KEPRI, TRIBUNBATAM.id – Polisi wanita di Polda Kepri menggelar sejumlah kegiatan jelang HUT Polwan ke-73 pada 1 September 2021.
Bersama Polres beserta jajarannya, mereka menggelar kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti Donor Darah, Operasi Bibir Sumbing hingga membagikan paket sembako kepada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Polwan di Polda Kepri juga berziarah di Taman Makam Pahlawan, Anjangsana kepada para Purnawirawan dan penegakkan ketertiban dan Displin Polwan oleh Bid Propam polda Kepri.
Tepatnya 1 September 1948 di Bukittinggi, Sumatra Barat.
“Ada beberapa kegiatan jelang HUT Polwan ke-73,” ucap Kapolda Kepri melalui Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Harry Goldenhardt didampingi Senior Polwan Kabid Keu Polda Kepri Kombes Pol Wahyuni Maryati SE dan Pakor Polwan AKBP Dra.Serfida dalam keterangan yang diterima TribunBatam.id, Senin (30/8/2021).
Ia menambahkan, peringatan HUT Polwan nantinya akan digelar secara virtual dari Mabes Polri.
Sementara di Polda Kepri, rencananya akan ada syukuran pada Rabu, 1 September 2021.
SEJARAH Singkat Polwan
Tanggal 1 September setiap tahunnya di Indonesia diperingati sebagai Hari Polisi Wanita ( Polwan) Indonesia.
Apa yang terbersit dalam benak Anda ketika mendengar kata Polwan?
Polisi Wanita ( Polwan ) mungkin menjadi sosok yang merepresentasikan nilai-nilai keberanian pada diri perempuan.
Tribuners, ternyata dulu yang masuk ke organisasi kepolisian itu hanyalah para laki-laki.
Ada yang tau gak sih sejarah terbentuknya Polwan itu sendiri?
Pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Polwan yang ke 70 digelar Polisi Daerah (Polda) Kepri, saat bertindak sebagai Inspektur upacara, Kapolda Kepri saat itu, Irjen Pol Andap Budhi Revanto menceritakan sejarah berdirinya Polwan Indonesia.
Polwan lahir pada 1 September 1948, di kota Bukittinggi Sumatra Barat.
Polwan dapat didefenisikan sebagai satuan Polisi khusus yang berjenis kelamin wanita.
Setelah Indonesia merdeka, Organisasi Wanita dan Wanita Islam mengajukan permohonan kepada Pemerintah dan Jawatan Kepolisian Negara untuk mengikut sertakan wanita dalam pendidikan kepolisian guna menangani masalah kejahatan yang melibatkan anak-anak dan wanita.
Dengan alasan kurang pantas seorang laki-laki memeriksa atau menggeledah tersangka wanita yang bukan muhrimnya.
Dikhawatirkan adanya perlakuan kurang terhormat terhadap tersangka wanita selama dalam tahanan.
“Hingga pada 1 September 1948 Jawatan kepolisian Negara untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi membuka kesempatan bagi wanita mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittingi yang diikuti oleh 6 orang wanita di ranah Minang,” katanya, Senin (03/9).
Keenam perempuan itu, lanjut Andap mulai mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di Sekolah Polisi Negara Bukittinggi pada 1 September 1948.
Tanggal itulah yang kemudian dijadikan sebagai hari lahirnya polisi wanita.
“Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukoco, Rosnalia Taher. Inilah wanita tangguh perintis Polwan,” sebutnya.
Namun saat pendidikan, sempat terputus karena agresi Belanda dan para Polisi Polisi wanita tersebut ikut bergerilya ke pedalaman.
“Bulan Januari 1950 dengan adanya instruksi dari Kepala Cabang Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera, para Polwan itu berkumpul kembali di Bukittingi untuk melanjutkan pendidikan hingga dilantik pada tahun 1951,” jelasnya.
Awalnya, Polwan didirikan dengan tujuan untuk membantu penanganan dan penyidikan terhadap kasus kejahatan yang melibatkan kaum wanita baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan.
Kini tugas Polwan di Indonesia terus berkembang tidak hanya menyangkut masalah kejahatan wanita, anak-anak dan remaja, narkotika dan masalah administrasi bahkan berkembang jauh hampir menyamai berbagai tugas Polisi prianya.
“Dewasa ini adalah tantangan amat serius Korps Polisi Wanita untuk lebih berperan dan membuktikan eksistensinya di tubuh Polri.
Polwan juga diberikan kepercayaan menduduki jabatan strategis, seperti wakapolda, serta Wakapolres, Kapolsek, dan kasat di tingkat Polres.
“Peran polisi wanita dalam institusi Porli membuktikan, polisi wanita mampu bersaing dalam memberikan kinerja dalam kerjanya.
Jadilah Polwan yang moderen, dan terpercaya. kepada seluruh polisi wanita teruslah mengasah diri, dan berikan yang terbaik kepada masyarakat dan institusi Polri,” katanya.
LATAR Belakang Dibentuknya Polwan
Dalam salah satu koleksi Pusat Sejarah Polri 2014 yang berjudul Polisi Wanita dalam Lintasan Sejarah Polri”, diceritakan, pasca negara baru merdeka , rakyat krisis akan pendidikan.
Tidak banyak rakyat, termasuk kaum kepolisian, yang memiliki latar pendidikan baik.
Kinerja polisi masih sangat dipengaruhi oleh karakter kerja polisi zaman penjajahan yang keras dan berjarak dengan rakyat.
Namun, pemerintah pada masa itu tahu bahwa sikap keras seperti itu tidak bisa terus diterapkan.
Agar kepercayaan terhadap polisi bisa didapatkan, polisi perlu membangun karakter ramah dan dekat pada rakyat.
Masalah semakin muncul ketika banyak wanita dari Singapura yang melakukan pelarian ke wilayah pemerintahan Indonesia.
Sebelum diperbolehkan masuk, mereka harus melalui pemeriksaan badan terlebih dahulu.
Akan tetapi, mereka menolak dengan keras untuk diperiksa secara keseluruhan oleh polisi laki-laki.
Polisi laki-laki tidak bisa melakukan pemeriksaan badan secara langsung.
Pemeriksaan pun dilakukan dengan bantuan dari istri-istri polri.
Selain itu, tersangka perempuan yang ditangkap dan masuk penjara juga sulit diatasi hanya dengan tenaga polisi laki-laki.
Atas dasar latar belakang itulah, kehadiran polwan menjadi sangat dibutuhkan.
Wanita-wanita terpilih dididik dan melalui proses yang sama dengan polisi laki-laki lainnya.
Sebanyak 25 wanita direkrut untuk diberikan pengetahuan dasar kepolisian sebelum mulai bertugas sebagai polwan.
Namun, tidak ada gelar atau pangkat khusus yang diberikan pada mereka.
Ketika bertugas dan memakai seragam, para polwan hanya diberi gelar Agen Polisi dan tetap dianggap sebagai bagian dari pegawai negeri sipil.
Kemunculan polwan menjadi titik balik karakter kepolisian Indonesia.
Polwan memiliki citra diri yang lebih ramah dan lebih mudah dijangkau.
Polwan jugalah yang berperan dalam memberi masukan kepada polisi laki-laki agar sikap kerasnya dapat dihindari.
Sekolah Polisi Wanita pertama kali didirikan oleh Jawatan Kepolisian Negara pada 1 September 1948 di Bukittinggi.
Sejak saat itu, 1 September diperingati sebagai Hari Jadi Polwan.
SEJARAH Polwan
Pada 1 September 1948, Kesatuan polisi wanita di Indonesia resmi dibentuk dengan 6 orang anggota saja.
Keenam anggota tersebut merupakan remaja lulusan sekolah menengah yang telah diseleksi untuk menempuh pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi.
Sebelumnya, SPN hanya memiliki murid laki-laki, namun pemerintah RI memberikan mandat untuk membuka pendidikan kepolisian bagi perempuan.
Hal ini dilakukan untuk mengatasi berbagai guncangan yang melanda Indonesia akibat kembalinya Belanda ke negeri ini.
Persoalannya, tidak semua pengungsi perempuan bersedia diperiksa oleh petugas laki-laki, terutama secara fisik.
Kondisi ini cukup menyulitkan, pasalnya bisa saja Belanda mengirimkan wanita pribumi sebagai mata-mata.
Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan polisi wanita untuk membantu mengatasi hal ini.
Adapun keenam polwan pertama yang terpilih tersebut adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher, semuanya berdarah Minangkabau.
Mengutip jurnal Dharmasena terbitan Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan (1995), keenam calon petugas wanita itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi bersama dengan 44 peserta pria.
Mereka juga menjadi anggota Angkatan Bersenjata RI perempuan pertama.
Pada pengujung tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II.
Belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota RI.
Akibatnya, para petinggi negara seperti Soekarno dan Moh Hatta, serta beberapa orang menteri diasingkan ke luar Jawa.
Ketika pusat pemerintahan di Yogyakarta limbung, Bukittinggi justru unjuk gigi.
Atas restu Presiden Soekarno, Bukittingi menjadi tempat didirikannya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Keenam polisi wanita itu turut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan pemerintahan darurat di Bukittinggi.
Pada awal 1949, kota Bukittinggi harus dikosongkan lantaran pasukan Belanda semakin mendekat.
Proses pengosongan itu akhirnya dilakukan dengan perlindungan basis pertahanan Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud.
Dalam pasukan ini, terdapat tiga orang polisi wanita, yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna.(*/TribunBatam.id)