Beirut—Konflik di Timur Tengah memasuki bab baru yang mengejutkan setelah kematian pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, dalam sebuah serangan mematikan oleh Israel. Kematian ini mewakili tanggapan nyata Israel terhadap eskalasi ketegangan yang berlangsung di perbatasan Lebanon, sekaligus menjadi penegasan strategi pertahanan yang keraswadag terhadap para gerilyawan.
Israel, dalam manuvernya yang dinamakan “Operasi Militer Tatanan Baru,” berhasil mengguncang pundak strategis Hizbullah dengan pembunuhan pemimpin militer ini. Hassan Nasrallah, yang selama ini diketahui memiliki pengamanan super ketat, tewas dalam pertempuran yang terjadi saat ia bersiap mengadakan pertemuan dengan komandan senior di markas bawah tanah di Beirut selatan. Menurut militer Israel, operasi ini dipicu oleh intelijen waktu nyata yang menawarkan “peluang operasional” yang tak terduga.
Jurubicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani menyimpulkan operasi ini, yang berlangsung pada hari Jumat. “Kami memiliki intelijen waktu nyata, sebuah peluang, peluang operasional yang memungkinkan kami untuk melakukan serangan ini,” ungkap Shoshani. Keterangan ini menegaskan tajamnya intelijen dan strategi militer yang dilancarkan oleh Israel.
Radio Angkatan Darat Israel juga mengungkapkan detil mengenai kesiapan dan kecepatan pelaksanaan serangan itu dari sudut pandang pilot yang dilibatkan. Seorang perwira yang hanya diidentifikasi sebagai Letnan Kolonel M. berkata, “Pilot tidak tahu apa targetnya pada hari-hari (serangan) itu direncanakan,” dan menambahkan bahwa tim hanya diberitahu beberapa jam sebelum pelaksanaan, “Kami memaparkan tim ke target hanya beberapa jam sebelum melaksanakan mereka dan mereka mengerti apa yang mereka tuju.”
Sementara Shoshani menahan diri dari memberikan tanggapan terkait spekulasi penggunaan bom Mark 84 buatan AS yang memiliki bobot seberat 900 kilogram, Brigadir Jenderal Amichai Levin, komandan pangkalan udara Hatzerim, menyatakan dalam sebuah pernyataan singkat, “Puluhan amunisi mengenai sasaran dalam hitungan detik.”
Serangan itu tidak hanya menewaskan Nasrallah tetapi juga menjangkau Ali Karaki, kepala front selatan Hizbullah, sesuai dengan penjelasan Shoshani soal serangan yang terjadi di awal minggu tersebut: “Ali Karaki, kepala front selatan Hizbullah, yang coba dibunuh Israel awal minggu ini, juga tewas dalam serangan itu.”
Hizbullah, yang mendapat dukungan penuh dari Iran, telah mengonfirmasi kematian Nasrallah. Dengan tekad bulat, kelompok ini mengungkapkan bahwa mereka akan tetap melanjutkan perjuangan terhadap Israel guna mendukung Gaza dan Palestina, serta untuk membela Lebanon.
Situasi tersebut telah menyebabkan bertambahnya aksi saling serangan rudal dan roket antara kedua belah pihak, yang memaksa ribuan warga dari kedua sisi perbatasan untuk mengungsi. Area perbatasan kedua negara pada kenyataannya menjadi nyaris kosong, bahang dari pertempuran yang tak kunjung padam.
Dalam upaya mempertahankan keamanannya, Israel secara sistematis mengambil langkah eliminasi terhadap pimpinan militer Hizbullah. Strategi militer ini, yang kembali direfleksikan melalui kicauan perdana menteri Benjamin Netanyahu—bahwa Israel tidak akan menerima keberadaan pasukan Hizbullah di perbatasannya—kini mendapat tahap grim atas rencananya menghadapi gerilyawan.
Pertempuran ini, di mana keberanian dan kalkulasi bergabung dalam barisan perencanaan yang beresiko tinggi, menghadirkan peta gerakan militer dan resistensi di sana yang akan terus berevolusi dengan konflik yang berkepanjangan dalam Timur Tengah.