Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Razman Arif Nasution, tidak perlu menunggu waktu lama menentukan sikap. Lalu sikap diambilnya, ia memutuskan mundur dari jabatan Ketua Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat (PD) versi Kongres Luar Biasa (KLB), Deli Serdang, Sumatera Utara.
Belum sempat genap menghitung jumlah jari sebelah kanan, sikap itu sudah diambilnya. Itu setelah Partai Demokrat versi KLB yang dipimpin Pak Moeldoko, keberadaannya ditolak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Saya sudah berpikir sekitar empat hari memutuskan pilihan, katanya. Dan lalu ia memilih untuk hengkang dari Partai Demokrat versi KLB. Alasan yang dikemukakan memilih hengkang, tidaklah penting untuk diulas, karena lebih bersifat subyektif.
Razman memang praktisi hukum (lawyer) yang cukup mengkilap. Ia pastilah tidak ingin berlama-lama dalam satu organisasi politik yang tidak menentu, semacam Partai Demokrat versi KLB. Ia tidak ingin “tua” di sana dalam ketidakpastian. Lagian jika ia tetap memilih di sana, sedikit banyak akan mengganggu firma hukumnya.
Di Partai Demokrat Razman adalah pendatang baru, hadir saat KLB dan lalu didapuk dengan jabatan prestisius. Tentu beda dengan Darmizal, Max Sopacua, Marzuki Alie, Jhoni Allen Marbun dan lainnya, yang sepertinya hidup mati ingin eksis di partai itu.
Maka itu, Razman menyikapi Partai Demokrat semacam orang makan pecel pincuk, setelah makan, pincuk dari daun pisang, itu lalu dibuangnya. Tidak ada ikatan psikologis sedikit pun dengan partai itu. Ia hadir di situ karena ada nama besar Pak Moeldoko, yang duduk sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Baca: Terhentilah Langkah Pak Moel, AHY Pemenang, Usai Sudah Kemelut Partai Demokrat
Pikirnya, langkah merebut Partai Demokrat itu pastilah akan mulus-mulus saja, tidak mungkin ada pihak yang bisa menghalangi. Setelah putusan itu, Razman serasa tidak percaya jika Kemenkumham justru menolak keabsahan Partai Demokrat kubu Moeldoko. Razman syok, lalu selama empat hari ia berpikir keras menentukan sikap, akan terus di partai itu, atau hengkang saja.
Tentu tidak ada yang bisa menahan pikiran pragmatis rasionalnya itu. Razman memang acap pindah-pindah partai. Kutuh loncat sejati. Bisa dibilang pengoleksi seragam partai. Koleksi yang dipunya setidaknya, seragam partai warna hijau (PKB), kuning (Partai HANURA), dan biru (Partai Demokrat). Razman bahkan pernah meninggalkan partai, yang karena partai itu tidak bisa memenuhi parliament threshold.
Tidak ada masalah dengan pilihannya itu. Semuanya sudah diperhitungkannya, dan pijakan pragmatis rasional itu, tampaknya akan selalu jadi pilihannya. Apakah ia bisa disebut penghianat partai? Tentu tidak sampai sebegitunya. Razman hanya memilih nilai lebih, dan jika itu mustahil didapat di satu tempat, maka ia akan hengkang. Tidak ada yang bisa menyalahkan sikapnya itu.
Bawahan Menggugat Atasan, Langkah Aneh
Dengan ditolaknya Partai Demokrat versi KLB, oleh Kemenkumham semestinya itu bisa jadi pintu masuk, khususnya bagi Pak Moel, mengakhiri kemelut di tubuh Partai Demokrat. Mestinya, tidaklah perlu “melawan” lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Pengadilan Negeri (PN). Karena jika itu dilakukan, maka yang digugat adalah pemerintah sendiri. Dalam hal ini Kemenkumham, dan itu sama dengan menggugat Presiden.
Apa pantas Pak Moeldoko yang menjabat Kepala KSP, artinya bawahan langsung Presiden, lalu menggugat keputusan atasannya sendiri. Itu musahil bisa ia lakukan, jika ia masih berpikir rasional. Tapi jika landasannya emosional, maka medan pertarungan perebutan Partai Demokrat itu belum akan berakhir. Masih akan panjang dan berseri-seri.
Tentu Pak Moel akan dihadapkan pilihan-pilihan sulit yang mesti diambil, yaitu mundur selaku Kepala KSP. Dan lalu total berhadap-hadapan dengan Kemenkumham. Apa sikap itu yang mau dipilihnya, berjalan bersama mereka yang punya sejarah masa lalu, dan karenanya tidak mustahil membawa misi lain untuk Partai Demokrat.
Pak Moel, dan juga bung Razman, itu pendatang baru di Partai Demokrat, yang masuk dari pintu belakang, pintu yang salah. Dan karenanya, melekat sebutan menyakitkan, begal politik. Dan “pasukannya” disebut gerombolan liar, karena mengadakan KLB dengan cara-cara tidak demokratis dan menabrak aturan yang ada.
Baca: Yasonna Laoly Siang Ini Putuskan Dualisme di Partai Demokrat: Putusan Berdasar Hukum Atau Politik?
Lalu kenapa Pak Moel mesti harus menempuh jalan berliku medan pengadilan. Maaf, bukankah itu justru akan membuat malu dan malu berketerusan, yang mestinya bisa disudahinya. Jabatan selaku Kepala KSP itu jabatan strategis yang bisa dimainkannya, sambil mencari celah dimana segala kemungkinan bisa saja terjadi pada waktunya.
Pilihan Razman menyudahi keberadaan dirinya di Partai Demokrat versi KLB, lebih taktis dan penuh perhitungan. Tidak perduli dengan “suitan” nyinyir mantan koleganya di partai itu, ia tegar dengan pilihannya.
Sedang Pak Moel sementara ini memang tidak memilih sikap sebagaimana Razman, tapi entah beberapa hari kedepan. Semuanya bisa saja terjadi dengan berbagai kemungkinannya. Sekadar mengingatkan, apakah Pak Moel sudah bicarakan langkah yang akan diambil dengan istri dan keluarga, itu agar nantinya tidak keluar kata “khilaf” lagi, sebagaimana saat pengambilalihan Partai Demokrat lewat KLB lalu itu. Khilaf kok keterusan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil