Berbagai kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di beberapa daerah rawan konflik, seperti di Papua dan Sulawesi Tengah, terus menjadi perhatian utama Komnas HAM RI dan Kepolisian RI (Polri). Komitmen keduanya guna membangun resolusi damai direalisasikan melalui perpanjangan nota kesepahaman bersama.

Jakarta – (27/04/2021). “Harapan kita antara lain untuk masalah Papua, kerjasama ini  bisa menyelesaikan masalah,” ujar Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik dalam audiensi dan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama di Mabes Polri, Jakarta Selatan, baru-baru ini.         Ia mengapresiasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang memiliki visi bersama Komnas HAM RI untuk penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di sejumlah wilayah penting, contohnya Papua dan Sulawesi Tengah. Sinyal positif dari korps Bhayangkara, menurut Taufan, terlihat dari penyikapan atas rekomendasi lembaganya. Rekomendasi tersebut diterbitkan setelah muncul pengaduan masyarakat atas kinerja kepolisian.

            “Secara statistik, laporan pengaduan yang diterima Komnas HAM RI terkait kepolisian  sangat tinggi, hal ini tidak belum tentu lembaga lain lebih baik dari Polri,” urai Taufan. Berbagai diskusi dilakukan bersama antara kedua lembaga untuk menambah kapasitas sumber daya manusia penegak hukum yang taat kepada prinsip serta nilai-nilai HAM. Melalui nota kesepahaman sebelumnya, diadakanlah pelatihan HAM yang menjangkau berbagai elemen di kepolisian, mulai dari para perwira, Densus 88 hingga Brimob. “Kerja sama antara kepolisian dan Komnas HAM bertambah baik dan membutuhkan dukungan semua pihak terutama kepolisian karena salah satu pilar demokrasi yang penting adalah kepolisian,” ungkap Taufan menegaskan.

Pertukaran Data      

            Nota kesepahaman tersebut sekaligus menjadi wadah pertukaran data dan informasi, kemudian terkait penggunaan laboratorium forensik (Labfor) dan Inafis. Kapolri Listyo Sigit  mengatakan bahwa kepolisian menjunjung tinggi HAM sehingga dirinya perlu memberikan pemahaman kepada seluruh bawahannya untuk menjaga HAM dalam bertugas. “Pemahaman HAM akan diberikan kepada personel Polri mulai dari pelaksana sampai pimpinan. Sehingga di lapangan potensi pelanggaran HAM bisa dihilangkan,” kata Listyo. Ia menyambut baik perpanjangan nota kesepahaman antara Komnas HAM RI supaya anggota kepolisian berpegang teguh untuk menjaga HAM dalam menjalankan tugas, khususnya menjaga pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama di Papua.             “Titip, di Papua, soft approach dengan kegiatan Bimas Noken dibesarkan. Kita kerja keras agar masyarakat memahami. Terima kasih kepada salah satu perwakilan Komnas HAM RI disana,” tutup Kapolri.

Dalam acara ini, Ketua Komnas HAM RI turut didampingi oleh Wakil Ketua Eskternal Komnas HAM RI Amiruddin, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga, Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM RI M.Choirul Anam, Kepala Biro Perencanaan, Pengawasan Internal, dan Kerjasama Esrom Panjaitan,  serta jajaran Bagian Kerjasama Komnas HAM RI. Sementara dari jajaran kepolisian, diikuti antara lain oleh Irwasum Polri, Kabaharkam Polri, Kabareskrim Polri, As Ops Kapolri, Kadiv Humas Polri, Kadiv Propam Polri, Kadensus 88 AT Polri, serta Karo Kerma  K/L Sops Polri.

