Aksi KKB di Papua semakin brutal. Sejak 2017 lebih dari 63 kali aksi penembakan KKB termasuk yang paling akhir adalah gugurnya Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha gugur ditembak KKB di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Mungkinkah KKB sulit ditumpas karena ada dukungan warga adat lokal ?
Jakarta – (29/04/2021). Suasana mencekam mirip darurat perang tampaknya. Hanya dalam selang dua hari sejak gugurnya Brigjen Gusti Putu Danny Nugraha, seorang anggota Brimob, Bharada Komang juga gugur dalam kontak senjata dengan KKB di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua. Dua anggota Polri lainnya, Muhammad Syaifiddin, anggota Polres Mimika terkena tembakan peluru KKB di bagian perut dan Ipda Anton Tonapa terkena tembakan peluru KKB di bagian punggung atas. Keduanya yang tergabung dalam Satuan Tugas Nemangkawi, menjalani perawatan intensif di Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUD Mimika dan dalam kondisi stabil.
Aksi Penembakan Beruntun
Berdasarkan catatan Polres Mimika, sejak tahun 2017 hingga 2020 terdapat 63 kali aksi penembakan dilakukan KKB. Rinciannya, tahun 2017 terdapat 22 kali aksi penembakan, tahun 2018 terjadi 12 kali, tahun 2019 terjadi 4 kali dan tahun 2020 mengalami kenaikan yang signifikan sebanyak 25 kali aksi penembakan. Kapolres Mimika AKBP I Gusti Gede Era Adhinata mengatakan, kenaikan jumlah aksi penembakan di tahun 2020 menyusul adanya seluruh KKB di wilayah Pegunungan Papua yang bergabung dengan KKB Timika khususnya di wilayah Tembagapura. “Puji Tuhan sebagian besar kelompok tersebut kini sudah meninggalkan Timika khususnya wilayah Tembagapura,” kata Era dalam refleksi akhir tahun 2020. Lantas, apa yang membuat KKB seakan sulit untuk ditumpas? Menurut pengamat intelijen Ridlwan Habib mengatakan setidaknya ada tiga faktor yang membuat KKB di Papua sulit untuk ditumpas. Salah satunya dikarenakan adanya faktor taktikal geografis yang lebih sulit dan menantang ketimbang faktor KKB itu sendiri. “Jadi kemampuan tempur KKB itu sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi karena situasi geografis di Papua, vegetasinya, kemudian hewan-hewan yang ada di sana, itu membuat mereka lebih kuat bertahan daripada pasukan pemukul dari TNI dan Polri yang mengejar,” kata Ridlwan.
Faktor berikutnya, menurut Ridlwan, yakni masih adanya “perlindungan” yang diberikan oknum tokoh-tokoh lokal setempat kepada anggota KKB. Anggota KKB diberikan tempat berlindung di wilayah-wilayah adat sehingga hal itu memberikan perlindungan ketika mereka tengah dikejar oleh aparat keamanan. ”Ada beberapa oknum tokoh-tokoh kan yang sudah tertangkap, misalnya kemarin ada satu oknum pendeta ternyata menyuplai senjata untuk KKB,” ujar Ridlwan. “Jadi ini problem juga, karena di sana masih ada oknum tokoh masyarakat adat yang masih melindungi orang-orang KKB itu, jadi makin susah untuk dikejar,” imbuhnya. Ketiga, adalah faktor koordinasi antar lintas tim yang ikut bergerak bersama-sama melawan KKB. Menurut Ridlwan, ada banyak tim atau unsur yang dilibatkan dalam memberantas kelompok tersebut, seperti TNI, Polri, BIN, dan satuan tugas lokal dari Kodam setempat. “Nah ini koordinasinya saya kira memang perlu dilingkupi dalam satu wadah yang khusus, misalnya dulu kita ingat waktu operasi melawan Santoso. Waktu itu payungnya satu, yakni namanya Satgas Tinombala, jadi semua unsur itu ya cuma satu payung itu,” jelas Ridlwan. Oleh karena itu, Ridlwan meminta kepada pemerintah untuk segera membuat satu payung yang dapat mewadahi semua unsur. Sehingga, nantinya tidak ada yang bergerak sendiri-sendiri.
