Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (FHUI) Teuku Nasrullah mengapresiasi virtual police. Program ini harus dijalankan sesuai koridornya untuk menghindari terganggunya kebebasan berekspresi dan mengemukan pendapat, kritik, dan koreksi di dunia maya. 

Pesan ini disampaikan Nasrullah terkait 100 hari kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dengan virtual police, Kapolri dinilai telah membuat terobosan di bidang politik penegakan hukum yang persuasif.

Nasrullah juga merespons pernyataan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti yang mengatakan virtual police sebagai alat represi baru Polri di dunia digital. Bagi Nasrullah, penyataan itu hanya peringatan dini semata. 

“Masukan dan kritik itu wajar dan sangat penting tetapi kita semua jangan membangun opini yang terlalu gegabah atas program yang sedang ditempuh ini. Marilah kita berpikir positif dulu sambil menyimak dan mengkritisi perjalanannya sembari memberi masukan-masukan konstruktif,” jelas Nasrullah dalam keterangan tertulis, Minggu, 9 Mei 2021.

Menurut dia, di dunia maya, selain kejahatan komputer (computer crime), polisi juga menindak kejahatan terkait komputer (computer-related crime). Computer-related crime meliputi ujaran kebencian, penistaan, hingga penghinaan terhadap simbol negara via dunia maya.

“Perbuatan melanggar hukum itu yang dulu dapat terjadi dalam kehidupan keseharian, sekarang juga terjadi, tetapi ada di dunia digital. Inilah yang negara ini harus peduli dan berproses untuk mengatasi masalah, dalam upaya membangun ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar dia.

Nasrullah mengatakan, masyarakat tidak perlu ketakutan dengan peringatan virtual police. Pasalnya, politik hukum juga berubah, dari semula langsung diproses, kini fokus pada pembelajaran. Masyarakat diingatkan jika tindakannya bersentuhan dengan hukum.

“Masyarakat, khususnya sebagian besar warganet sangat kesal dengan pelaku kejahatan computer-related crime berupa penistaan, penghasutan, ujaran kebencian sampai penyebaran berita bohong. Setelah pelakunya diproses, mereka dilepaskan dengan cukup meminta maaf dengan materai 6.000. Sebagian menerimanya, namun bagaimana dengan korbannya. Benar kan?” ungkap pria asal Aceh ini.

Dengan kondisi seperti itu, Nasrullah menilai upaya Polri dikategorikan sebagai membangun ketertiban. Ahli forensik digital Ruby Alamsyah sependapat dengan Nasrullah. Dia mencatat virtual police telah mengajukan 419 konten yang berpotensi melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dari jumlah itu, 274 telah lolos verifikasi; 98 tidak lolos verifikasi, dan 47 dalam proses verifikasi. Dari konten yang telah lolos verifikasi, 74 peringatan berstatus dalam proses; 68 dalam status peringatan pertama; 68 konten dalam status peringatan kedua; 27 peringatan berstatus tidak terkirim; dan 76 peringatan statusnya gagal terkirim.

“Data itu menunjukkan bahwa lebih banyak peringatan gagal terkirim. Artinya, pelaku ujaran kebencian itu ternyata akun anonim yang tidak bertanggung jawab. Setelah mereka posting ujaran tidak baik itu, mereka meninggalkan akunnya sehingga tidak bisa dihubungi oleh virtual police. Semoga situasi ini memberikan pemahaman bahwa masih banyak orang tidak bertanggung jawab di dunia maya,” tutur Ruby.

Ruby menekankan upaya Polri ini juga selaras dengan data hasil riset Microsoft tentang tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020. Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara untuk tingkat kesopanan. Indonesia hanya lebih unggul dari Meksiko dan Rusia.

Riset Microsoft juga menyebutkan ada 3 risiko online terbesar warganet indonesia di antaranya kasus berita bohong hoaks dan scam, ujaran kebencian, serta diskriminasi. Survei ini memberi sinyal bila Indonesia memerlukan patroli di dunia maya.

“Sebab sudah lama juga kami memantau dan menganalisis banyak sekali perilaku yang kurang etis di media sosial lahir karena atmosfer komunikasi di media sosial yang kurang baik,” jelas Ruby.

(OGI)

Artikel sebelumyaSurvei Etos institute: Harapan masyarakat Kapolri baru berantas pungli di tubuh Polri
Artikel berikutnyaSurvei: 76,5 persen publik puas dengan kinerja 100 hari Jenderal Sigit

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here