Seperti yang diserukan banyak ahli, haruslah ditegaskan bahwa persoalan pinjol ilegal bukanlah soal fintech, melainkan persoalan dalam praktik kriminal atau penipuan berkedok teknologi informasi. Layanan pinjaman online ilegal di Indonesia tampaknya telah digunakan untuk mencuri dan menyedot data pribadi dari ponsel nasabah. Belajar dari pengalaman negara-negara maju seperti Australia, sudah saatnya ada restriksi dan aturan menyangkut pemanfaatan teknologi informasi khususnya menyangkut perbankan yang ketat di Indonesia.Pemberantasannya tampak harus dilakukan lintas sektoral tidak saja menyangkut peran lembaga keuangan tapi juga lembaga penegakan hukum dan komunikasi/informasi. Lebih jauh lagi, suatu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatasi berbagai kasus kebocoran data yang merugikan masyarakat harus segera disahkan di Indonesia seperti di negara-negara lain maju seperti halnya Australia.
Jakarta, 22 Juni 2021. Di Indonesia, seperti gejala finansial global lainnyatelah hadir apa yang disebut sebagai jasa pinjaman online (pinjol). Dikenal pula sebagai penyedia fintech lending, layanan tersebutberkembang menjadi kebutuhan penting masyarakat di era modern dengan pemanfaatan teknologi informasi serta menyasar kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.Kehadiran pinjaman online (pinjol) merupakan angin segar yang dapat dimanfaatkan setinggi-tingginya oleh masyarakat guna memenuhi kebutuhan mereka yang makin berubah sesuai perkembangan gaya hidup masyarakat modern.Pinjol bukan lagi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar semacam sembako tapi juga merefleksikan pada nilai konsumerisme dan gaya hidup. Dengan mudah dan cepat seseorang kini dapat mengajukan pinjaman secara cepat hingga jumlah puluhan juta hanya dengan menyertakan syarat-syarat detail mereka.
Tidaklah mengherankan bila dewasa ini kita menemui seseorang memiliki hutang pada sejumlah jasa pinjaman online sekaligus. Dan menurut penelitian, tidak mengherankan banyak dari mereka datang dari kelompok milenial dan generasi yang lebih muda.Kehadiran pinjol yang pesat di Indonesia sebenarnya tidak lepas dari berkembangnya trend penggunaan jasa keuangan online yang semakin luas di dunia. Namun menurut Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L. Tobing kebiasaan gali lubang tutup lubang, khususnya bagiorang Indonesia menjadi salah satu penyebab mereka terjebak di pinjaman online.Wadirtipideksus Kombes Whisnu Hermawan Februanto menyatakan bahwa berdasarkan data OJK (Otoritas Jasa Keuangan), kini kurang lebih ada 1.700 perusahaan aplikasi pinjaman yang terdaftar dan diakui OJK.Selebihnya adalah pinjol yang masuk kategori abal-abal dan ilegal.
Pinjol dan Penipuan
Munculnya pinjol yang abal-abal (ilegal) inilah yang kemudian menjadi persoalan yang meresahkan masyarakat. Disebut ilegal karena perusahaan yang dimaksud tidak terdaftar, memiliki alamat fiktif dan tidak membayar pajak ke negera. Modus mereka dalam menjerat nasabah baru mengarah pada sifat penipuan. Hebatnya, mereka dapat bergerak leluasa secara online cukup lama sebelum mereka dikenali oleh aparat kepolisian.Bila satu diblokir, akan muncul dan lahir yang lain lagi. Inilah salah satu yang menjadi kompleksitas masalah ini.Menurut ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia (Core) Piter Abdullah, keberadaan pinjaman online (pinjol) ilegal saat ini sudah pada tahap meresahkan. Bahkan eksistensinya bisa mengganggu perkembangan perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer lending yang sebetulnya sangat dibutuhkan di dalam menggerakkan perekonomian.
“Perlu dipisahkan secara tegas antara pinjol ilegal dengan fintech, antara pinjol ilegal yang meresahkan dengan fintech pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian. Jangan sampai nanti fintech malah terbebani dengan stigma pinjol ilegal,” demikian penjelasannya dalam webinar“Mencari Solusi Penanganan Pinjaman Online Ilegal” yang digelar Majalah Investor pada 21/6/2021.