Kolaborasi Tujuh Lembaga

            Betapa penting dan krusialnya Kepolisian RI dalam menegakkan hukum sekaligus melindungsi hak asasi manusia, dalam waktu yang hampir bersamaan juga digalang kolaborasi tujuh lembaga negara bersama Dewan Pers guna menjaga kesamaan langkah pengawasan terhadap kinerja pelayanan publik dan penegakan hukum yang transparan di lingkungan Kepolisian RI. Hal tersebut menjadi tujuan besar antara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dengan Komnas HAM RI yang menjadi salah satu mitra penandatangan Nota Kesepahaman Bersama. Secara khusus Komnas HAM dan Kompolnas spesifik akan merealisasikan Kerja Sama dalam Rangka Perlindungan, Pemajuan dan Penegakan Hak Asasi Manusia. ”Dalam setiap peristiwa-peristiwa penting, selalu saja Komnas HAM RI dan Kompolnas berkomunikasi dan berkoordinasi mencari suatu penyelesaian dari masalah-masalah yang kita hadapi, terutama di dalam pengawasan kita terhadap Kepolisian Republik Indonesia, bersama Irwasum (Inspektorat Pengawasan Umum),” ungkap Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik.

Substansi Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM RI dan Ketua Kompolnas Mahfud MD tersebut dilatarbelakangi oleh data empiris berupa pengaduan dari masyarakat tentang Polri ke Komnas HAM RI. Periode Januari-Desember 2020, Komnas HAM RI menerima sebanyak 2.524 aduan. Pihak yang paling banyak diadukan, salah satunya pihak kepolisian (741 kasus). Untuk itu, ruang lingkup Nota Kesepahaman antara Komnas HAM RI-Kompolnas meliputi pertukaran informasi, sosialisasi, pengkajian, penelitian, pendidikan dan pelatihan, pengembangan pemanfaatan sistem teknologi informasi dan komunikasi, koordinasi berkala serta kegiatan lainnya yang disepakati kedua belah pihak. “Dengan adanya nota kesepahaman tersebut diharapkan bisa mempermudah penanganan aduan masyarakat tersebut,” ujar Taufan menegaskan.

Taufan mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan kerja, lembaga negara harus siap dengan segala dinamika berbangsa dan bernegara. Semisal dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, Komnas HAM RI kerap didera berbagai kontraversi, yang terkadang baik karena bernilai substantif namun banyak juga hoaks yang menyudutkan. “Itulah menurut kami bagian dari proses kita sebagai bangsa bernegara, berdemokrasi membangun tatanan-tatanannya,” ujarnya. Komnas HAM RI sebelumnya telah menandatangani nota kesepahaman dengan Polri agar kerja sama dengan Kompolnas menjadi bentuk optimalisasi fungsi dan tugas Komnas HAM, terutama dalam hal memastikan pelaksanaan kerja kepolisian sesuai dan sejalan dengan standar dan norma hak asasi manusia.           

“Hal ini karena kita meyakini peran Polri sangat penting bagi negara kita, hari ini dan kedepannya sehingga menjadi kepolisian yang profesional, penuh martabat, dan dicintai rakyatnya, akan menjadikan bangsa kita tangguh, maju dan menjadi contoh baik bagi negara-negara lain,” ujarnya. Taufan berharap dengan optimisme yang sama dan semangat bersinergi antara Komnas HAM RI, Kompolnas, Polri, lembaga negara serta Dewan Pers dapat menjadi teladan bagi bangsa Indonesia agar semakin menghormati hak asasi manusia, semakin menerapkan prinsip-prinsip keadilan, dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Penandatangan Nota Kesepahaman juga dilakukan bersama enam lembaga negara lainnya dan Dewan Pers. Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin, Komisioner Komnas HAM RI Sandra Moniaga dan Beka Ulung Hapsara. Pimpinan lembaga lainnya, yakni Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, pimpinan Komisi Yudisial, Ketua Komisi Kejaksaan RI, perwakilan Ombudsman RI, Ketua Komnas Perempuan, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Ketua Dewan Pers.

