Sinergitas dan efektivitas koordinasi merespon bencana dari aktor pengambil keputusan perlu selalu ditingkatkan dan dicarikan solusinya. Pihak Polri selalu berusaha melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah maupun TNI dalam mitigasi penanggulangan bencana alam di Indonesia. Khusus pihak Polri, telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif, seperti koordinasi, simulasi, hingga sosialisasi. Misalnya berkaitan dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Jakarta, 11 April 2021. Karena berada pada lempengan Samudra Hindia dan Pasifik, Indonesia sangat riskan dihadapkan pada aneka bencana alam, apalagi tidak semua bencana itu dapat dikendalikan. Dengan adanya siklon La Nina, Indonesia malahan satu dari 25 negara di dunia yang paling beresiko terkena bencana alam . Itu sebabnya pemerintah senantiasa berusaha mempersiapkan perangkat-perangkat antisipasinya, termasuk segi mitigasi hingga ke pelosok-pelosok daerah. Hal ini penting karena sebagian besar penduduk Indonesia memang tinggal di daerah rawan bencana, dan berdasarkan perhitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hampir seluruh wilayah Indonesia berpotensi terdampak cuaca ekstrem.
Banyak ilmuwan juga ingin menginsyafkan para pengambil keputusan bahwatidak banyak disadari di dunia termasuk di Indonesia bahwa bencana alam tidak hanya terjadi karena faktor natural saja, tapi juga faktor manusia lewat tindakan perusakan lingkungan karena kebijakan industrialisasi yang tak laik, tidak adil dan tidak bijak. Akibatnya, terjadi kerugian ekonomi dan kemanusiaan yang signifikan, sementara masalah lingkungan menjadi semakin kompleks. Sudah saatnya dicarikan solusi yang lebih holistik, menyeluruh, terukur dan mampu diprediksi untuk jangka panjang. dengan antara lain memanfaatkan teknologi dan kekuatan media. Kedua hal itu dianggap penting guna sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat agar upaya mitigasi bencana dalpat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dilihat sebagai bagian dari konteks masalah global bersama.
Minsinformasi dan bencana alam yang dipolitisir
Baru-baru ini terjadi kembali bencana banjir bandang dan longsor di Flores Timur, NTT dan Bima, NTB. Tragedi kemanusiaan akibat siklon tropis ini telah meninbulkan korban manusia yang tidak sedikit. Namun di tengah-tengah bantuan kemanusiaan untuk bencana tersebut, masih saja ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan untuk menyerang pemerintah termasuk aparat penegak hukum yakni Polri. Seiring dengan munculnya bencana atau masa pascabencana, konten-konten berisi misinformasi masih hadir dan berseliweran. Aneka pesan dan postingan di sosial media muncul dan tidak jelas sumbernya, bahkan tampak jelas ingin menyudutkan usaha dan inisasi pemerintah dan penegak hukum. Berbagai bahan seperti video danforo menyesatkan dari suatu bencana tertentu yang diteorikan berhubungan dengan hal lain yang meresahkan masyarakat tidak saja lewat platform Instagram, Facebook, namun juga aplikasi chat seperti Whartsapp.
Pemerintah sudah tidak henti-hentinya menghibau kepada warga agar tak mudah terhasut dan mempercayai berita yang tidak benar. Masyarakat perlu langsung menggunakan informasi yang tersedia dari instansi pemerintah yang mengurusi kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Menurut sosiolog UGM, Gregorius Ragil, tujuan mereka memang untuk menimbulkan masyarakat dan menunggangi wacana itu dengan menunggangi potensi media sosial menyebarluaskannya. Tidak jarang itu berhubungan dengan tujuan-tujuan politik tertentu. Berdasarkan informasi dari media sosial memang banyak isu mengenai bencana dikaitkan dengan isu kiamat dengan menyasar warga yang minim informasi dan mudah percaya ada kelompok-kelompok tertentu yang dipercayai dapat menyelamatkan dunia, ketimbang memberikan kepercayaan atas tanggap darurat bencana yang dilakukan oleh Pemerintah dan mitranya.