Modus Operandi
Pihak kepolisian kini semakin mengetahui modus-modus pinjol ilegal yang bertebaran di mana-mana. Modus pertama, seseorang awalnya sering mendapattawaran pinjaman dengan ‘deal’ yang menggiurkan. Misalnya dengan meminjam 10 juta, bisa langsung mendapat cash back sebesar 1 juta. Atau pinjaman diberikan tanpa bunga dalam periode 3 bulan. Namun dalam kenyataannya akan tidak sesuai dengan iklan dan janji tersebut dan bahkan mencekik leher si nasabah.Modus lain yang sering terjadi adalah masuknya uangtransfer langsung dari pihak pinjol ke rekening korbannya, padahal mereka merasa tidak melakukan registrasi pinjol apapun. Mereka bisamenjadi korbal pinjolilegal jugaakibatpihak lain, misalnya pacar atau pasangannya menggunakan identitas orang lain untuk meminjam via pinjol sehingga mereka lah menjadi pihak yang tertagih.Pihak pinjol ilegal yang menarik, bisa menggunakan jasa transfer dana yang berizin Bank Indonesia (BI) kepada nasabahnya dan nama mereka baru diketahui saat penagihan kepada nasabah dilakukan sesudah dana ditransfer.
Pencairan dana tiba-tiba tanpa seizin pemohon dapat disebabkan karena yang bersangkutan pernah mengakses situs web aplikasi pinjaman online ilegal, melakukan input data serta memberikan akses ke seluruh kontak dan galeri. Penipun masih akan berlangsung meski mereka sebenarnya telah membatalkan aplikasi itu.Kemungkinan kedua, yang bersangkutan merupakan korban penyalahgunaaan data oleh oknum pelaku penyebar/jual beli data dan sebenarnya tidak pernah mengakses app mereka. Ini jelas berkaitan dengan masalah kebocoran data di Indonesia yang disinyalir telah pada tahap yang memprihatinkan.
Kasus-kasus di atas telah banyak dan sering dilaporkan di sosial media seperti di Twitter. Facebook dan lain-lain. Seorang yang menjadi korban menceritakan dia tiba-tiba mendapatkan transfer uang yang ternyata dikirim oleh sebuah pinjol sesudah mencek namanya di google. Sedangkan detail rekening pribadinya itu mungkin didapat oleh mereka ketika ia menuliskan akun banknya di sebuah kegiatan donasi. Pihak pinjol ilegal akan menggunakan informasi nomor rekening yang diikuti dengan akses seluruh kontak dan galeri untuk memudahkan penagihan kepada nasabah meski upayanya dilakukan dengan cara teror dan intimidasi yang meresahkan.
Kewenangan OJK
Aksi pinjol yang ilegal bukanlah ranah kewenangan OJK karena mereka tidak terdaftar dan mendapatkan ijin. Namun jika pelanggaran dilakukan oleh fintech peer to peer lending yang terdaftar dan berizin, OJK mampu melakukan penindakan terhadap fintech tersebut guna melindungi konsumennya.Kasus-kasus pinjol ilegal hanya bisa diselesaikan dengan bantuan kepolisian.Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L Tobing mengharapkankepada nasabah yang menjadi korban pinjol abal-abal itu untuk menyimpan dana kasus-kasus mereka. Saat penagihan, ia meminta nasabah agar menyampaikan kepada mereka bahwa ia tidak merasa meminjam dan siap mengembalikan dana sesuai nilai nominal yang ditransfer.
Bila mereka tetap mendapatkan penagihan tak beretika lewat teror, intimidasi, pelecehan, mereka dibolehkan memblokir semua nomor kontak yang mengirim teror. Setiap korban diharapkan agar menginformasikan ke seluruh kontak di HP nya. Jika mereka mendapat pesan tentang pinjol harap diabaikan saja dan langsung laporkan ke polisi dengan melampirkan LP ke kontak penagih yang masih muncul.Jelas di sini bahwa segala ancaman atau intimidasi akibat Pinjol ilegal adalah urusan pihak kepolisian. Mereka bisa langsung mendatangi kantor polisi melaporkannya dengan membawa kartu identitas bukti teror.
Walaupun Satgas Waspada Investasi (SWI) sudah banyak menutup kegiatan pijol ilegal tersebut, tetap saja banyak aplikasi baru yang muncul pada website dan Google Playstore atau link unduh aplikasi yang telah diblokir.Mmereka masih seringkali dapat diakses melalui media lain sehingga merugikan nasabahnya.Masalah ini haruslah mendapat perhatian dari pihak kepolisian dan Kementerian Kominfo di samping upaya-upaya sosialisasi dan kampanye yang selama ini dilakukan.