Polisi berbasis HAM

            Selanjutnya implementasi Nota Kesepahama antara Komnas HAM dan Polri, kedua lembaga telah bekerjasama meningkatkan pemahaman dan kapasitas anggota Polri tentang prinsip dan norma HAM dalam tugas pokok dan fungsinya melalui berbagai kegiatan sejak tahun 2015. Ini dilakukan karena melihat kebutuhan yang lebih besar atas cakupan kerjasama dengan Polri, serta tantangan yang semakin besar dihadapi oleh Polri sebagai aparatur negara yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Komnas HAM melalui Subkomisi Pemajuan HAM misalnya pernah mengadakan workshop penguatan konsep program “Polisi Berbasis HAM (PBH).”

            Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara, menyampaikan harapannya agar program PBH dikembangkan lagi sehingga relevan dengan situasi dan kebutuhan kekinian. “Program PBH juga dikembangkan disesuaikan dengan karakteristik lokal, misalnya di Sulawesi Tengah dilakukan penandatangan Perjanjian Kerjasama untuk pencegahan konflik sosial dan radikalisme,” ujar Beka. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti menyampaikan apreasinya atas program PBH yang memang sangat diperlukan oleh Polri. Ke depannya, Kompolnas dan Komnas HAM bisa bekerjasama agar program PBH memberikan dampak yang lebih besar bagi perbaikan kinerja Polri. “Dengan mandatnya, Kompolnas bisa memberikan masukan strategis kepada Presiden dan Kapolri,” ujar Poengky.

            Di bagian lain Komisioner Komnas HAM, Amirudin menyampaikan pengaduan atas Polri yang masuk ke Komnas HAM didominasi oleh penanganan perkara yang dianggap lamban oleh masyarakat. “Dari aduan yang masuk, pengaduan terbesar berasal dari polisi di daerah Sumut, DKI Jakarta, Jabar, Jatim dan Jateng,” ujar Amir. Menurut Amir, Program PBH mesti dipadukan dengan program pendidikan yang ada di Polri sehingga lebih besar dampaknya.

Lamban

            Dari tahun ke tahun, Komnas HAM selalu bekerjasama sangat erat dengan Kepolisian RI. ”Banyak sebab yang mengharuskan kami melakukan ini,” ungkap Ahmad Taufan Damanik. Salah satunya alasan, pihak Kepolisian menempati posisi tertinggi sebagai pihak yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM sepanjang tahun 2017, yaitu sebanyak 1.162 berkas dari total sekitar 6000 berkas yang diterima Komnas HAM. “Kondisi ini tidak mengalami perubahan selama beberapa tahun terakhir,” kata Taufan. Lebih lanjut dipaparkan, bahwa kasus yang banyak diadukan masyarakat terkait kinerja pihak Kepolisian sangat terkait dengan kelambanan penanganan kasus, upaya paksa sewenang-wenang, tindak kekerasan, kriminalisasi dan tindak penyiksaan. 

            Taufan juga menambahkan, Komnas HAM telah cukup erat menjalin komunikasi dan relasi dengan institusi Kepolisian. Diawali dengan penandatanganan MoU yang telah diperbaharui pada 16 Maret 2017 dan seperti diketahui telah diperanjang kembali pada 20 April 2021 yang baru lalu.”Kesepakatan kerjasama ini pun telah diterjemahkan pada banyak aktivitas, diantaranya Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan sejumlah Polda (Polda Jateng, Sumbar, Sulteng, dan Maluku), pelatihan dan penyuluhan HAM di sejumlah Polda (Polda Metro Jaya, Polda Jawa Tengah, Polda Lampung, Polda Maluku, Mako Brimob, dan Brimobda Papua), penyusunan buku HAM guna bahan materi HAM (buku saku HAM untuk Reskrim, Sabhara, Tahti, Brimob), dan penyusunan manual/ modul pelatihan (untuk Polisi dan Brimob),” papar Taufan.

            Lebih lanjut Taufan menambahkan, pihaknya berharap tindaklanjut dari pertemuan adalah upaya bersama untuk mendorong penghormatan, perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM melalui pemberian reward dan penghargaan bagi jajaran kepolisian yang menunjukkan kontribusinya. Selain itu, lanjut Taufan, Komnas HAM juga berharap adanya mekanisme pertemuan rutin dengan pihak Kepolisian utamanya dalam membahas dinamika upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia.

