Sejak 2017 Polri resmi membentuk Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber di bawah Bareskrim. Sejauh mana kinerja dan kontribusi terhadap layanan bidang reserse ini kepada masyarakat ?
Jakarta – (25/05/2021). Awalnya adalah UU ITE. Sejak dibentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, hingga kini kerap memantik selisih hukum mengutip dari situs resmi Kominfo, pembahasan pembentukan regulasi yang sering disebut pasal karet ini sudah sejak enam belas tahun silam, pada 2005 hingga 2007.Memasuki era digital, Indonesia justrumengalamikekosonganhukum. Khususnyaterkaitsiber dan ranah dunia maya. Gagasanpembentukanundang-undangini pun sudahsejakawal masa kabinet Gus Dur – Megawati.
KomposisiperundanganinimerupakanpaduanduaRancanganUndang-undang (RUU). Yaitu RUU TindakPidanaTeknologiInformasi. Beberapakampusturutmenyusunkonsephukumsiberini. Ada Universitas Padjajaran atas arahan Departemen Komunikasi dan Informasi juga menggandeng Institut Teknologi Bandung. Yang kedua RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dari Universitas Indonesia atas arahan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan.KeduanyadikombinasikantimutusanPresiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim tersebutdikepalai oleh Prof Ahmad M Ramli SH. Kemudianregulasiiniberhasildiundangkan pada 21 April 2008. Selang delapan tahun mengalami perubahan. Era-nya Menteri Kominfo Rudiantara. Diperbarui dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Disahkan pada 27 Oktober 2016, revisiannya pun diteken Jokowi pada 25 November 2016 dan diundangkan di hari yang sama.
Meski sudah diperbaharui beberapa pasal karetnya masih eksis dituding bisa jadi alat kriminalisasi. Tanggapan Kominfo tetap optimis. Pasal yang masih dianggap karet sudah ada penegasannya. Agar tak multitafsir, penegasan pun dilampirkan penjelasan yang runut.Tujuh ketentuan dari 54 pasal direvisi. Di antaranya penegasan perihal delik pencemaran nama baik. Awalnya masuk delik umum, setelah direvisi jadi delik aduan.Perubahan terhadap UU ITE bisa saja terjadi kembali, begitu sinyal terbuka pemerintah dan DPR melakukan revisi UU ITE seperti disampaikan Jokowi. Katanya demi implementasi regulasi ini menjunjung prinsip keadilan.Tergantung publik ataupun inisiasi pemerintah menyesuaikan dengan kebutuhan hukum. Tepatnya ada tiga poin yang mesti diperhatikan dalam UU ITE, kata Plt. Kepala Biro Humas Ferdinandus. Pertama substansi yang memadai, struktur hukum dan keadaan budaya hukum.

Respon Polri
Merespon kebutuhan masyarakat sekaligus mendukung penegakan hukum di bidang ITE ini, Republik Indonesia resmi membentuk Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Bareskrim Polri. Pengukuhan Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Bareskrim Polri tertuang dalam surat telegram bernomor ST/261/II/2017 yang ditanda-tangani oleh Wakapolri Komjen Syafruddin tertanggal 3 Februari 2017. Berarti hanya berselang beberapa bulan unit ini terbentuk setelah undang-undang ITE disahkan dan diberlakukan. Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) adalah satuan kerja yang berada di bawah Bareskrim Polri dan bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber. Secaraumum, Dittipidsibermenanganiduakelompokkejahatan, yaitucomputer crime dan computer-related crime.
Computer crime adalah kelompok kejahatan siber yang menggunakan komputer sebagai alat utama. Bentuk kejahatannya adalah peretasan sistem elektronik (hacking), intersepsi ilegal (illegal interception), pengubahan tampilan situs web (web defacement), gangguan sistem (system interference), manipulasi data (data manipulation).
Computer-related crime adalah kejahatan siber yang menggunakan komputer sebagai alat bantu, seperti pornografi dalam jaringan (online pornography), perjudian dalam jaringan (online gamble), pencemaran nama baik (online defamation), pemerasan dalam jaringan (online extortion), penipuan dalam jaringan (online fraud), ujaran kebencian (hate speech), pengancaman dalam jaringan (online threat), akses ilegal (illegal access), pencurian data (data theft). Guna mendukung pembuktian kejahatan siber, Dittipidsiber dilengkapi dengan beragam kemampuan dan fasilitas pendukung, salah satunya yaitu laboratorium digital forensik. Laboratorium Digital Forensik Dittipidsiber telah meraih ISO 17025:2018 sebagai laboratorium uji dan kalibrasi dalam bidang komputer forensik yang memenuhi standard mutu dalam hal manajerial dan teknis pemeriksaan barang bukti digital.
Oleh karena itu, Dittipidsiber juga melayani pemeriksaan barang bukti digital dari berbagai satuan kerja, baik dari tingkat Mabes hingga Polsek. Selain itu, Dittipidsiber juga menjalin kerja sama dengan berbagai instansi, baik dalam dan luar negeri, guna memudahkan koordinasi dalam pengungkapan kejahatan siber yang bersifat transnasional dan terorganisir.

