Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini menyerahkan surat kepada Kapolri untuk menarik Komjen Firli Bahuri dari KPK bahkan memecatnya sebagai anggota Polri. Sungguh gegabah dan berpotensi ”fire back”.
Jakarta – (31/05/2021).Belakangan ini Indonesia Corruption Watch (ICW) selalu berseberangan dengan KPK bahkan menuding pimpinan KPK Firli Bahuri telah melakukan berbagai pelanggaran dan tindakan kontroversi. Puncaknya, ICW menyambangi Mabes Polri guna menyerahkan surat yang ditujukan kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Surat tersebut berkaitan dengan perilaku Ketua KPK, Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Firli Bahuri. Mereka meminta Listyo menarik Firli dari KPK ataupun memecat Firli.
“Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang diwakilkan oleh ICW akan mendatangi markas besar Kepolisian Republik Indonesia guna mengantarkan surat kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ihwal permintaan penarikan atau pemberhentian Komisaris Jenderal Firli Bahuri sebagai anggota Kepolisian,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Kurnia menuturkan Firli selama menjadi pimpinan KPK acap kali membuat kontroversi. Adapun sejumlah tindakan itu seperti pengembalian paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, melakukan perbuatan melanggar etik, hingga berperan dalam penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos Test Wawasan Kebansaan (TWK). “Untuk itu, kami mendesak agar Kapolri dapat menarik Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, atau bahkan, memberhentikan yang bersangkutan sebagai anggota Polri aktif,” kata Kurnia.
Firli, bersama pimpinan KPK lainnya, sebelumnya telah dilaporkan 75 pegawai lembaga antirasuah yang dinonaktifkan ke sejumlah instansi terkait dengan pelaksanaan TWK, seperti Dewan Pengawas KPK, Ombudsman RI, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Menjadi Bumerang
Manuver Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk melengserkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri lewat Kapolri dengan melontarkan berbagai isu miring bisa menjadi bumerang lantaran tidak memiliki cukup bukti yang kuat.Hal itu disampaikan oleh ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi, menyinggung adanya langkah ICW yang meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit menarik kembali Firli Bahuri ke instansi kepolisian.
Andi menyarankan kepada pihak-pihak yang ingin melakukan serangan kepada KPK agar berpikir ulang lantaran tidak memiliki cukup bukti yang kuat.”Mulai dari tuduhan dendam pegawai tertentu atau kekuatan besar di belakang ini, menurut saya itu sepanjang belum bisa dibuktikan sebaiknya jangan diungkapkan,” ujar Andi Sandi.
Dia menegaskan, jika manuver-manuver tersebut dilakukan bisa menjadi bola api panas yang bakal membakar orang-orang itu sendiri jika tidak mampu membuktikannya.”Kenapa saya katakan itu, karena bisa ‘fire back’. Artinya ini kemudian bisa menyerang orang-orang yang menyatakan itu kalau tidak bisa membuktikan,” ujarnya.
Di sisi lain, sambung Andi, tidak ada satupun orang yang tidak ingin melakukan pemberantasan korupsi. Sehingga menurutnya, argumentasi mengenai adanya manajemen yang tidak baik dalam upaya pemberantasan korupsi terlalu mengada-ada.”Satu argumen saya ya, tidak ada orang yang berpikir nalar tidak ingin Indonesia bebas korupsi. Pasti semua orang Indonesia ingin,” kata Andi.”Cuma caranya untuk mengelola manajemen, mengelola tentang pemberantasan korupsi, jangan kita katakan sekarang ini peraturannya tidak benar. Itu enggak bisa membantu pemberantasan korupsi,” tambah dia.
Andi menyampaikan, seharusnya para pegawai KPK atau pihak lain yang menyatakan manajemen KPK tidak pas harus menyampaikan argumentasinya sebelum peraturan perundang-undangan disahkan.”Kalau itu dinyatakan itu tidak pas, ubah dulu dong baru lakukan tindakan. Kalau sekarang mereka bertindak di luar peraturan perundang-undangan, pertanyaan saya KPK ini lembaga negara atau swasta,” urai Sandi.

