Kuat dugaan, teroris Organisasi Papua Merdeka (OPM)mulai terdesak dan panik. Strategi teror dan kekerasan kurang dirasa kurang berdampak, maka strategi menebar fitnah dan berita palsu/bohong (hoax) mulai dilancarkan. Efektifkah strategi yang disebar OPM tersebut? Bagaimana respon TNI-Polri yang berhadapan dengan mereka?
Jakarta – (19/05/2021).Tak ada angintakhujan, tiba-tibaberhembusberita ada 3 wanita di KabupatenPuncak Papua tewasditembakmiliter Indonesia. Demikiansebuah media online memberitakan. Ternyatadalamoperasinya, OPM menempuhsegalacara – menghalalkansemuasiasat. Tentusaja, KomandoGabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) IIImerasaperlumeluruskannya. “Tidak ada kejadianseperti yang diberitakan,” ujarKapenKogabwilhan III Kolonel Czi IGN Suriastawa, baru-baruini.Kabar hoax itu disebarkan kelompok teroris OPM yang didukung front politik dan klandestin di antaranya jurnalis, media, dan pegiat media sosial (medsos) yang aktif menyebarkan hoax untuk menyudutkan pemerintah.”Kalau teroris OPM membakar sekolah, membunuh guru dan menebar teror lain, pendukung mereka ini tidak komentar apa pun,” tambahnya.
Hoax ini juga ikut disebarkan aktivis pro-Papua merdeka, Veronica Koman, lewat medsos Twitter. Suriastawa mengatakan hoax ini disebarkan pendukung teroris OPM untuk memfitnah tim gabungan TNI-Polri. “Itu memang link mereka, setidaknya ada 2 media online yang pemimpin redaksinya sangat intens hubungan dengan Si Koman itu. Setiap propaganda yang dimuat media pendukung kelompok teroris OPM ini, selalu jadi bahan tweet-nya,” ujar Suriastawa.Menurutnya, penggalangan opini lewat hoax ini dibuat untuk menarik perhatian publik. Selain hoax militer menembak 3 wanita, pendukung teroris OPM menyebar fitnah soal hancurnya Gereja Kingmi yang tujuannya memprovokasi jemaat gereja, baik lokal, nasional, maupun internasional.Menurutnya, terdesaknya kelompok teroris OPM ini memancing respons pendukungnya untuk menyebar fitnah dan berita bohong.
Jangan terprovokasi
Senada dengan penjelasan Suriastawa, Kasatgas Humas Nemangkawi Kombes M Iqbal Alqudussy juga menegaskan bahwa berita tersebut hoax. Dia mengimbau masyarakat tak terprovokasi berita yang disebar pendukung teroris OPM karena penegakan hukum dilakukan secara tegas dan terukur.”Saat ini saya berada di Ilaga bersama Dandim dan Kapolres dan berita yang dimuat media (menyebut sebuah media online) itu adalah berita bohong,” kata Iqbal dalam keterangan yang sama.Diketahui, pemerintah menetapkan kelompok kriminal bersenjata KKB sebagai teroris sejak 29 April 2021. TNI-Polri terus mengejar dan menindak karena front bersenjata OPM ini terus menebar teror ke masyarakat, termasuk dunia pendidikan dan penerbangan sipil.
Beberapa waktu lalu, Tim Gabungan TNI-Polri menangkap provokator kerusuhan pendukung teroris OPM, Victor Yeimo, menguasai markas teroris kelompok Lekagak Talenggen di Wuloni dan Tagalowa, Distrik Ilaga. Tak lama kemudian, di Distrik Ilaga, beberapa anggota teroris OPM ditembak tim gabungan dan ada juga 3 orang yang menyerahkan diri.Kelompok Teroris OPM ini di sisi lain juga suka menyebarkan informasi mengenai kekerasan yang dilakukan TNI di Papua. Setelah isu penembakan terhadap tiga perempuan, OPM di salah satu portal media online mereka menyatakan TNI melakukan serangan udara terhadap rumah warga dan gereja di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua.