Revisi Kurikulum

            Sementara itu, guna memperkuat dan mempertajam peran Polri dalam perlindungan HAM, Taufan Damanik pihaknya juga telah menyepakati untuk merevisi kurikulum pendidikan HAM di institusi Polri. Tidak hanya itu, Taufan mengatakan Komnas HAM juga diminta untuk masuk hingga tingkat Akademi Kepolisian dan Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara (SPN) dalam memberikan pemahaman terkait HAM.

            Revisi tersebut dilakukan, kata Taufan, karena masih maraknya kasus penyiksaan dan kekerasan dalam proses penanganan tahanan walaupun saat ini menurutnya Kepolisian telah menggunakan pendekatan ilmiah dalam proses tersebut. Kepolisian, kata Taufam, saat ini juga telah berupaya membenahi persoalan tersebut dengan membuat Standard Operational Procedure (SOP), pelatihan, hingga membuat buku saku terkait penanganan kasus dengan prinsip HAM.

            “Sekarang kan mereka (Polisi) sudah masuk ke pendekatan scientific, tapi masih ada juga aparatnya yang melakukan kekeliruan. Itu sebetulnya polisi pusing dengan hal ini, dan diskusi dengan Komnas HAM mencari solusi. Bahkan kita sepakat untuk merevisi lagi kurikulum untuk pelatihannya,” kata Taufan batu-baru ini di kawasan Cikini Jakarta Pusat. Taufan mengatakan sampai saat ini pihaknya masih kerap mendapat pengaduan terkait kasus serupa pada tingkat Polres. Meski begitu, kata Taufan, trennya relatif stagnan.”Tapi saya akan terus angkat isu ini, bahwa Kepolisian kita ini perlu betul-betul memperhatikan proses penanganan tahanan itu supaya kasus-kasus kekerasan, penyiksaan itu, betul-betul bisa mencapai zero tolerance,” kata Taufan.

Polisi selalu disorot

            Meskipun upaya perbaikan dan peningkatan kinerja maupun program peningkatan pemahaman Hak Asasi Manusi telah banyak digelar, namun kinerja polisi memang selalu mendapat sorotan. Tentu saja untuk mawas diri jika dilihat sisi positif kritisi ini.  Seperti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) misalnya, mencatat terdapat 73 kasus pelanggaran terhadap aktivis HAM sepanjang Januari 2014 hingga November 2019.

            Bentuk pelanggaran yang paling dominan adalah kriminalisasi dengan 31 kasus dan pelaku pelanggaran terhadap hak pembela HAM mayoritas adalah polisi dengan 27 kasus. Koalisi menilai negara tidak serius dalam melindungi dan memenuhi hak asasi para pembela HAM. Kondisi itu, menurut mereka membuat kekerasan terhadap pembela HAM terus berulang. “Seperti intimidasi, kekerasan yang berkedok kriminal dengan pelaku orang tak dikenal, pembajakan akun media sosial atau telepon genggam, upaya kriminalisasi yang dipaksakan terhadap pembela HAM,” demikian bunyi siaran pers koalisi yang dibacakan oleh Kepala Badan Advokasi Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) Ainul Yaqin saat konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

            Dalam paparannya, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnama Sari mengatakan ancaman terhadap pembela HAM disebabkan oleh dua faktor, yaitu aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi yang tidak independen, dan kriminalisasi terhadap mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah di media sosial. Lebih lanjut, Era memandang laporan perihal kriminalisasi terhadap pembela HAM sebagian besar tidak diproses oleh polisi. Bahkan, kata dia, laporan acap kali tidak diterima. Ia menyatakan kondisi tersebut sangat ironis karena polisi merupakan garda pertama dalam sistem peradilan pidana.