Pengaduan Masyarakat
Bareskrim Polri memang harus berjuang dan bekerja keras untuk melayani masyarakat, mengingat kuantitas maupun kualitas kasus maupun pengaduan masyarakat juga semakin tinggi dan bervariasi. Sebelum dibentuk Dirtipid Siber misalnya, Kompolnas menerima sekitar 1.400 pengaduan masyarakat terkait kinerja kepolisian dalam satu tahun. Sebesar 90 persen pengaduan tersebut terkait pelayanan di reserse.Mantan Komisioner Kompolnas, M Nasser saat itu mengatakan, terdapat empat faktor yang menyebabkan kekuangan di bidang reserse. Pertama, kurangnya pengawasan atasan terhadap penyidik.”Ini belum di jalankan secara optimal,” kata Nasser.
Kedua, kemampuan penyidik yang tidak merata. Artinya kemampuan penyidik tidak sama.Ketiga, integritas penyidik yang masih rendah. Nasser menilai, banyak penyidik menganggap kegiatan penyidikan tanpa ada yang mengendali. “Memang independen tapi bukan berarti tidak bisa dikontrol,” kata Nasser.Keempat, lanjutnya, masih adanya intervensi kepada penyidik. Baik intervensi tersebut dari internal Polri maupun eksternal.Sebab itu, Nasser menegaskan, penyelesaian persoalan tersebut harus dilakukan secara bersama. Nasser melihat saat ini, belum semua di Polri berniat secara sungguh-sungguh memperbaiki kekurangan tersebut.

Sebuah tantangan
Kritik Kompolnas tersebut adalah sebuah tantangan bagi Polri khususnya Bareskrim. Namun, faktanya kritik tidak berarti menyurutkan minat dan kebutuhan masyarakat untuk berhubungan dengan Bareskrim Polri. Data ini bisa menjadi salah satu bukti. Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri menangani 4.656 kasus tindak pidana siber sepanjang periode Januari hingga November 2020.Berdasarkan data Dittipidsiber, lebih 4 ribuan kasus itu terbagi dalam 15 jenis kejahatan. Kasus terbanyak yang ditangani polisi adalah perkara pencemaran nama baik sebanyak 1.743 kasus.Kemudian diikuti kasus penipuan dengan 1.295 laporan; pornografi 390 kasus; akses ilegal dengan 292; ujaran kebencian atau SARA dengan 209 kasus; berita bohong/palsu/hoax dengan 189 kasus; manipulasi data dengan 160 kasus dan pengancaman 131 kasus.
Data juga menunjukkan, jenis kejahatan yang di bawah angka 100 tercatat antara lain perjudian dengan 81 kasus; pencurian data/identitas 46 kasus.Selain itu, peretasan sistem elektronik dengan 38 kasus; pemerasan 35 kasus; intersepsi ilegal 29 kasus; pengubahan tampilan situs 10 kasus dan gangguan sistem 8 kasus.Awal Desember 2020 lalu, Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji menyebut tingginya angka kejahatan siber sejalan dengan meningkatnya aktivitas masyarakat menggunakan teknologi informasi selama pandemi Covid-19.”Selama pandemi kita melihat masyarakat banyak menggunakan teknologi informasi untuk kegiatan-kegiatan sosial maupun masyarakat yang lain sehingga cukup meningkat, ketika transaksi face to face menurun” kata Himawan.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md juga mengaktifkan polisi siber. Langkah ini ditempuh menurutnya lantaran kini banyak bermunculan berita atau informasi menyesatkan yang sengaja dibuat dan disebarkan melalui media sosial.”Sekarang kan didukung oleh medsos yang begitu masif itu sehingga saya kemarin bicara tentang polisi siber, itu untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran siber,” kata Mahfud dalam sebuah webinar.