Dalam pemberitaan beberapa media online, Juru Bicara Kelompok TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan helikopter milik TNI AU membombardir warga dan gereja di Dolinggame dengan 40 roket. Suriastawa menuturkan, bahwa dalam beberapa hari sebelumya Kelompok OPM telah melakukan pembakaran terhadap bekas bangunan PT. Unggul di Kampung Kimak yakni pada Minggu, (16/5/2021). Kemudian, keesokan harinya rumah warga di Kampung Paluga Senin, (17/5/2021) turut dibakar.Menurut dia, pembakaran itu dilatarbelakangi konflik antara kelompok teroris Goliat Tabuni dengan kelompok teroris Lekagak Talenggen. “Kejadian ini, diputarbalikkan faktanya oleh mereka dan seperti biasanya di hoakskan bahwa yang melakukan adalah aparat TNI-Polri,” ujarnya.
Suriastawa kembali mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi akan propaganda yang dilancarkan oleh kelompok teroris KKB. KKB sendiri, menurut Suriastawa memiliki tiga front yang selalu menyebar berita bohong tentang pemerintah, TNI, dan Polri lewat portal media online tertentu dan media sosial.“Tindakan tegas pemerintah terhadap kelompok teroris OPM ini melalui TNI-Polri sudah terukur dan tegas dengan menyasar kelompok teroris OPM sebagai musuh negara dan musuh bersama bangsa Indonesia,” ucapnya.”Jadi tidak benar dan mengada-ada kalau TNI-Polri menyerang warga sipil. Justru kehadiran pemerintah melalui tindakan tegas TNI-Polri untuk melindungi masyarakat dari aksi-aksi teror kelompok teroris OPM,” kata dia.
Pandangan Teori dan Ancaman Hukuman
Strategi kekerasan dalam terorisme adalah suatu aksi yang dirancang untuk meningkatkan pencapaian hasil-hasil yang diinginkan dengan menciptakan perasaan takut dikalangan publik. Intimidasi publik adalah elemen kunci yang membedakan kekerasan yang dilakukan oleh teroris dengan kekerasan lainnya.Demikian disampaikan Djawara Putra Petir, MP., SH., MH dalam artikelnya berjudul ”Taktik dan Strategi Kekerasan Teroris”.Djawara menilai, berbeda dengan kekerasan biasa, dimana para korban yang dijadikan sasarannya secara pribadi, sedangkan terorisme korbannya adalah bersifat kebetulan untuk tujuan-tujuan yang diinginkan teroris dan dipakai sebagai cara memprovokasi kondisi-kondisi sosial yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas.Kekerasan pada pihak ketiga memang secara sosial sangat menakutkan jika teroris memilih orang-orang sipil juga menjadi korban dan penentuan korban tidak dapat diprediksi sebelumnya sehingga menimbulkan perasaan bahwa tiap-tiap orang dapat menjadi korban, hal demikian dapat menjadi semakin meluas.
Teroris sering menggunakan tindakan-tindakan kejam dan cara-cara rahasia yang diarahkan kepada rezim penguasa atau pejabat rezim penguasa untuk memaksakan perubahan-perubahan sosial atau politik sesuai dengan kehendak mereka.Bentuk-bentuk kekerasan yang diterapkan pada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan secara rahasia dimana pihak yang tidak setuju menyerang negara dengan menjadikan warga negara sebagai korbannya merupakan salah satu taktiknya.Terorisme yang ditujukan kepada masyarakat oleh negara itu sendiri didesain untuk menghilangkan perlawanan internal dan menekan perbedaan pendapat damai maupun gerakan politik sosial yang melawan rezim penguasa yang menggunakan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Terorisme internasional
Adapun terorisme internasional yang dibiayai negara yang mencari keuntungan politis dengan pembiayaan rahasia operasi-operasi teroris yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku.Para sponsor berusaha keras menjauhkan diri dari operasi-operasi merugikan dan malapetaka yang mereka akibatkan. Namun, kemunculan di muka umum untuk menolak keterlibatan dalam terorisme internasional sulit berhasil dilakukan oleh negara-negara yang memberikan tempat pelatihan dan perlindungan bagi kelompok teroris yang telah terkenal.Terorisme dengan motivasi politik terhadap sebuah negara yang mengatas namakan gerakan pembebasan didesain untuk memperoleh media penyebaran keluhan yang luas. Oleh karena itu teroris giat mencari publisitas untuk kepentingan mereka dalam usaha memperoleh dukungan publik dalam rangka dilakukan perubahan-perubahan sosial atau politik yang mereka inginkan.
