2021 sudah dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual polisi kepada akun medsos. Artinya kita sudah mulai jalan,” kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi, Rabu (24/2/2021). Slamet menjelaskan, langkah ini sejalan dengan surat edaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang kesadaran budaya beretika dalam dunia digital. Salah satu poin surat edaran itu terkait langkah damai di kasus UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang harus diprioritaskan penyidik demi dilaksanakannya restorative justice.

Restorative justice menurut Slamet juga telah terdapat dalam polisi siber. Artinya, penindakan itu bersifat ultimum remedium, atau upaya terakhir yang dilakukan kepolisian. Slamet mengatakan, setiap harinya Dittipidsiber melakukan patroli siber di media sosial mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram. Jika ada akun media sosial yang mengungah konten yang berpotensi tindak pidana, tim patroli siber akan mengirimkan peringatan melalui DM.

Tim patroli siber ini, lanjut Slamet, telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE sebelum memberikan peringatan virtual ke terduga pelanggar UU ITE. Dengan demikian, peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli sehingga bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian.

Selanjutnya tim patroli siber akan mengirim pesan berupa DM berupa peringatan. Di dalam pesan tersebut disampaikan bahwa konten itu mengandung pelanggaran atau hoax. Pesan peringatan itu dikirimkan dua kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoaks atau ujaran kebencian. Dalam waktu 1×24 jam maka konten tersebut harus diturunkan.

Jika postingan di medsos yang diduga mengandung pelanggaran atau hoaks tersebut tidak diturunkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali. Jika peringatan kedua tetap tidak digubris, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi. Menurut Slamet, penindakan akan dilakukan sebagai langkah terakhir. Siber Polri akan mengedepankan langkah-langkah humanis ketimbang penindakan.

Adapun tindak pidana yang bisa dilakukan dengan cara restorative justice misalnya pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Ia menyebut pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya. Lebih lanjut Slamet juga mengatakan kepolisian tidak akan menindak seseorang yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Kritik tersebut harus disampaikan secara beradab, tetapi jika kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoaks, maka akan ditindak.

“Kritik itu sah-sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah, dan kebohongan itu yang tidak baik. Seseorang kalau dia mengkritik pada saat dia mengkritik kalau dia berbuat jahat di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia tahu kok kalau dia berbuat kejahatan, dia tahu kok bahwa kritik itu mengandung hoax, mengandung ujaran kebencian yang menurutnya ditambah-tambah atau diedit sehingga kalau bicara kritik kepada pemerintah kita tidak akan sentuh,” ucapnya.

Marak Berita Hoaks

Untuk tahun tahun lalu, pihak kepolisian menyoroti banyaknya berita bohong atau hoaks terkait COVID-19 di tengah-tengah masyarakat. Sepanjang tahun 2020, polisi mencatat bahwa ada 352 kasus berita bohong terkait COVID-19 yang telah ditangani polisi. “Data di tahun 2020 untuk berita hoaks itu ada 352 kasus yang kita tangani,” kata Kadiv Humas Polri Irjen  Argo Yuwono, Jumat (5/2/2021).

Lebih jauh dia menyampaikan, atas hal tersebut, para penyebar berita hoaks dapat dikenai ancaman pidana. Menurutnya, saat ini tim dari Direktorat Siber Polri tengah menangani ratusan kasus pelanggaran tersebut.

Berdasarkan catatan penulis, untuk anggota masyarakat yang menyebarkan itu tentunya ada ancaman pidananya,yaitu pasal 28 Ayat (1) UU 11/2008 tentang ITE tentang penyabaran berita bohong di media elektronik termasuk media sosial (medsos), ini dikenakan sanksi pidana penjara 6 tahun dan denda Rp1 miliar, diproses oleh Siber Polri. Selain itu, pihak kepolisian juga dapat mengenakan para pelaku dengan Pasal 14 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 14 Ayat (1) disebutkan pelaku penyebar hoaks diancam hukuman10 tahun penjara.

Sementara untuk Ayat (2) tiga tahun penjara, serta Pasal 15 diancam dua tahun kurungan. Selain itu, ada UU KUHP Pasal 14 Ayat (1), barang siapa menyebarakan berita bohong ancamannya 10 tahun, dan Ayat (2) barang siapa yang menyiarkan berita keonaran di kalangan rakyat dipenjara tiga tahun. Pasal 15 barang siapa menyiaraan tidak pasti atau tidak lengkap dapat membuat keonaran ancamannya dua tahun.