Aplikasi E-Manajemen Penyidikan
Guna mengantisipasi pelanggaran dan penegakan hukum sebagaimana disinggung Mahfud seperti di atas, Bareskrim tak berhenti berinovasi. Pada 2019 misalnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membuat terobosan baru melalui aplikasi E-Manajemen Penyidikan (E-MP) untuk memudahkan masyarakat dalam proses administrasi penyelidikan dan penyidikan.Peluncuran aplikasi E-Manajemen Penyidikan (E-MP) ini digelar di Hotel Patra, Bali, sejak 18 – 20 Desember 2019. Dalam peluncuran aplikasi E-MP ini, Discovery Workshop E-MP dimaksudkan untuk mengoptimalisasi bisnis proses penyelidikan dan penyidikan melalui E-MP yang mengusung tema “ E-MP Penyidikan Tindak Pidana di Era Digital”.
Tujuannya tak lain agar dapat meningkatkan penggunaan serta pembuatan administrasi dokumen penyidikan oleh penyidik dan penyidik pembantu melalui Aplikasi E-MP dengan menganalisa permasalahan yang didapat pada pelaksanaan workshop E-MP.Hal itu juga selaras dengan Visi Presiden RI dalam menciptakan SDM Unggul, Indonsia Maju, dimana menuntut Penyidik Reskrim di Era digital ini dapat bekerja cerdas, cepat dan transparan serta tidak boleh salah.
Lewat aplikasi E-MP ini, Bareskrim ingin bisa memberikan pelayanan yang baik melalui teknologi. Sebab, era digitalisasi 4.0 mau telah mengubah cara berfikir dan perilaku masyarakat.Dalam kesempatan ini, sebanyak 5 Polda mendapatkan penghargaan sebagai pengguna E-MP terbaik yaitu Polda Jatim, Polda Balim, Polda Sumut, Polda Kalsel dan Polda Metro Jaya.

SDM Ahli di Tubuh Polri
Guna mengatasi pelanggaran-pelanggaran siber, tentu tak bisa ditangani sambil lalu. Polisi harus lebih pintar dari penjahat atau pelanggar hukum. Itu teorinya. Maka Polri terus meningkatkan kualitas SDMnya dengan pendidikan yang mumpuni. Tahun 2021 ini misalnya, sebanyak 20 orang Perwira Polri telah menyelesaikan program pascasarjana double degree Magister Teknik Elektro Opsi Rekayasa Manajemen dan Kemanan Informasi. Program tersebut merupakan realisasi kerja sama antara Polri, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan The Korea International Cooperation Agency (KOICA). Kerja sama itu tertuang dalam nota kesepahaman yang ditandatangani pada tahun 2018 antara ketiga institusi tersebut.
Sebagaimana tertera dalam keterangan tertulis, wisudawan yang merupakan anggota Polri aktif tersebut telah mengikuti pendidikan selama empat semester yang dilaksanakan di ITB dan di Korean National Police University (KNPU) yang berlokasi di kota Asan, Chungcheongnamdo, Korea Selatan.Selama dua semester mengikuti perkuliahan di ITB, para perwira unggulan Polri tersebut belajar tentang kemanan komputer dan jaringan, forensik digital, kriptografi dan aplikasinya, kejahatan komputer, manajemen keamanan informasi dan penyusunan tesis.Sedangkan di KNPU mereka belajar lebih jauh tentang forensik digital, investigasi dan pengumpulan alat bukti digital berteknologi tinggi, kriminologi siber, hukum kejahatan siber, serta mengikuti kelas ekstrakurikuler seni beladiri Korea.
“Wisudawan telah menyelesaikan penulisan tesis yang terbagi dalam tiga kelompok topik, yaitu: topik manajemen keamanan informasi, teknologi deteksi dan keamanan informasi, dan forensik digital,” sebagaima keterangan rilis tersebut.Acara wisuda yang dilaksanakan secara daring tersebut difasilitasi oleh Divisi Hubungan Internasional Polri yang merupakan inisiator kerja sama Polri dan KOICA. Dalam tinjauan pelaksanaan program, Kepala Biro Misi Internasional, Brigjen Pol Krishna Murti menyampaikan bahwa implementasi teknologi komunikasi dan informasi dalam kehidupan sehari-hari telah mengubah pola perilaku masyarakat yang berakibat terjadi pergeseran bentuk ancaman keamanan.
Untuk itu, lanjut Krishna, sudah kewajiban Polri untuk membekali personelnya dengan kemampuan dan ketrampilan di bidang keamanan siber. Dengan bekal yang didapatkan dari program ini, dia menaruh harapan besar kepada 20 wisudawan untuk dapat menjadi modal bagi Polri dalam mendukung program prioritas Kapolri dalam mewujudkan transformasi organisasi, transformasi operasional, transformasi pelayanan publik dan transformasi pengawasan di era Police 4.0 ini. “Kepada semua wisudawan diharapkan memiliki konstruksi cara berfikir akademis, sehingga dalam mengambil keputusan akan didasari oleh analisa yang akurat dan teori yang telah teruji kebenarannya,” ujar Krishna.
Krishna mengapresiasi pencapaian akademik yang diraih, karena dari 10 orang wisudawan terbaik ITB untuk untuk periode ini, 3 wisudawan di antaranya adalah anggota Polri, yaitu Kompol Yudho Arif Wibowo, S.Si, M.T., M.Sc., AKP Grawas Sugiharto, S.Kom, M.Si., M.t., M.Sc., dan AKP Muhammad Yasin, S.I.K., M.A.P., M.T., M.Sc.