Tak Ada Justifikasi
Senada dengan Andi, Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad menilai tidak memiliki justifikasi langkah Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyurati Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar menarik Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kembali ke institusi kepolisian. Sebab, langkah itu tak sejalan dengan ketentuan perundang-undangan.
Suparji mengatakan, perundang-undangan telah mengatur perihal pemberhentian pimpinan lembaga yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan, tersebut.”Semuanya harus seusai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang KPK,” kata Suparji.Menurut dia, Pasal 32 UU KPK itu menyebutkan bahwa pimpinan KPK dapat diberhentikan apabila yang bersangkutan meninggal dunia, berakhir masa jabatan, melakukan perbuatan tercela, menjadi terdakwa tindak pidana kejahatan, atau berhalangan tetap.
“Oleh karenanya, jika pemberhentian pimpinan KPK dengan pola menarik dari KPK, dalam hal ini sesuai latar belakang misalnya sebagai Polri, kemudian ditarik Kapolri, secara prosedural tidak sesuai dengan pasal 32 tadi,” kata Suparji.Dengan kata lain, sambung Suparji, ada hal yang perlu diperhatikan. “Tidak semata-mata komitmen memberantas korupsi, tetapi juga harus sesuai prosedur yang benar,” katanya.

Ngawur
Harus mengikuti prosedur yang benar. Ini kata kuncinya. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Indra Perwira juga mempertanyakan tindakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyurati Mabes Polri untuk melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menarik Firli sebagai Ketua KPK dan memberhentikannya dari kepolisian. Bahkan lebih keras.
“Ngawur itu, jelas-jelas pengisian posisi Ketua KPK itu kan sudah melalui fit dan proper test oleh DPR secara terbuka. Ada Pansel-nya. Jadi nggak bisa minta pemberhentiannya ke Kapolri,” ujar Dosen Senior Unpad tersebut sambil tertawa, Tanggapan Indra tersebut tentu saja sangat selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengutip Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, terutama Pasal 30, bahwa Pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden, sebelumnya sudah melalui Panitia Seleksi (Pansel) pemilihan. Wewenang Kapolri tidak akan bisa mencapai KPK yang jelas-jelas lembaga pemerintahan yang berbeda. Terlebih lagi Ketua KPK yang dipilih langsung oleh DPR berdasarkan usulan Presiden. Kapolri tentu saja hanya punya wewenang terhadap Firli di ranah kepolisian.
“Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Kapolri untuk menarik Firli adalah apabila dia melakukan tindakan indisipliner dalam kategori kepolisian. Bukan sebagai jabatannya di KPK. Misalnya ada kode etik yang dilanggar dalam perspektif kepolisian, baru bisa dilakukan penarikan,” ujar Indra.
Terlebih lagi, peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan banyaknya kontroversi yang dilakukan Firli selama menjabat sebagai Ketua KPK. Sejumlah tindakan kontroversi itu, seperti pengembalian paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, melakukan perbuatan melanggar etika, hingga penonaktifan 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.Mendengar beberapa alasan tersebut, tentu saja membuat Indra Perwira yang memang sudah lama turut membantu KPK sebagai akademisi, kembali tercengang. Selain tidak sesuai dengan ranah kepolisian, juga kurang kuat untuk digunakan sebagai argumen.Contohnya permasalahan terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) lalu.
“Walaupun masalah TWK ini digunakan sebagai alasan, kan bukan sebuah pelanggaran etika yang bisa menjatuhkan dia. Itu kan hanya mal-administrasi saja. Bisa dikoreksi secara administrasi. Artinya, kalau ada orang yang tidak lulus karena menggunakan instrumen itu, dan instrumen itu dianggap tidak layak. Maka bisa di tes kembali.”Indra berpendapat bahwa masalah mal-administrasi tersebut tidak dapat menjadi alasan kuat untuk pemberhentian Firli sebagai Polri aktif. “Benar-benar tidak nyambung itu,” katanya.

Bukan Milik Segelintir Orang
Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019, Fahri Hamzah menyampaikan pandangannya mengenai polemik yang terjadi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu terakhir.”Ketika sebagian besar dari kawan-kawan kita belum bisa menerima, kita telah menyampaikan koreksi yang serius khususnya di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujar Fahri Hamzah. “Sehingga ada yang merasa kalau bukan karena sekian orang yang harus ada di lembaga itu seolah-olah lembaga itu, yang punya ribuan pegawai, yang punya anggaran dan jaringan yang besar, seolah-olah tidak ada gunanya lagi,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diadakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada Maret 2021 silam menjadi polemik di publik karena dianggap melemahkan KPK.Penyidik senior KPK, Novel Baswedan menilai proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak memiliki standar yang jelas dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga tidak relevan. Pegiat Antikorupsi dan mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah dalam akun Twitternya pada Minggu (30/5/2021) mengatakan sudah ada 693 pegawai KPK yang menyatakan solidaritasnya untuk nasib 75 pegawai KPK tersebut.”Sampai Minggu pagi ini, Pk.09.05 WIB, brtambah terus jd 693 Pegawai KPK nyatakan solidaritasnya utk #75PegawaiKPK. Mereka menolak penyingkiran Pegawai KPK berintegritas & tdk terjebak dg narasi adu domba. Kita paham, ini bukan ttg lulus/tidak, tp tes yg bermasalah,” kata Febri Diansyah.

Profiling
Sinyalemen Fahri Hamzah: ”Ada yang merasa kalau tak ada sekian orang itu, KPK menjadi tidak ada gunanya lagi” ini sangat mengena. Karena terkesan KPK sebagai lembaga bisa dipengaruhi semau-maunya oleh karyawan tertentu. Lihat saja pendapat ini: Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata mengalami hal yang meresahkan menjelang tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai bagian dari rangkaian alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka di-profiling oleh orang-orang tertentu yang diduga kuat intelijen.Hal ini diungkapkan penyidik senior KPK, Novel Baswedan dalam sebuah video wawancara dengan wartawan senior, Karni Ilyas yang diunggah di chanel Youtube, Karni Ilyas Club.”Saat menjelang tes itu, beberapa pegawai KPK, diprofiling oleh orang tertentu, orang ini orang intelijen, kami tidak tahu dari mana,” kata Novel.Kegiatan profiling ini cukup meresahkan. Sebab, beberapa orang datang ke keluarga dan melakukan upaya pengamatan yang mendalam. Hal itu kemudian menimbulkan kecurigaan, apakah orang-orang ini berasal dari organ negara atau penjahat.
“Karena selama ini kami juga sering mengalami, ketika bekerja kemudian ada pihak yang berkolaborasi atau orang yang terlibat dengan para koruptor, itu kemudian melakukan upaya perlawanan pada kami dengan cara melakukan pengamatan atau pengintaian. Sehingga kami curiga, ini siapa?. Kesannya jadi seperti teror,” tutur Novel.Ia pun kemudian menanyakan kepada Ketua KPK Firli Bahuri mengenai maksud dari profiling ini. Sebab, profiling terhadap pegawai KPK oleh orang-orang intelijen bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak baik, dan berbahaya.
“Saya katakan demikian, sedangkan Pak Firli berkali-kali mengatakan, ini sekadar untuk dilakukan asesmen saja,” katanya.Selain profiling, asesmen terhadap pegawai KPK juga dilakukan melalui tes wawasan kebangsaan. Menurut Novel, dari informasi yang didapat, kewajiban tes ini diselundupkan Firli Bahuri dalam Peraturan Komisi di penghujung waktu sebelum disahkan.
“Saya pun bertanya melalui WhatsApp ke Pak Firli Bahuri, ini kepentingannya apa? apakah ada suatu kepentingan untuk tertentu. Dijawab waktu itu oleh Pak Firli, kurang lebihnya dikatakan, ini hanya untuk memastikan pegawai KPK tidak ada yang terlibat organisasi terlarang, dipastikan cinta Pancasila dan UUD 45 dan tentang moralitas atau integritas. Saya katakan, kalau hal itu tidak ada masalah, cuma kalau memang ada tuduhan atau ada indikasi atau apapun yang mengatakan keterlibatan dengan organisasi terlarang, kapan pun bisa diperiksa, tidak perlu kemudian harus dilakukan pada saat mau peralihan,” kata Novel.

