UU Profesi Ojol

Jakarta – Memanasnya situasi di kalangan pengemudi ojek online (ojol) akhir-akhir ini telah memunculkan isu mendesak terkait dengan keperluan legalisasi Undang-Undang Profesi Ojol. Hal ini didorong oleh tuntutan para pengemudi yang menginginkan adanya keadilan dan kesejahteraan mereka diakui secara hukum. Aksi demonstrasi besar-besaran yang berlangsung di beberapa titik strategis Jakarta menjadi bukti nyata dari kegelisahan yang dirasakan oleh komunitas ojol dan kurir se-Jabodetabek.

Unjuk rasa ini dipicu oleh merosotnya pendapatan pengemudi sebagai dampak dari perang tarif yang terjadi antar platform penyedia layanan transportasi online. Ketua SPAI, Lily Pujiati, menguraikan kondisi yang dialami para pengemudi. “Platform digital di bidang layanan transportasi (ride hailing) sewenang-wenang mengatur tarif rendah karena menganggap hubungannya dengan pekerja ojol adalah sebagai hubungan kemitraan. Dengan status mitra ini, maka para pekerja ojol dan kurir secara otomatis menjadi kehilangan hak-haknya sebagai pekerja. Pekerja platform terpaksa bekerja lebih dari 8 jam kerja yang rawan akan kelelahan dan kecelakaan kerja,” ungkap Lily.

Perihal aspirasi pengemudi, Head of Corporate Affairs Gojek, Rosel Lavina, menyatakan, “Selama ini, mitra driver aktif Gojek juga menyampaikan aspirasinya melalui berbagai wadah komunikasi formal yang kami miliki.” Namun, Rosel menegaskan bahwa Gojek akan terus beroperasi normal dan meminta mitra pengemudinya untuk tidak terprovokasi oleh rencana aksi demonstrasi.

Di tengah kekisruhan ini, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Indah Anggoro Putri, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan rancangan peraturan menteri ketenagakerjaan, namun pembahasannya masih menunggu rezim pemerintahan baru. Dia menegaskan, “Mereka di-recognize negara. Diakui pekerja lho di dunia karena jika tidak diakui, mereka pasti sudah diberangus.”

Namun, Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia, Irham Ali Saifuddin, berpendapat bahwa status pekerja kemitraan di platform digital bukan hanya tanggung jawab Kemenaker tapi juga Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Menurut Irham, istilah kemitraan bukanlah sesuatu yang secara eksplisit diatur dalam UU Ketenagakerjaan. “Adanya lubang hukum ini membuat pekerja dalam hubungan kemitraan rentan terhadap eksploitasi dan juga eksklusi dari hak-hak yang seharusnya didapatkan,” tegas Irham.

Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, turut menambahkan bahwa status hukum kemitraan menghalangi tegaknya kerja layak bagi pekerja platform digital. Tanpa regulasi yang jelas, kerja layak untuk kategori pekerja seperti ojol sulit untuk terwujud.

Desakan untuk legalisasi UU Profesi Ojol memang tak terelakkan lagi. Aksi-aksi unjuk rasa yang berkepanjangan dan tuntutan revisi ataupun penciptaan peraturan yang mengakui dan melindungi hak-hak para pengemudi ojol telah tiba pada titik kritis. Keadaan ini menuntut perhatian serius dari semua pihak, terutama pemerintah dan para pemangku kebijakan, agar keadilan dan kesejahteraan bagi pengemudi ojol bukan hanya menjadi aspirasi namun juga kenyataan.

 

Artikel sebelumyaKita Bersatu! Dalam #SeruanIndonesiaDamai di Ambang Pilkada 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here