            “Enggak mungkin ada pelaku serangan terhadap pembela HAM bisa diperhadapkan di pengadilan dan diuji apakah betul apakah dia melakukan serangan atau tidak kalau polisi tidak mau menerima laporan atau polisi tidak mau menyelidiki kasus. Seperti kasus kematian Golfrid Siregar [aktivis lingkungan] salah satunya,” kata Era. Ia kemudian memberi contoh mengenai pelanggaran HAM terhadap orang-orang di baris terdepan yang memperjuangkan hak asasinya, seperti petani. Era menilai saat ini serangan tidak hanya mengarah kepada personal, tetapi juga menyasar kelompok atau organisasi.

            “Contohnya tahun 2017 YLBHI diserang dengan isu komunisme. Kemudian terjadi pelemparan dan perusakan kantor,” ujarnya. Contoh lain, dalam pendampingan hukum 41 anggota Serikat Mandiri Batanghari (SMB) yang didakwa terlibat perusakan, pencurian, pengeroyokan dan penganiayaan terhadap anggota Polri, TNI dan Satpam PT WKS di Pengadilan Negeri Jambi, era mengatakan serangan sudah berupa stigma organisasi sebagai pembela hak petani. Di sisi lain, ia menambahkan bahwa satu saksi kunci atau saksi meringankan yang dihadirkan pihaknya diculik sesaat persidangan akan dimulai. “Bagaimana mungkin polisi, jaksa, hakim bisa independen kalau mereka dibiayai oleh korporasi-korporasi besar,” ungkap dia.

            Selain itu, Era pun mendapat persekusi atau perlakuan buruk dengan dituduh bahwa dirinya merendahkan masyarakat Jambi kurang mengerti hukum. Tuduhan ini berujung kepada demo sejumlah masyarakat Jambi terhadapnya. Serangan lain terhadap pembela HAM adalah perihal kasus yang menimpa Dandhy Dwi Laksono yang dituduh menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong, pembajakan akun whatsapp dosen IPB, Hariadi Kartodihardjo yang menolak revisi UU KPK, hingga penanganan kasus penyiraman air keras Novel Baswedan yang menemukan jalan buntu.

            Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi menuntut Pemerintah dan DPR membentuk sistem perlindungan bagi pembela HAM melalui revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan menjadikan revisi ini agenda prioritas tahun 2020 lalu. Selain itu juga meminta Polisi untuk menyelidiki dan mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap pembela HAM seperti kematian Golfried Siregar, menghentikan kriminalisasi terhadap pembela HAM, serta membangun mekanisme perlindungan bagi pembela HAM yang terkonsolidasi dengan lembaga atau badan lain seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM sendiri terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, Setara Institute, Amnesty International Indonesia (AII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Angin Segar

            Begitulah peta perlindungan hak asasi manusia dan peran Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum dan HAM di lapangan. Polisi dibutuhkan tapi sekaligus dicaci bila melakukan pelanggaran. Namun dengan dekat dan banyaknya pihak, lembaga yang terus mengawasi kinerja Polri, akan menjadi angin segar bagi penegakan hukum dan perlindungan HAM secara adil dan transparan. Kerja Polri menjadi lebih terukur dan tidak bisa semena-mena karena dikawal oleh berbagai organisasi khususnya Komnas HAM. Akankah kinerja Polri semakin baik di masa depan terutama dalam hal perlindungan HAM? Memang masih butuh pembuktian. Tapi dengan tekad Kapolri yang proaktif melakukan perpanjangan MOU dengan Komnas HAM, setidaknya bisa menjadi indikator itikad baik Kapolri bersama seluruh jajarannya agar bisa menyeleraskan HAM dalam setiap penegakan hukum dan perlindungan HAM dalam menjalankan tugasnya. (SAF).

Artikel sebelumyaSejumlah Alasan Larangan Mudik Lebaran 2021, Taatilah !
Artikel berikutnyaMenag: Pemerintah tak akan berikan dispensasi khusus pada santri untuk mudik lebaran

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here