Berulang kali Novel Baswedan
Berbagai penolakan dan perlawanan dari internal KPK selalu dimotori oleh peyidik senior Novel Baswedan. Boleh jadi segelintir orang yang disitir Fachri Hamzah tadi, salah satunya juga mengarah kepada Novel Baswedan. Lihat saja keberanian dan kelancangannya kalau bisa dibilang begitu. Dia bertanya bahkan mempertanyakan kebijakan kepada pimpinan dengan cara seperti itu kepada Firli. Ini menunjukkan suatu sikap arogan dan tidak etis. KPK adalah tempat berlindung yang bersangkutan, tapi kenapa juga Novel selalu menista apa yang terjadi di ”rumah”nya sendiri, bukanlah ini sebuah perbuatan yang tidak pantas?
Soal hasil akhir Test Wawasan Kebangsaan (TWK) misalnya, Novel tidak lolos. Harusnya dia malu mengapa sebagai penyidik yang katanya berintegritas tinggi tidak bisa lolos? Ada apa dengan Novel Baswedan ? Bukan introspeksi diri malah menyalahkan berbagai pertanyaan yang dinilainya tidak wajar.
Sebagai pimpinan, Firli Bahuri yang juga mantan Deputi Penindakan di KPK, tentu tidak bisa dan tidak boleh mengikuti atau melayani permintaan salah satu karyawan. Karena beliau bekerja atas dasar penugasan dan dilantik oleh presiden dan melalui prosedur fit dan proper test di DPR. Maka kewajibannya adalah mempertanggungjawabkan semua tindakan dan kebijakannya kepada presiden. Begitu pun presiden sangat mempercayai pimpinan KPK sehingga tidak mungkin melakukan intervensi. Kebijakan apa yang ditempuh oleh pimpinan KPK tentu sudah berdasarkan prosedur dan aturan perundang-undangan.


Bela Institusi Bukan Perorangan
Senada dengan pendapat Fachri Hamzah, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengingatkan membela institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus di kedepankan dibanding perorangan. Upaya tersebut saat ini tengah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman.Dia mengungkapkan, Komnas HAM tengah melakukan pendalaman terhadap dokumen terkait dugaan pelanggaran HAM dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sementara itu, Ombudsman tengah melakukan pengecekan administrasi dalam penyelenggaraan tes tersebut. “Ini menarik, karena konteksnya bukan membela orang perorang, tapi membela konstitusi. Kalau membela orang perorang itu subjektif, seakan 75 orang itu super hero, seakan akan tanpa 75 orang itu KPK akan mati itu terlalu berlebihan,” katanya dikutip dalam wawancara dengan salah satu media elektronik.
Abdul Mu’ti mengungkapkan, KPK sampai saat ini menjadi satu-satunya lembaga yang masih dipercaya masyarakat untuk melakukan pemberantasan korupsi. Untuk itu harus lebih diupayakan agar lembaga antirasuah ini dapat lebih berdaya. Dia juga menyoroti bocornya rahasia negara dalam TWK ini. Seharusnya pertanyaan atau pun soal yang ada dalam pelaksanaan tes tersebut tidak bisa keluar ke publik.“Tes ASN ini seharusnya tidak diketahui publik, soal KPK ini kita pada tahu. Ini mejadi tanda tanya tersendiri. soal ujian nasional saja rahasia negara, jadi dari sini ada persoalan bagaimana rahasia negara bisa bocor, kemudian jadi polemik di ruang publik,” jelasnya.
Kemudian, Abdul Mu’ti juga heran mengapa KPK tidak mempertimbangkan masa bakti pegawai dalam pengangkatan menjadi ASN. Pasalnya ada dari 75 pegawai tak lolos dalam TWK, sudah mengabdi sejak awal KPK berdiri.“Kalau tes ASN, misalkan sudah menjadi honorer atau wiyata bakti bisa mendapatkan keistimewaan, walaupun tidak dijamin, dari hasil tes penting. Ada aspek lain ada rekam jejak di satu lembaga, itu tidak menjadi pertimbangan sama sekali. Itu menjadi faktor lain sebagian masyarakat keberatan memang tidak dinyatakan lolos oleh permasalahan itu,” tutupnya