Tidak sedikit yang menggiring opini bahwa bencana itu berhubungan dengan isu Firaun dan analogi dengan Indonesia. Isu seperti ini juga pernah digelontorkan semasa kasus Ahok disidangkan, dengan menghubungkan suatu peristiwa politik dengan kehadiran bencana alam. Sebagian masyarakat di media massa juga telah menuduh bahwa kesibukan kepolisian dalam menangani radikalisasi dan teroris, membuat mereka kurang perhatian pada penanganan bencana alam. Padahal Indonesia adalah negara rawan bencana. Pemerintah juga dianggap lamban dana penanganan bencana. Gregorius Ragil menambahkan bahwa dengan jualan isu khilafah yang menghubungkan bencana dengan agama menunjukkan isu hoaks mudah memicu dan meresahkan masyarakat. Wacana Bencana adalah isu-isu yang bisa dihubungkan dengan kepercayaan.
Optimalisasi mitigasi bencana
Lewat BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), pihak Polri dan TNI tidak putus-putusnya bersama Pemerintah telah bekerja keras menangani aspek pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Kasubdit Mitigasi Bencana BNPB, Muhamad Robi Amri menyatakan, itu karena seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 285 juta jiwa membutuhkan edukasi terkait penanggulangan bencana dan bagaimana strategi yang tepat untuk mengatasinya.Karenanya dibutuhkan sebuah antisipasi dan penanganan serius, bagaimana agar angka korban jiwa karena bencana bisa berkurang, dengan pengetahuan penanggulangan bencana yang baik,” demikian ungkapnya.
Persoalan sinergi kerjasama memang menjadi sentral. Presiden Joko Widodo pada Maret 2021 lalu menyatakan di Jakarta bahwa penanganan bencana harus dilakukan bersama. Kebijakan mitigasi pengurangan risiko bencana menurut Presiden, harus terintegrasi dari hulu ke hilir dan menghubungkan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah. “Tidak boleh ada ego sektoral, tidak ada ego daerah, Semua terintegrasi.” Kata Jokowi.
Sinergi Polri dan TNI
Isu bencana nasional adalah satu dari isu strategis di Indonesia. Ancaman yang saat ini terjadi di Indonesia antara lain Perang asimetris, proksi, hibrida, dan kejahatan lintas negara termasuk siber, “Bencana alam dan non alam”, Terorisme, Narkoba, dan ketiga adalah perang luar biasa yaitu pencucian otak untuk memberontak dan makar terhadap negaranya sendiri atau disebut dengan perang modern demikian kata Ryamizard Ryacudu (2004). Komponen yang terjun langsung dalam pemberian bantuan kepada korban bencana alam di Indonesia memang adalah Tentara Nasional Indonesia dan Polri. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004.
Mereka telah demikian serius mendorong mitigasi bencana menyeluruh dan terintegrasi dengan pembangunan struktur. Disebutkan bahwa salah satu tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) adalah membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan. Serangkaian penyesuaian dan adaptasi menghadapi ancaman bencana diperlukan agar dapat mengatasi dampak bencana alam secara cepat dan tepat saat ini dan dimasa yang akan datang terus digalakkan.
Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.” (Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Menurut TAP MPR RI Nomor VII Tahun 2002 tentang Peran TNI dan POLRI pasal 4 ayat 1 tentang Tugas Bantuan TNI menyatakan bahwa “TNI bertugas membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civic mission)”.
Mengerahkan seluruh potensi dan elemen masyarakat yang ada baik aparat Polri maupun organisasi kemanusiaan yang ada agar pelaksanaan penanggulangan dapat berjalan satu kendali dan sinergis memang mutlak perlu. Tingkat kesiapan dan perencanaan penanganan bencana di daerah yang berbeda-beda, dan keseimbangan kekuatan masyarakat, kepolisian dan TNI. Itu sebabnya, kehadiran fungsi TNI dan Polri sebagai perespon utama dan penanggungjawab manajemen bencana ditetapkan dalam Undang-Undang. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon Kapolri di DPR 20 Januari 2021 lalu, sudah berjanji melakukan peningkatan anggaran kontinegensi yang sesuai fasilitas sesuai kebutuhan atas daerah rawan bencana. Ini strategis karena bagian dari program keamanan sebagai prioritas nasional, di samping persiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Karenanya sinergitas dan efektivitas koordinasi merespon bencana dari aktor pengambil keputusan perlu selalu ditingkatkan dan dicarikan solusinya.