Upaya Polri
Selama ini, pihak Bareskrim Polri tidak kurang-kurangnya menyampaikan kepada masyarakat untuk selalu mewaspadai bahaya pinjol ilegal sebagai bentuk kampanye sosialisasi bahaya penggunaannya.OJK menyerukan kepada masyarakat hanya menggunakan pijol yang legal. legalitas dan izinn mereka dapat dicek pada OJK.Apabila ingin meminjam secara online, masyarakat dihimbau melihat daftar aplikasi fintech peer to peer lending yang telah terdaftar di OJK pada website www.ojk.go.id.Pihak Bareskrim Polri ,, OJK, pemerintah provinsi DKI Jakarta, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia dan Google Indonesia juga telah bekerjsama secara erat dengan Satgas Waspada Investasi untuk tindakan preventif dan edukatif lewat penggunaan media luar ruang digital, media sosial, serta sosialisasinya.
Baik OJK maupun Polri juga tampak berusaha mengingatkan kepada masyarakat agar berhati-hati dan berhenti meminjam di Pinjol ilegal. Rata-rata ciri mereka yang dapat dikenali adalah bahwa oknum tersebut tidak meminta persyaratan ketat agar pinjaman nasabah diluluskan. Bila kemudian mereka mendapat ancaman dari ‘rentenir online’ tersebut, mereka selalu dapat melaporkannya ke pihak kepolisian.Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto belum lama ini telah memberikan arahan pemberantasan pinjol ilegal kepada seluruh daerah di Indonesia agar edukasi lebih mudah dilakukan per wilayah.
Seiring makin meningkatnya kasus-kasus pijol ilegal, pihak Kabareskrim juga bertekad untuk aktif dan tidak akan menunggu laporan masyarakat untuk penindakannya. Bunga dan denda yang tinggi hingga penagihan yang disertakan ancaman mereka telah dianggap Polri membuat resah masyarakat selama ini.Karenanya, ini bukan lagi sebagai persoalan delik aduan karena sudah amat meresahkan masyarakat luas.
Saat ini pihak kepolisian makin terlihat turun tangan dan melakukan bersih-bersih secara menyeluruh. Bersama OJK,kepolisian dilaporkantelah berhasil membidik lebih dari 3000 aplikasi pinjol ilegal. Sebanyak 3.193 pinjaman online Ilegal telah diblokir oleh SWI. Koordinasi intens dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) diharapkan akan berguna membuka jaringan serta keterkaitan penyedia pinjol ilegal yang ada selama ini.
Sosialisasi dan Edukasi sudah cukup?
Upaya kepolisian baik dalam sosialisasi maupun tindakan penangkapan, banyak disambut gembira. Apalagi ada usaha untuk memblokir promosi pinjol dan iklan-iklan dengan konten-konten seperti pornografi yang merugikan masyarakat baik kerugian material maupun moral. Kebanyakan masyarakat ingin agar pelakunya dapat dihukum seberat-beratnya karena mereka adalah penjahatdengan modus dan teror yang terbukti telaj mensengsarakan para nasabahnya.Namun juga tidak sedikit pihak-pihak di masyarakat yang menyesalkan lambannya penanganan polisi selama ini. Aparat keamanan malah oleh sebagian masyarakatdianggap sengaja melakukan pembiaran sehingga kasusnyamakin sering terjadi dan korban makin berjatuhan. Saking kesalnya, seorang netizen di sosial media berni menuduh kalau ‘permit’ pinjol ilegal jangan-jangan didapat atas restu polisi.
Tampaknya ekspresi masyarakat yang bermacam-macam ini secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa masalah pinjol ilegal mengandung persoalan yang lebih kompleks. Masyarakat tentu perlu diedukasi dan mendapatkan layanan sosialisasi dan kampanye pencegahan yang lebih luas. Namun persoalannya adalah lebih besar dari itu.Layanan pinjaman online juga dikenal luas di negara-negara lain seperti di Australia. Namun dibanding Indonesia, proteksi dan perlindungan nasabah perbankan yang menggunakan teknologi informasi seperti fintech ini sangatlah maju dan diperhatikan di Austraia. Dengan kata lain, perangkat hukum dan Undang-Undang Austraia tidak memungkinkan muncul dan merajalelanya scammer dengan menggunakan aplikasi-aplikasi, atau layanan pinjol yang tidak terdaftar dan bermasalah seperti di Indonesia dan mungkin di beberapa negara lain seperti India.
Penipuan Berkedok Teknologi Informasi
Seperti yang sudah diserukan oleh banyak ahli menyikapi masalah ini, haruslah ditegaskan di sini bahwa persoalan pinjol ilegal bukanlah soal fintech, melainkan persoalan dalam praktik kriminal atau penipuan berkedok teknologi informasi. Layanan pinjaman online ilegal di Indonesia tampaknya telah digunakan untuk mencuri dan menyedot data pribadi dari ponsel nasabah. Mereka bisa mengakses data nomor kontak pada ponsel nasabah yang meminjam.Padahal, pada pinjaman online yang resmi mereka hanya diperbolehkan mengakses tiga jenis data dari nasabah, yaitu kamera, lokasi, dan suara.