Survey Persepsi Masyarakat
Bagaimana Bareskrim di mata masyarakat ? Bagaimana pun peningkatan kinerja internal organisasi dan SDM perlu ditingkatkan. Namun pada saat yang sama, persepsi pun harus dibangun secara simultan. Sebagai lembaga publik, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim POLRI) memerlukan persepsi yang baik terhadap masyarakat. Tidak hanya berhubungan dengan nilai kinerja, tapi juga berhubungan dengan citra Bareskrim. Dalam marketing, citra begitu penting untuk dimiliki brand dan organisasi karena menyangkut kepercayaan konsumen. Dalam konteks Bareskrim adalah masyarakat. Survey persepsi masyarakat adalah salah satu cara menilai persepsi Bareskrim di mata publik, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh MarkPlus Inc.
MarkPlus, Inc. melalui riset independen yang dilakukan pada 19 November sampai dengan 3 Desember 2020 berupaya melihat kepuasan pengguna dan persepsi publik terhadap Bareskrim POLRI. Riset ini melibatkan 1.502 responden masyarakat umum yang diambil secara daring dari tiga lapisan generasi, yaitu Gen X (41-55 tahun), Gen Y (26-40 Tahun), Gen Z (18-25 Tahun).Dari data yang didapatkan, MarkPlus Inc. melihat bahwa publik menilai kinerja pelayanan Bareskrim pada angka 3,96. Artinya, Barekskrim dinilai positif dalam hal kinerja pelayanan. Pun dalam budaya pelaksanaan kerja, publik menilai pada angka 3,35 yang juga tergolong baik.“Secara keseluruhan, Bareskrim berhasil mendapatkan nilai rata-rata persepsi publik terhadap kinerjanya sebesar 3,75 dari 6 yang artinya dianggap baik. Namun, masih tidak setinggi kepuasan pengguna layanan Bareskrim yang mencapai 4, 85. Ada gap yang harus diperhatikan untuk meningkatkan persepsi publik dan memperbaiki kinerja Bareskrim di masa depan,” kata Taufik, Deputy Chairman MarkPlus, Inc.
Dalam persepsi kinerja, sumber daya manusia (SDM) bisa menjadi kunci Bareskrim untuk meningkatkan persepsi kinerja di mata publik. Hal ini harus dibarengi dengan komunikasi yang tepat bahwa kenyataannya budaya kerja di Bareskrim sudah cukup tinggi.“SDM Bareskrim harus do extra mile agar secara kualitatif pemberitaan di media dan sikap kerja SDM Bareskrim bisa mencerminkan kinerja yang baik dari waktu ke waktu. Jadi, perbaiki komunikasinya sehingga gap antara kinerja riil dan persepsi bisa diatasi,” tutur Jacky Mussry, CEO MarkPlus Institute.Tantangannya adalah publik masih menganggap persepsi adalah kenyataan. Apalagi dengan mudahnya publik tergiring persepsi yang ada di media sosial. Selain itu yang terutama adalah peningkatan komunikasi untuk membangun persepsi publik. Mengingat persepsi publik khususnya di era digital sangat berpengaruh terhadap citra suatu instansi. (Saf)

Artikel sebelumyaEmpat Layanan Digital Korlantas Permudah Layanan Bagi Pengguna Kendaraan
Artikel berikutnyaMemaknai Hari Raya Waisak di Tengah Pandemi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here