Lebih lanjut, Ridlwan juga mengusulkan agar dikirimkan satu tim yang memiliki kemampuan lebih dan memahami medan-medan ekstrem. “Itu taktikal tempurnya perlu dikirimkan satu tim yang memahami benar, punya kemampuan vegetasi hutan-hutan lebat, suhu ekstrem, saya kira di situ ada pasukan khusus kita ya, Koopsus TNI, saya kira bisa dikirimkan dalam bentuk perbantuan,” kata Ridlwan. Selain itu, perlu juga dilakukan operasi penggalangan intelijen. Tokoh-tokoh atau pimpinan adat perlu digalang untuk tidak membantu baik secara moral atau bantuan lain terhadap KKB. “Penggalangan ini harus dilakukan secara serius oleh tim yang memang tim khusus ya, tim khusus penggalangan yang biasanya melakukan operasi penggalangan,” paparnya.
Hambatan-Hambatan Menurut Mabes Polri
Di lain pihak Polri mengungkapkan kendala-kendala dalam memberantas KKB di Papua. Ada dua kendala yang disebutkan, salah satunya KKB kerap masuk ke penduduk. “Kendala-kendala kan tentunya medan di sana tidak seperti ini. Medannya pegunungan segala macam kan, membutuhkan sumber daya yang harus maksimal,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono. Anggota KKB yang masuk ke wilayah penduduk sulit diidentifikasi. Rusdi menyebut, pola KKB masuk ke penduduk ini dilakukan agar tetap eksis. “Kedua, kelompok-kelompok ini sering masuk ke penduduk, menyamar-menyamar dengan penduduk. Sering masuk ke penduduk-penduduk, nyamar dia. Itu menjadi pola-pola mereka bagaimana mereka untuk tetap eksis di sana,” terangnya.
Meski demikian, Rusdi memastikan KKB tidak memiliki tempat di Papua. Rusdi menegaskan Polri bersama TNI berusaha menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh KKB. “Tentunya aparat keamanan, TNI dan Polri, terus bekerja secara optimal melakukan pengejaran penangkapan terhadap kelompok kriminal bersenjata. Yang pasti tidak ada tempat bagi KKB di tanah Papua,” kata dia. “Polri dan TNI juga beserta instansi lainnya, sekali lagi, berusaha secara optimal untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kelompok kriminal bersenjata di tanah Papua,” pungkas Rusdi.
Mirip GAM di Aceh
Untuk mengurai akar masalah dan makin brutalnya aksi KKB, ada baiknya kita pun mengungkap asal muasal terbentuknya KKB. Dalam konteks ini. Mantan Anggota Komans HAM Natalius Pigai menjelaskan, awal mula KKB ini berdiri, adalah ketika dimulainya integrasi politik ke dalam Republik Indonesia dengan cara penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1969. “Dalam proses penentuan pendapat rakyat itu, banyak yang tidak menerima. Hanya sebagian tokoh yang menerima, yaitu tokoh-tokoh terdidik pada saat itu sudah dipegang oleh Pemerintah Indonesia,” kata Pigai. “Mereka yang menolak proses itu kemudian menjadi bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) karena mereka ingin membentuk sebuah negara-bangsa sendiri di Papua,” sambungnya.
Sejarah lahirnya OPM ini, mirip dengan sejarah kelahiran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976, yang juga dibentuk karena ingin mendirikan negara sendiri yang berlandaskan syariat Islam. “Karena indikator negara-bangsa itu ditunjukkan dengan adanya bendera, lagu kebangsaan, lambang, wilayah, danb penduduk, maka pihak yang menolak berintergrasi ini berjuang dengan senjata, yang disebut Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat, yang sekarang disebut KKB,” kata Natalius Pigai. Ia menambahkan, hingga kini kelompok tersebut masih eksis, malah dan menjadi semakin kuat. “Sejak dibentuk tahun 1961 sampai sekarang, mereka masih eksis dan tidak pernah pecah. Suaranya tunggal, berarti organisasi itu sudah kuat sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan negara-bangsa seperti di tempat-tempat yang lain,” tambahnya.
Terkait pernyataan Pigai, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, bahwa sesuai data dari kepolisian, kelompok itu kecil dan hanya berjumlah 25 orang. “Pernyataan Kapolri menyebutkan, kelompok bersenjata itu kecil, hanya 25 orang, ” ujarnya. Pernyataan Ngabalin itu pun langsung disanggah oleh Natalius Pigai. Menurut Pigai kelompok itu telah diakui secara internasional dan memang bersiap untuk berperang. “Tak mungkin hanya 25 orang, OPM itu sudah diakui internasional. Jadi tidak usah menyederhanakan. Mereka sudah biasa berhadapan dengan operasi militer,” kata Natalius. Ngabalin pun menjwab, bahwa peperangan antara TNI dan OPM memang sudah diatur dalam hukum internasional, namun ada regulasi untuk undang-undang di Indonesia. “Ada tugas pokok dalam perang yang diatur regulasi, jadi kalau bisa Natalius Pigai juga menggunakan referensi UU itu dalam hal ini,” tambahnya. Diberitakan sebelumnya, 31 orang pekerja bangunan di Kali Yigi-Kali Aurak, Nduga, Papua dinyatakan meninggal dunia setelah ditembak oleh KKB. Saat ini, militer Indonesia terus memburu kelompok separatis pimpinan Egianus Kogoya itu.
Sorotan tokoh adat Papua
Masifnya aksi kebrutalan KKB dan kekejamannya juga mendapay sorotan dari tokoh adat Papua. Diketahui dalam pekan ini, KKB melakukan serangkai kekejaman terhadap masyarakat dengan membunuh dua guru, seorang tukang ojek, seorang siswa SMA di Kabupaten Puncak, Papua. Yanto Eluay, tokoh adat Papua yang juga merupakan ondofolo Sentani, mengatakan kekejaman yang dilakukan KKB tersebut melanggar norma adat dan mencoreng wajah adat. “Menyikapi beberapa peristiwa yang terjadi saat ini di Kabupaten Puncak, kami sangat menyesalinya. Kami masyarakat Papua adalah masyarakat adat sehingga apa yang dilakukan oleh pelaku dalam hal ini KKB merupakan pelanggaran terhadap adat,” kata Yanto di kediamannya, Sentani, beberapa waktu lalu.
Sudah Punah
Secara terpisah tokoh pemuda Papua Ali Kabiay menyatakan bahwa kondisi Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat ini sudah punah. Sedangkan yang ada sekarang melakukan tindak kekerasan di Papua hanya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di pegunungan. “Pergerakan KKB yang lebih dominan melakukan kekerasan karena sudah terdesak. Pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi Papua saat ini selalu merujuk pada kata kunci OPM dan KKB,” kata tokoh pemuda Papua Ali Kabiay. Kondisi saat ini di Papua, menurut Ali Kabiay, jika melihat kembali ke belakang pergerakan Papua Merdeka di tahun-tahun sebelumnya yang paling eksis melawan kedaulatan NKRI adalah OPM atau Organisasi Papua Merdeka. Diakui Ali, OPM telah sedari dulu menjangkiti pemikiran warga-warga di sepanjang pantai/pesisir Papua dan OPM dulu sekali lahir dari gerakan spiritual bawah tanah air kekerasan. “Jadi ceritanya bermula dari 1963. Aser Demotekay yang merupakan mantan Kepala Distrik Demta, Kabupaten Jayapura, kemudian muncul juga gerakan pro-kemerdekaan Papua di Manokwari pada 1964, tokohnya adalah Terianus Aronggear. Organisasi Terianus dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dan nama OPM semakin dikenal tahun 1965 lewat pemberontakan bersenjata kelompok Permenas Ferry Awom di Manokwari,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, lanjut Ali Kabiay, pergolakan OPM pada waktu itu, orang Papua pantailah yang selalu aktif dalam melakukan perlawanan terhadap negara dengan aksi-aksinya. Namun dengan sentuhan humanis oleh pemerintah dan berjalannya waktu, kesejahteraan orang Papua pantai mulai menjadi perhatian pemerintah. Ali menyebut fakta saat ini, buktinya telah banyak anak-anak Papua pantai yang diberikan kesempatan oleh negara untuk bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil juga diberikan jabatan-jabatan fungsional. Juga anak-anak pantai mengabdi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui TNI-Polri, kesempatan di berbagai bidang olah raga. Pemerintah NKRI juga memberikan kesempatan seluas-luasnya para pemuda Papua belajar dengan beasiswa, membuat banyak para pemuda Papua yang sukses di berbagai bidang, baik pemerintahan pusat maupun di daerah. “Bahkan anak-anak Papua juga sukses di luar negeri memberikan kebanggaan negara sehingga mereka merasa puas atas perhatian dari Pemerintah. Belum lagi banyaknya infrastruktur dan pembangunan di Papua mulai dapat dinikmati masyarakat Papua,” ungkap Ali Kabiay.
