Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Telegram terkait penegakan hukum di masa PPKM darurat Jawa dan Bali. Surat itu menjadi acuan penegakan hukum bagi spekulan yang bermain harga obat-obatan COVID-19 hingga alat kesehatan di masa kritis Corona.
Jakarta – (26/07/2021). Surat Telegram itu bernomor ST/1373/VII/H.U.K/7.1./2021. “Polri mendukung penuh penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali 3-20 Juli 2021,” ujar Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto dalam keterangan tertulis. Agus mengatakan, di masa pandemi COVID-19, khususnya dalam rangka penerapan PPKM darurat, ini akses obat-obatan dan alat-alat kesehatan harus dipermudah. Dia tidak ingin ada pihak-pihak yang menghambat penanganan COVID-19 di Tanah Air. “Jangan sampai ada penimbunan obat-obatan dan alkes, jangan mengambil kesempatan, kami akan tindak tegas. Begitu pun kepada pihak-pihak yang menghambat upaya pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19, termasuk penyebaran berita bohong/hoaks,” tegasnya.
Dia mengimbau masyarakat tidak melakukan panic buying. Sebab, kata dia, itu akan menimbulkan stigma buruk dalam tatanan sosial. Surat Telegram yang ditujukan kepada para Kapolda dan bersifat perintah ini berisi 5 poin penting. Berikut poin-poinnya: Pertama, melakukan pengawasan terkait kepatuhan semua pihak dalam menjalankan PPKM darurat dan pengendalian HET obat dalam masa pandemi COVID-19. Kedua, melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku usaha yang melakukan penimbunan serta penjualan obat di atas HET sehingga masyarakat sulit mendapatkan obat dan alkes. Ketiga, melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap tindakan yang menghambat segala upaya Pemerintah dalam melakukan penanggulangan wabah COVID-19, termasuk terhadap penyebaran berita bohong/hoaks. Keempat mempelajari, memahami serta melakukan koordinasi dengan pihak Kejaksaan terkait penerapan pasal-pasal yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana di masa pandemi COVID-19. Kelima, melaporkan hasil kegiatan kepada Kapolri up Kabareskrim.
Ancaman Hukum
Lebih detil soal ancaman hukum bagi para pelanggar di masa PPKM Darurat dan Level 4 ini, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan penimbun alat-alat kesehatan termasuk tabung oksigen bisa dikenakan hukuman penjara maksimal enam tahun. Hal itu disampaikan Ramadhan dalam Dialog Daring bertajuk “Taat PPKM Darurat Harga Mati,”. “Bisa diancam dengan ancaman enam tahun penjara dan hukuman denda Rp2 miliar,” ujar Ramadhan. Tak hanya itu, penimbun alat-alat kesehatan juga bisa dikenakan pasal berlapis. Pelaku bisa dijerat dengan Undang-undang (UU) Tentang Perdagangan, UU Tentang Kesehatan dan UU Tentang Perlindungan Konsumen. Saat ini, kata dia, Polri tengah melakukan pemantauan aktivitas jual beli online dan langsung di pasar untuk obat-obatan jenis antibiotik yang biasa digunakan selama masa pandemi Covid-19.
Polri juga akan memberikan tindakan tegas terhadap mereka yang menumpuk dan memainkan harga obat-obatan Covid-19 dan alat kesehatan lainnya. “Tentu ada pasal-pasal yang akan menjerat para pelaku yang melakukan penjualan di atas rata-rata atau harga eceran tertinggi yaitu Undang-undang Perdagangan maupun Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen,” tutur Ramadhan. Selain itu Polri juga melakukan pemantauan langsung di pabrik-pabrik serta distribusi obat dan alat-alat kesehatan di lapangan. Hal ini guna memastikan tidak memainkan harga dan tidak terjadi penimbunan obat di tengah pandemi Covid-19. Pemantauan tersebut juga termasuk dalam operasi Aman Nusa II di kala pemberlakukan PPKM Darurat.
“Penegakan hukum tindak pidana terkait Covid-19 (penting) di mana ramai diperbincangkan banyak masyarakat yang melakukan menimbunan alat kesehatan, sehingga muncul kelangkaan alat kesehatan di masyarakat,” kata Ramadhan. “Juga terkait harga eceran tertinggi obat. Yang harganya sekian, tetapi di saat orang membutuhkan, harganya tinggi. Di sinilah peran Polri dalam penegakan hukum di masa diberlakukannya PPKM Darurat,” lanjut dia. Seperti diketahui, saat ini Indonesia mengalami kelangkaan tabung oksigen seiring melonjaknya kasus Covid-19. Hal itu diikuti pula dengan semakin banyak pula psien Covid-19 yang membutuhkan tabung oksigen selama perawatan.
Ancaman Untuk Korporasi Penimbun
Di bagian lain berkenaan denga penegakan hukum di masa PPKM Darurat, Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir meminta aparat kepolisian menindak korporasi yang diduga menimbun oksigen, obat-obatan, alat kesehatan (alkes), hingga barang di tengah melonjaknya kebutuhan untuk sektor kesehatan, khususnya bagi pasien Covid-19. Ari dalam keterangannya kepada wartawan, menyampaikan, aparat kepolisian jangan hanya menindak individu atau perorangan yang diduga melakukan penimbunan berbagai kebutuhan tersebut.
Doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu menegaskan, para penimbun itu semuanya harus ditindak tegas karena masyarakat sangat kesulitan untuk mendapatkan oksigen, obat-obatan, dan alkes serta dihantui terpapar Covid-19. “Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit,” ujarnya. Karena itu, lanjut Ari, pemerintah telah menerbitkan beberapa undang-undang (UU) terkait masalah penimbunan, yakni UU No. 29 Tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting. Sesuai Pasal 2 UU tersebut, penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri. Pelaku penimbunan diancam pidana penjara selama 5 tahun dan denda.
Selanjutnya, UU No 1 Tahun 1953, juncto UU No. 17/Drt/1951. UU ini juga mengatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana Pasal 2. Menurutnya, kedua UU di atas merupakan respons atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat, seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Pasal 1 Perpres. No 71 Tahun 2015: Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Lebih tegas lagi Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Larangan tersebut, ujar Ari, dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan atau barang penting. Menurut Ari, Alkes termasuk oksigen masuk dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut. Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi. Bukan hanya itu, penimbunan akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan. Oleh sebab itu, perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku. Ari menjelaskan, dari berbagai UU dan peraturan di atas, pelaku penimbunan bisa perorangan dan korporasi atau badan hukum. Adapun sanskinya berupa pidana kurungan, denda maupun administrasi.
Korporasi atau badan usaha merupakan subjek hukum sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika melakukan perbuatan yang dikategorikan perbuatan pidana. Ketentuan ini telah diadopsidalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam UU Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955. Ia melanjutkan, Pasal 15 UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Menggunakan ketentuan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum, baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana. Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”.
Sedang bila korporasi sebagai pelaku, ujar Ari, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.Lantas, siapakah pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Ari menyampikan, dalam praktik bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham memengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham. Menurutnya, para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali. “Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” ungkapnya.
Doktrin Corporate Veil
Adapun doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 Tahun 2007, yakni corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus. Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vehicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham. Kemudian, mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabui kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.
Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alkes, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di Tanah Air. Menurutnya, karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham, maka ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.
Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) UU No 40 Tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban. “Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara,” ujarnya. Sedangkan korporasi atau digunakan pemegang saham untuk melakukan tindak pidana, menurut Ari, korporasi tersebut perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu, baik sementara maupun selamanya. “Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain,” kata Ari.
Tiga Kelompok Penimbun Obat Covid-19
Tidak berselang lama, Polri baru-baru ini menangkap terduga pelaku penimbun barang Alkes dan obat-obatan terkait operasi pengawasan terhadap ketersediaan dan harga-harga alat kesehatan di masa pandemi. “Jadi untuk penimbun obat-obatan terkait dengan Covid kita sudang tangkap tiga kelompok, baik itu [penimbun] Avigan, Invermectin, dan tabung oksigen. Sekarang sedang diproses,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, di kantornya. Pihaknya juga masih terus bergerak untuk mengawasi para oknum yang sengaja mengambil keuntungan di masa pandemi ini.
“Tim juga terus bekerja mulai dari hulunya, mulai dari pabriknya, distributornya, kemudian kita kawal sampai ke toko-toko obat dan apotek-apotek agar tidak ada kebocoran-kebocoran distribusi obat,” tuturnya. Selain itu, kata Fadil, pihaknya juga akan mengawasi penjualan obat, untuk memastikan tidak ada oknum yang mencoba menaikkan harga demi meraup keuntungan. “Kita kawal juga harganya tetap sesuai dengan harga eceran tertinggi. Tidak boleh ada yang menjual melebihi HET,” ucap Fadil.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto telah mengeluarkan instruksi untuk menindak pihak-pihak yang menimbun dan bermain dengan harga obat selama pandemi. Selain itu, Polri juga meminta masyarakat untuk segera melaporkan bila menemukan dugaan pelanggaran penjualan tabung oksigen ataupun obat-obatan selama masa pandemi Covid-19. “Polri telah memiliki layanan hotline 110 yang selama 24 jam tersedia untuk masyarakat memerlukan bantuan dari aparat kepolisian. Jika menemukan pelanggaran tersebut kami mengimbau memanfaatkan layanan itu untuk melapor,” kata Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono kepada wartawan.
Haram Menimbun Barang
Secara hukum, penimbun barang jelas hukumannya. Begitu pula menurut hukum agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan bahwa aksi menimbun maupun yang memborong obat dan oksigen untuk kebutuhan perawatan pasien covid-19 adalah haram. Hal itu sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 menegaskan tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.
Begitu juga dengan tindakan lainnya termasuk memborong obat-obatanan, vitamin, oksigen, yang menyebabkan kelangkaan sehingga orang yang membutuhkan dan bersifat mendesak, tidak dapat memperolehnya. “Penimbunan kebutuhan pokok tersebut tidak diperkenankan sekalipun untuk tujuan jaga-jaga dan persediaan, sementara ada orang lain yang membutuhkan secara sangat mendesak.,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh.
Jelaslah bahwa aksi pembelian panik dengan memborong bahkan menimbun barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, adalah perbuatan melanggar hukum dan merugikan banyak pihak selain harga-harga pun menjadi naik tak terkendali yang pada gilirannya pasien dan tak mampu membeli obat yang ujungnya pandemi akan semakin membesar. Inilah yang sangat dihindari pemerintah. Dan Polisi dengan dasar hukum yang jelas, akan lebih tegas menindak pelaku kejahatan atau pelanggaran aturan ini. (SAF).