Patuhi Aturan
Direktur Eksekutif Emrus Corner, Emrus Sihombing menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera melantik 1.271 pegawai yang telah memenuhi syarat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi Aparatur Sipil Negara ( ASN ).Menurut Emrus, pegawai yang lolos itu diminta mematuhi aturan pimpinan KPK untuk dilantik menjadi ASN. “Pegawai KPK yang sudah memenuhi syarat (MS) atau lolos TWK, harus menunjukkan sikap dan perilaku taat pimpinan. Jika pimpinan KPK sudah menetapkan pelantikan pegawai KPK menjadi ASN, besok, Selasa, 1 Juni 2021, harus ditaati,” ucap Emrus Sihombing.
Emrus mengomentari 588 pegawai KPK lolos TWK ASN yang meminta pimpinan KPK agar pelantikan ditunda sebagai bentuk solidaritas terhadap pegawai yang tidak lolos. Emrus menyebut permintaan itu tidak etis karena KPK bukan lembaga politik.”Tidak boleh meminta ditunda hanya karena alasan solidaritas kepada yang tidak memenuhi syarat (TMS) atau tidak lolos TWK. Sebab, KPK bukan lembaga politik yang sifatnya bertukar kepentingan. Karena itu, pegawai KPK wajib taat pada keputusan pimpinan yang sudah dibuat secara kolektif kolegial oleh lima komisioner,” tegasnya.
Emrus menyatakan, bila ada pegawai KPK yang memilih untuk tidak mengikuti pelantikan ASN dari yang sudah ditetapkan pimpinan KPK maka mereka tidak perlu dilantik menjadi ASN.Emrus menyebut sikap mereka yang ingin menunda pelantikan menjadi ASN sebagai bentuk pembangkangan kepada pimpinan.”Jika ada pegawai yang sudah MS tidak mengikuti pelantikan karena lebih memilih solider kepada teman yang TMS, itu artinya mereka tidak akan jadi ASN. Pegawai hanya patuh pada arahan, petunjuk, perintah pimpinan dan taat UU serta aturan. Jika tidak, jauh lebih baik mengundurkan diri saja dari KPK,” terang dia.
“Bagi mereka yang tidak mau dilantik karena alasan di atas, itu menunjukkan sikap pembangkangan kepada pimpinan dan sekaligus mereka bukan ASN, sehingga tidak dapat melaksanakan tugas di KPK. Sebab, sesuai UU, pegawai KPK harus ASN agar pekerjaan legitimate,” sambung dia.Karena itu menurut Emrus, lebih pas berada di luar KPK membentuk organisasi mantan pegawai KPK. “Walaupun demikian, saya masih menduga bahwa akan lebih banyak atau bahkan semua pegawai MS mengikuti pelantikan,” ucap Emrus.
Emrus menerangkan, pimpinan KPK yang kolektif kolegial itu wajib melaksanakan perintah Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU 30 tahun 2002 tentang KPK.Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara, serta Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.Aturan itu, menjadi dasar bahwa pimpinan KPK harus segera melantik pegawai yang memenuhi syarat TWK menjadi ASN.v”Pimpinan KPK harus melaksanakan mandat semua UU dan aturan terkait. Karena itu, siapapun pimpinan KPK pasti melakukan alih pegawai KPK menjadi ASN dan melantik mereka yang MS, tentu bagi yang bersedia hadir,” tutupnya.

Akhiri Polemik
Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia Democratic Policy, Satyo Purwanto, meminta polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) segera diakhiri. Jika tidak, tentu membuat kinerja KPK terganggu.”Memang ini akhirnya jadi liar. Jadi perang opini. Dikhawatirkan KPK secara institusi malah terganggu akibat konflik yang akhirnya jadi persoalan internal,” kata Satyo Purwanto.Satyo mengatakan, KPK saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Seperti penanganan perkara pengadaan bantuan sosial untuk pandemi virus Corona (Covid-19) yang merugikan negara triliunan rupiah.
“Jadi KPK bisa menyelesaikan tugas utamanya menyelesaikan pemberantasan korupsi. Ini KPK sudah lumayan terganggu. Korupsi bansos kita tahu sampai hari ini tidak ada tersangka baru,” ungkapnya.Daripada menimbulkan perang opini, Satyo menilai, pegawai yang tidak lulus TWK bisa berkarya di tempat lain. Tentunya dengan membawa semangat memberantas rasuah di tanah air.”Kalau mereka (para pegawai KPK yang tidak lulus TWK) itu, kan non-ASN, mereka bisa bekerja di institusi lain, di lembaga lain. Artinya dengan kapasitas mereka, mereka punya kewajiban moral meningkatkan semangat pemberantasan korupsi di tempat lain,” ucap Satyo.Pendapat yang sangat bijaksana. Siapa pun yang memiliki semangat, integritas baik dapat berkarya di manapun untuk mencegah atau memberantas korupsi, tak harus selalu di KPK. (Saf).

Artikel sebelumyaPolri Ketatkan PPKM Mikro,Bendung Penyebaran Klaster Baru COVID-19
Artikel berikutnyaSebaran Covid Pasca Lebaran dan Operasi Penyekatan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here