Mereka sering berusaha meminimalkan atau mengalihkan perhatian dari bahaya yang diakibatkan karena tindakan terorisme mereka dengan memusatkan perhatian pada ketidak manusiawian yang dilakukan oleh rezim penguasa atau oleh negara pada bangsa mereka.Beberapa kekerasan teroris dilaksanakan oleh para pejuang yang mengangkat dirinya dan kemudian bertindak atas nama rakyat tertindas yang mereka perjuangkan.Mereka terdorong untuk melakukan itu terutama, karena perintah ideologis dan penghargaan timbal balik diantara sesama anggota atas usaha-usaha mereka. Mereka sering melakukan taktik berencana untuk mengekspos kelemahan rezim penguasa dan memprovokasi agar melakukan tindakan-tindakan bodoh dan langkah-langkah pengamanan yang bersifat represif.
Tindakan balasan rezim penguasa akan menciptakan ketidak senangan dan kemarahan publik yang meluas, sehingga dapat mendiskreditkan kepemimpinan rezim penguasa itu sendiri, sehingga dengan demikian membantu menyebabkan keruntuhan mereka sendiri dan rezim yang mereka pimpin.Kelompok-kelompok demikian bersedia bertanggung jawab atas tindakan teror mereka. Mereka lebih memperhatikan radikalisasi “ kesadaran massa “ dari pada pembantaian massal.Hampir tidak dapat dibedakan antara terorisme dengan kerusuhan politik terbuka, ancaman-ancaman selalu menimbulkan ketakutan dan timbulnya ketidakstabilan apabila ancaman-ancaman itu ditujukan pula pada warga negara sipil yang tidak telibat didalamnya tetapi menjadi korbannya.
Kekerasan pihak ketiga yang diarahkan pada orang-orang yang tidak bersalah adalah jauh lebih menakutkan daripada kerusuhan politik dimana yang dijadikan targetnya adalah tokoh-tokoh politik tertentu.Penculikanpenasehat dan diplomat asinguntukmemaksapembebasantahananpolitik yang dipenjaracepatmeluas. Penculikanmerupakansenjata yang sangatefektifbagikelompok yang menentangrezimpenguasa, selamapemerintahbersediauntukmelakukanperundingan.Para penculikmemandangtindakanmerekasebagaialattawarmenawarpolitik, bukansebagaitindakanterorisme, khususnyajikamerekamemperolehpembebasantemansesamanya yang dipenjaratanpamenyebabkanpenderitaanfisik pada tawanan.Banyak teroris melakukan tindakannya demi memperoleh keuangan yang dapat dibenarkan atas dasar-dasar politik.
Para eksekutif perusahaan-perusahaan asing dan para penasehat negara-negara kuat dan kaya adalah sasaran favorit tindakan teroris.Korban-korban tersebut dianggap bukan sebagai pribadi tetapi hanya merupakan simbul dari imperialisme. Uang tebusan yang menggiurkan dan pembayaran pemerasan menjadikan bentuk terorisme ini dianggap sangat menguntungkan.Namun perbuatan atau aksi terorisme dengan strategi kekerasan tersebut diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, karena melanggar Pasal 6 Yo pasal 7 Undang-undang No. 15 tahun 2003 yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 6.Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) ta-hun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 7Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Label Teroris Sudah Tepat
Beberapa tindakan brutal yang telah dilakukan Papua, banyak sekali kemiripannya dengan uraian teori terorisme di atas. Maka tak heran bila pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel turut menganalisis kebijakan pemerintah yang menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua sebagai organisasi teroris.Menurut Reza, KKB di Papua tepat dikategorikan sebagai Nationalist Dissident Terrorism.Hal itu ia sadari setelah sempat berbincang dengan satu di antara pejabat di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT).Dalam diskusi itu, Reza mengatakan pejabat BNPT menyebut separatisme lebih berbahaya daripada terorisme.Terlebih, tindakan separatisme tidak tercantum dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme.Untuk itu, Reza mendukung sikap pemerintah yang resmi mengkategorikan KKB di Papua sebagai organisasi teroris.
“Bagi saya, KKB di Papua itu tepat dikategori sebagai Nationalist Dissident Terrorism yang paling tidak beroperasi secara lokal,” kata Reza.Kendati demikian, Reza memaklumi, pengkategorian ini memunculkan kegagalan pemerintah dalam meredam masifnya perilaku kekerasan dalam kelompok itu.Alhasil, hal itu membuat KKB semakin mengandalkan aksi-aksi brutal, termasuk ke warga sipil sebagai modus pergerakan mereka.”Juga terkesanbertambahsatulagimusuh negara. Musuhberupakelompokterorganisasi,” tambahnya.
Di sisi lain, jikadicermatilebihlanjut, Reza menilai ada persepsi yang berbedadaripengkategorianini.Menurutnya, ketikamasihdisebutsebagai KKB, makaaksibrutalnyaakandianggapsebagaikriminal yang bisadihadapi oleh polisi.”(Padahal) tindakkriminalitasharusdilawan, namunkarenasayabukan korban atausasaransikriminal, makasayamerasa KKB bukanpihak yang harus juga sayalawansecaralangsung.”Kiniberbedaposisinya. pelabelan “teroris” memberikanjustifikasi yang legitimatebagisetiapkomponenbangsauntukmenyikapiorganisasiterorisitusebagaimusuhbersama yang harusdiberantassecaracepat, tegas, terukur, dan tuntas. Sementaraitu, setelahpenetapanini, Reza mengungkapkanmanuverbeberapatokoh di Jakarta perludiantisipasi.
Satu di antaranya dari narasi yang dikembangkan aktivis HAM dari Papua, Natalius Pigai.Menurut Reza, narasi yang disebutkan Pigai sebelumnya mengarah ke pencitraan bahwa Pemerintah tengah melancarkan state terrorism terhadap masyarakat Papua.Tetapi, kali ini, narasi yang disebut Pigai justru membangun anggapan yang bersangkutan dengan agama.”Natalius Pigaimenggunakan cara lain. Ia melontarkan counter narrative dengan membangun framing “negara versus teroris” sebagai “Islam versus Kristen”.”Apakah counter narrative sedemikian rupa merupakan bentuk penghasutan yang dapat mengondisikan terjadinya pertikaian horizontal?” ujar Reza. Dengan demikian, Reza menilai medan perang untuk melawan terorisme tidak hanya berlangsung di daratan saja.”Patroli udara seperti di dunia virtual, internet, media sosial, dan aplikasi pesan singkat juga perlu digencarkan,” jelasnya.
Perang Narasi
Menghadapi kenyataan Kelompok Teroris OPM yang mulai melancarkan fitnah dan berita bohong (Hoax) memang perlu diwaspadai. TNI-Polri kini tidak cukup mengerahkan pasukan atau tim khusus untuk mengepung OPM, melainkan secara paralel juga harus melakukan pengepungan di bidangmedia khususnya dengan narasi-narasi akurat untuk mengimbangi narasi narasi negatif dari OPM.Setiap perkembangan operasi penumpasan OPM harus segera diupdate dan dibuatkan narasi kunci untuk meminimalisir narasi negatif dari pihak OPM. Bukan hanya isapan jempol. Pada 2019, investigasi gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menemukan keberadaan jaringan bot dan informasi palsu dalam menyebarkan “propaganda pro-pemerintah” mengenai isu Papua.
Melalui investigasi selama dua bulan, terungkap bahwa jaringan ratusan akun di media sosial, perusahaan, dan individu ini terkait dengan kampanye terorganisir dan berbiaya miliaran rupiah. “Berdasar temuan dari investigasi ini, kami menduga bahwa tujuan kampanye ini adalah menggunakan media sosial untuk mempengaruhi opini dunia internasional mengenai Papua,” kata Elise Thomas, periset dari International Cyber Policy Center di ASPI. “Kampanye seperti ini khususnya akan menjadi lebih efektif dalam konteks Papua yang hanya punya sedikit akses pada media yang independen”.
Elise khawatir misinformasi dan disinformasi ini berpotensi mempengaruhi kebijakan pemerintah negara lain dan forum internasional seperti PBB.”Jika ada yang bersedia menghabiskan waktu berbulan-bulan, dan menghabiskan ratusan ribu dolar untuk iklan di Facebook, mereka pasti berusaha mencapai suatu tujuan. Dalam kasus ini, nampaknya tujuannya adalah menyebarkan pengaruh pada audiens internasional, termasuk pembuat kebijakan, aktivis pro-kemerdekaan dan jurnalis,” kata Elise. Nah, kini semakin jelas bahwa tantangan TNI Polri dalam operasi di Papua ini pun bertambah berat, yakni berlomba dalam hal narasi positif agar mampu menekan gerakan OPM tak cuma di lapangan, tapi juga juga di dunia maya yang tak berbatas. (Saf).