Dari kasus-kasus yang ada, kita belajar bahwa persoalan seringkali bermula upaya dari penggunaan aplikasi. Beberapa korban telah menyatakan tidak pernah menggunakan jasa pinjol tapi tapi pernah menggunakan fitur paylater. Banyak ahli IT di Indonesia lantas mengingatkan kepada kita untuk jangan sembarangan mendownload app pinjol itu. Namun belajar dari pengalaman negara-negara maju seperti Australia, sudah saatnya ada restriksi dan aturan menyangkut pemanfaatan teknologi informasi khususnya menyangkut perbankan yang ketat di Indonesia.
Di Australia masalah Fintech (pinjol) ilegal hampir tidak dapat ditemui, meskipun kasus-kasus ‘predatory lending’ atau pinjaman untuk mencekik nasabahnya masih sering terjadi, dengan ciri bunga yang tinggi dan taktik-taktik penagihan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.Di Indonesia masih amat mudah sekali seseorang atau pihak-pihak tertentu membuat aplikasi atau website pinjaman online untuk meyakinkan masyarakat, padahal sebetulnya itu ilegal.Menurut Piter Abdullah, pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia masih sangat longgar, termasuk pengawasan terhadap website dan aplikasi yang dikembangkan masyarakat.
Itu sebabnya banyak kasus kebocoran data pribadi, sehingga turut mendukung praktik pinjol ilegal. Masyarakat menurutnya juga mudah mendapatkan SMS penawaran pinjol ilegal yang amat berbahaya, salah satunya mereka mendapatkan data termasuk nomor karena ada kebocoran data pribadi.
Pelaksana Tugas Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Teguh Arifiadi menjelaskan, pihaknya terus bekerja sama dengan Satgas Waspada Investasi untuk melakukan patroli siber mencari dan menutup entitas pinjaman online ilegal. Hasilnya, sejak Januari hingga 18 Juni 2021, pihaknya sudah menutup 447 entitas terkait dengan pinjaman online ilegal, baik dalam bentuk laman, aplikasi, Facebook & Instagram, maupun filesharing. Walaupun tampak impresif, persoalan pemanfaaan teknologi dan kebocoran data harus menjadi perhatian utama untuk menyelesaikan masalah ini.
Masalah Global Bersama
Dengan berkolaborasi dengan GBG, The Asian Banker telah mensurvei lebih dari 300 institusi finansial di 6 negara wilayah Asia Pasifik, seperti Australia, China, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia guna menganalisis dampak penipuan pada institusi finansial dan teknologi. Dalam laporan berjudul “Future-proofing Fraud Prevention in Digital Channels: an Indonesian FI Study”, diketahui bahwa tingkat fraud atau kejahatan penipuan di Indonesia tidak menunjukkan adanya penurunan. Bahkan, tipe kejahatan dengan model money mule diprediksi akan meningkat drastis di tahun 2020-21 yang berdampak pada konsumen sektor perbankan dan finansial. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa layanan pinjaman online (pinjol) kini sudah menjadi prioritas teratas bagi 43% institusi finansial di Indonesia dalam periode 2020-21.
Tampak jelaslah tantangan pinjol ini akan tetap ada bahkan akan lebih kompleks dan besar di masa depan. Sudah waktunay dicarikan solusi agar praktek penipuan dengan kedok teknologi informasi ini paling tidak diminimalisir dari sudut penggunaan teknologi informasi ini.Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartonomenyatakan bahwa penangkapan yang dilakukan Polri selama ini bertujuan memberi pesan kepada pelaku pinjol ilegal untuk jangan main-main. Namun usaha-usaha ini apakah sudah cukup?
Pemberantasannya tampak harus dilakukan lintas sektoral tidak saja menyangkut peran lembaga keuangan tapi juga lembaga penegakan hukum dan komunikasi/informasi. Hampir langkanya masalah ini dihadapi Australia jelas merupakan buah dari upaya secara holistik yang terus-menerus dilakukanoleh otoritas Jasa Keuangan Australia ASIC(The Australian Securities and Investments Commission) yang kuat dan tegas dan bekerjasama dengan semua pihak.
Lebih jauh lagi, suatu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatasi berbagai kasus kebocoran data yang merugikan masyarakat harus segera disahkan di Indonesia seperti di negara-negara lain maju seperti halnya Australia. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi telah menjelaskan bahwa pihaknya terbuka untuk membahas UU tentang teknologi finansial tersebut. Tentunya bila UU ini dapat terwujud, proses penanganan masalah pinjol yang melibatkan Polri akan lebih banyak terbantu di masa-masa mendatang, (Isk – dari berbagai sumber)