Penindakan Penyebar Hoaks

Memasuki tahun 2021 sudah ada beberapa kasus penyebaran berita hoaks yang ditangani polisi. Salah satunya, Tim Patroli Siber Ditreskrimum Polda Kalbar telah menangkap tersangka penyebar hoaks tentang vaksin Covid-19 berinisial AS (30 tahun. “AS ditangkap karena telah membuat tulisan berisi berita bohong (hoaks) tentang vaksin Covid-19 di media sosial Facebook,” kata Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar, AKBP Pratomo Satriawan di Pontianak, Kamis (28/1/2021). Dia menjelaskan, saat melakukan patroli siber, pihaknya menemukan atas nama akun AS menyebarkan berita bohong terkait vaksin. AS menuliskan dalam postingannya di kolom komentar.

“Tersangka AS ditangkap karena telah melanggar pasal 45A ayat 1 Jo pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016, perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana karena telah menyebarkan berita bohong tentang vaksin COVID-19,” katanya. Dalam unggahannya AS menuliskan bahwa vaksin COVID-19 yang disuntikkan merupakan virus yang berbahaya bagi warga.

“Awas itu bukan vaksin tapi virus yang akan menghancurkan rakyat Indonesia, pertama disuntik emang tidak nampak terkena langsung virusnya, nanti jelang 4 atau 6 bulan baru kelihatan yang pernah disuntik, timbul penyakit karena virus suntikan tadi dari vaksin tadi, awas hati-hati jangan tertipu, hati-hati rakyat sebelum disuntik fikirkan sejauh-jauhnya, lebih baik jangan kita mah udah sehat kok buat apa disuntik, jangan takut dengan corona,’’ tulis AS dalam kolom komentar postingan di grup Pontianak Informasi.

Sebelum menangkap dan menetapkan AS sebagai tersangka, Polda Kalbar sudah meminta pendapat saksi ahli terlebih dahulu atas tulisan yang dibuat oleh AS tersebut. Dari hasil pemeriksaan terhadap AS, di ungkapkan Pratomo, AS menggunakan akun pribadinya dalam membuat postingan di kolom komentar terkait vaksin tersebut, dan tulisan tersebut murni kata-kata yang dibuat oleh AS.

Sementara itu di Gresik, Polisi telah menangkap tersangka berinisial TS (44). TS adalah pelaku yang menyebarkan informasi hoaks yang menyatakan bahwa Kasdim 0817/Gresik Mayor Inf Sugeng Riyadi meninggal dunia usai disuntik vaksin Covid-19. TS diamankan usai menyebarkan kabar bohong melalui pesan berantai di aplikasi WhatsApp. Wakapolda Jatim Brigjen Pol Slamet H S menerangkan tim siber Polda Jatim dan Polres Gresik memburu tersangka yang menyebarkan kabar bohong Kasdim Gresik meninggal usai disuntik vaksin Covid-19 buatan Sinovac.

“Polda Jatim dan Polres Gresik mengamankan satu tersangka di wilayah Gresik kemarin. Pelakunya orang Gresik,” ucapnya kepada awak media di Mapolres Gresik, Rabu (20/1/2021). Didampingi Kepala Penerangan Kodam V Brawijaya Kolonel Arm Imam Haryadi, Kapolres Gresik AKBP Arief Fitrianto, Dandim 0817 Gresik Letkol Inf Taufik Ismail dan Kadinkes Gresik drg Saifudin Ghozali menambahkan, tersangka adalah pembuat dan penyebar berita bohong itu melalui whatsapp. Pelaku dijerat dengan Pasal 45A ayat 1 Undang-undang RI nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 11/2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Jo pasal 28 Ayat 1 Undang-undang RI No.11 th 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik. Ancaman hukuman 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar.

Jika sudah ada tindakan penangkapan maka tepatlah himbauan polri kepada seluruh masyarakat agar mendahulukan kebenaran sebuah berita. Terutama, yang banyak tersebar di medsos. Jangan segan untuk selalu ada cek dan ricek berkaitan dengan informasi yang disebarkan dari media sosial. (EKS/berbagai sumber)

Artikel sebelumyaMengantisipasi Potensi Kejahatan Siber di Indonesia 2021
Artikel berikutnyaTiada Toleransi Untuk Penghasut dan Penyebar Kebencian

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here