Pihak Polri selalu berusaha melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah maupun TNI dalam mitigasi penanggulangan bencana alam di Indonesia. Khusus pihak Polri, telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif, seperti koordinasi, simulasi, hingga sosialisasi. Misalnya berkaitan dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor,” “Indonesia diapit dua samudra yang luas dan dua benua serta dikeliling gunung-gunung. Kendati demikian, di bumi kita terdapat lempengan-lempengan akan bergeser dan bergerak membuat gempa bumi dan tsunami seperti di Aceh. Adanya fenomena La Nina besar kemungkinan terjadinya bencana banjir bandang dan tanah longsor. Untuk itu, kita wajib mengantisipasi adanya bencana alam,” demikian Kepala Pusdokkes Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdiyanto Rusdiyanto.
Selain itu, serangkaian upaya sosialisasi dan bimbingan kepada masyarakat mengenai evakuasi bencana alam pun telah cukup sering dilaksanakan. Rusdiyanto juga menyatakan bahwa ribuan personel telah dilatih dengan Disaster victim investigation (DVI) dan mendapatkan sertifikat. Komandan Korps Brimob Polri Inspektur Jenderal Anang Revandoko menyatakan bahwa sejumlah 4.120 anggota nya siap disiagakan dalam penanggulangan bencana alam di seluruh Indonesia. Polri antara lain melakukan koordinasi, kolaborasi, dan komunikasi dengan Pemda, TNI, BPBD, serta stakeholder lainnya untuk memetakan daerah rawan bencana serta menyiapkan Renpam, Renkon mengacu struktur penanggulangan bencana (disaster management), Rengar, Posko-posko bencana, serta melaksanakan tactical floor game (TFG) terkait dengan penanggulangan bencana alam termasuk fasilitas penampungan korban bencana alam dan dapur umum.
Selanjutnya, Polri juga melaksanakan simulasi penanganan bencana bersinergi dengan TNI, Pemda, BPBD, dan stakeholder lainnya (dalam pelaksanaan dipimpin oleh gubernur untuk tingkat provinsi, walikota untuk tingkat kota, dan bupati untuk tingkat kabupaten). Dan yang terakhir adalah tugas menyiapkan personel dan Sarpras guna antisipasi, evakuasi dan memberikan pertolongan kepada korban bencana alam (sebagai contoh melengkapi mobil patroli dengan peralatan untuk mengevakuasi korban banjir, tanah longsor, dan pohon tumbang).
Prestasi dan tantangannya
Mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko akibat bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh perespon utama bencana di Indonesia, utamanya dalam soal mitigasi, terutama dalam hal merespon gempuran misinformasi seperti dijelaskan di atas. Dua hal yang dianggap penting dalam menghadapi bencana alam adalah, langkah antisipasi atau preventif yang lebih ideal untuk daerah yang berbeda-beda. Kedua adalah menetapkan angkah mitigasi pascabencana.
Solidaritas dan upaya bantuan bahu-membahu dalam penanganan bencana alam seringkali juga terpicu dengan isu politk dan dipolitisir yang sebenarnya tidak terkait di dalamnya. Akibatnya, hasil-hasil dari proses penguatan sinergi Polri dan TNI dalam upaya nyata mitigasi seolah ditenggelamkan secara sengaja. Pihak TNI dan Polri dituntut untuk lebih menyebarluaskan informasi tentang mitigasi dan upaya-upaya yang mereka lakukan selama ini guna mengkaunter upaya mengecilkan upaya selama ini. Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pemerintah baik pusat dan daerah masih gagap dalam menangani bencana di NTT. Kegagapan tersebut dimulai dari ketidaksiapan mengantisipasi bencana. Trubus menilai mitigasi dan penanganan pascabencana juga seolah-olah tak berjalan dengan baik. Akibatnya jatuhnya korban jiwa akibat bencana tersebut menjadi tak terelakkan. (Isk – dari berbagai sumber).