Setelah para tetua mereka meninggal, menurut Ali Kabiay, pada titik inilah OPM sudah tidak ada alias sudah punah karena secara tidak langsung. Gerakan OPM tidak dilanjutkan oleh penerus keluarga mereka. Sebagai contoh, sebut Ali Kabiay Ketua Dewan Adat Presidium Papua saat itu Theys Hiyo Eluay yang merupakan tokoh perjuangan Papua merdeka kini anaknya Yanto Eluay telah mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai anggota DPRD Kabupaten Jayapura dan terus melakukan terobosan bersama pemerintah untuk membangun Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ali Kabiay mengakui, ketika negara sudah sangat memberikan perhatian kepada masyarakat Papua baik kesejahteraan, kesempatan belajar dan menduduki pemerintahan, yang dulu mereka menyebut dirinya OPM sekarang adalah bagian dari warga negara Indonesia. “Dan bila ada yang masih menyebut diksi OPM-TPNPB mereka adalah bagian penyusupan politik bukan murni dari mereka karena sesungguhnya mereka sudah punah. Omong kosong jika ada OPM-TPNPB. Karena yang ada sekarang ini adalah Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB yang berada di area pegunungan,” ujarnya.
Tidak berdampak positif
Penetapan status kelompok kriminal bersenjata sebagai teroris dinilai tidak berdampak positif pada penyelesaian gangguan keamanan di Papua. Dialog bersama antara pemerintah dan kelompok tersebut harus diprioritaskan demi terciptanya kedamaian di Tanah Papua. Hal ini disampaikan Sekretaris II Dewan Adat Papua John Gobay saat dihubungi dari Biak Numfor. John memaparkan, terdapat dua faktor di balik penetapan status teroris bagi kelompok Organisasi Papua Merdeka atau disebut aparat keamanan sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Faktor pertama adalah untuk mencari dukungan dari negara-negara yang memerangi aksi teroris. Faktor kedua, sebagai dasar untuk peningkatan operasi keamanan untuk menghadapi kelompok tersebut. ”Dengan peningkatan operasi akan berdampak bagi masyarakat setempat. Solusi untuk Papua tanah damai tidak akan terwujud,” kata John. Ia berpendapat, seharusnya aparat keamanan menggandeng tokoh yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat untuk berdialog dengan KKB. Cara tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah Papua tanpa saling kontak tembak antara aparat dan KKB. ”Dengan pendekatan persuasif untuk mencegah jatuhnya korban secara terus-menerus. Pemda bersama tokoh masyarakat dan agama bisa berperan untuk berdialog dengan OPM,” kata John. Sementara itu, Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey menegaskan, pihaknya tetap menolak penetapan OPM atau KKB sebagai teroris. Sebab, aksi mereka bukan terjadi secara global, tetapi hanya di daerah Papua.
”Komnas HAM mengambil dua sikap pasca-penetapan status teroris oleh pemerintah pusat. Kedua sikap ini adalah memantau upaya penegakan hukum oleh Polri dan TNI serta mendorong dialog antara kedua pihak,” tambahnya. Terlepas dari pro kontra, setuju atau tidak setuju penetapan KKB sebagai teroris, pada faktanya aksi brutal KKB telah membuat keadaan yang mencekam, menimbulkan ketakutan di masyarakat. Ancam itu jelas dapat dikategorikan sebagai teroris. Beberapa tokoh adat asli Papua pun berpendapat bahwa aksi KKB jelas sangat mencoreng wajah adat asli Papua yang sejatinya cinta damai. Jadi tentu saja berdasarkan UU, tindakan teroris adalah tindak kejahatan extraordinary, maka demi keamanan dan keselamatan egara dan bangsa, aparat keamanan sangat dimungkinkan mengambil langkah-langkah pengamanan apa pun untuk menumpas gerakan terorisme. Dan ini dilindungi undang-undang terorisme yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, pihaknya terus melakukan upaya penegakan hukum untuk menghentikan aksi KKB pimpinan Lekagak Telenggen di Puncak. ”Kami bersama TNI telah memblokade area Sugapa, ibu kota Intan Jaya, dan dua distrik (kecamatan) di Puncak, yakni Beoga dan Ilaga. Kami akan menghentikan aksi mereka,” ujar Mathius. (Saf).