Site icon www.ikromulmuslimin.com

Polri dan Aksi Salurkan Bansos

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan jika Polri sudah membagikan ribuan paket sembako. Sejak pertama kali diterapkan PPKM Darurat pada tanggal 3 Juli hingga 19 Juli 2021, setidaknya Polri telah menyalurkan 475.420 paket dan 2.471.217 Kilogram beras sudah disalurkan kepada masyarakat, khususnya, warga yang paling terdampak akibat Pandemi Covid-19. Apa aksi Polri pasca PPKM Darurat ?

Jakarta – (22/07/2021). Sejak periode 3 sampai dengan tanggal  19 Juli 2021, Polri telah mendistribusikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak Covid-19 di 34 wilayah Polda sebanyak 475.420 paket sembako dan 2.471.217 Kg beras, kata Kapolri dalam keterangan tertulisnya. Untuk data penyaluran bantuan sosial selama 2020, Polri sudah memberikan sebanyak 394.347 paket sembako, 30.000 ton beras, 790.436 Alkes/APD, dan mendirikan 13.119 dapur umum. Kemudian sampai dengan 2 Juli 2021, bantuan Sosial yang disalurkan Polri sebanyak 750.780 paket sembako, 3.753 ton beras, 763.079 Alkes/APD, dan mendirikan 143.467 dapur umum.

            Akselerasi penyaluran bantuan sosial kami lakukan di seluruh Indonesia atau 34 provinsi. Baik wilayah yang menerapkan PPKM Darurat ataupun PPKM Mikro, ujar Sigit. Polri bersama Pemerintah dan TNI terus menggelontorkan bantuan sosial PPKM Darurat dengan menyasar masyarakat yang membutuhkan. Tidak hanya bantuan, vaksinasi sosial juga terus dilakukan oleh Polri. Sigit juga terus menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk terus melakukan percepatan distribusi bantuan sosial selama PPKM Darurat kepada masyarakat.

            Dia juga meminta untuk jajaran TNI-Polri melakukan mapping dalam penyaluran bansos tersebut. “Saya harap tak ada lagi wilayah yang melaporkan adannya saluran bantuan sosial yang terhambat,” sambungnya. Mantan Kabareskrim Polri ini juga mengingatkan kepada seluruh masyarakat, untuk melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Bhabinkamtibmas dan Babinsa apabila stok bansosnya habis. Sebab itu, Sigit mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang. Masyarakat tetap tenang dan jangan khawatir, apabila bantuan yang diberikan habis, segera melapor. Nanti jajaran TNI dan Polri ataupun Kementerian Sosial akan memberikan lagi bantuan sosial tersebut, ujar Sigit.

Tanggung Jawab Sosial (CSR)

            Mencermati aksi Polri menyalurkan dan mengakselerasi penyerahan Bansos kepada masyarakat terdampak pandemi, ini boleh jadi juga merupakan aksi kepedulian Polri disamping tugasnya sebagai penjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Di dunia korporasi, aksi ini dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Di sini CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat, hal  ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi.

            Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty).             Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

            Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan strategi bisnis perusahaan agar tetap hidup dalam masyarakat. Sebab, dengan CSR perusahaan berharap akan mendapat keuntungan investasi di masa mendatang. Menurut Direktur CSR Universitas Trisakti Maria R Nindita Radyanti, CSR adalah investasi perusahaan dalam jangka panjang dan merupakan strategis sesuai bisnis intinya. “Bukan hanya sekedar alat public relation maupun marketing, tapi sebagai rangkaian manajemen produksi, sumberdaya hingga pemasaran,” katanya. Prinsipnya kata dia, dalam mengambil keputusan perusahaan bertujuan mencapai kesejahteraan internal dulu baru kemudian menyebarkan kesejahteraan di luar. “Di sini, CSR merupakan kegiatan sukarela (voluntary) kepada masyarakat di luar perusahaan,” tutur Maria.

            Di beberapa negara, CSR dilakukan untuk kelancaran bisnis dan harus dilaporkan sebagai bentuk pengawasan,” sembari menambahkan pengawasan CSR di Indonesia yang lebih ketat berasal dari lembaga swadaya masyarakat ketimbang pemerintah. CSR merupakan strategi perusahaan dalam meningkatkan penghargaan masyarakat kepada perusahaan, membangun ciri khas (brand), dan kapasitas produksi yang berkelanjutan. Penerapan CSR berdasarkan ISO 26.000 yang dipakai sebagai standar banyak negara. Konsep CSR disusun berbagai pemangku kepentingan berdasarkan hukum yang berlaku sesuai kultur dan kondisi masyarakat. Sebelum semua memberlakukan, harus ada studi keilmiahan dahulu apakah CSR sudah bisa diterapkan atau CSR dilakukan per sektor ataupun melalui keputusan menteri negara BUMN.

Atasi Konflik Sosial di Masyarakat

            Pemberian bantuan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR ) di masa pandemi virus Covid-19 bisa mengatasi konflik sosial. Hal tersebut diungkapkan Deput 7 Badan Intelijen Negara, Wawan Purwanto. Wawan, mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah tanggung jawab semua pihak. Pengembangan masyarakat adalah kewajiban semua pihak. “Dengan CSR perusahaan, sedikit-banyak, masyarakat akan merasa terlindungi. Hal seperti itu sangat kita perlukan mengatasi konflik sosial. CSR pun menguatkan reputasi perusahaan,” kata Wawan. Konsep CSR yang berfungsi untuk menguatkan reputasi perusahaan juga sangat relevan untuk diterapkan pada Kepolisian RI. Dalam hal akselerasi pembagian Bansos selama PPKM Darurat  dan PPKM Mikro ke seluruh propinsi di Indonesia oleh Polri, bisa berfungsi ganda. Pertama bagian dari tugas pokok Polri. Dan kedua penyaluran itu pun bisa meredakan tekanan masyarakat yang terkena pandemi. Alih-alih mengamankan masyarakat, dengan pembagian sembako ini juga membantu meredakan ketegangan antara penegak hukum dengan masyarakat.

            Tugas penegakan hukum, pada prakteknya sangat rawan konflik, kalau pada prakteknya kaku hanya berdasarkan aturan hukum atau undang-undang formal. Namun dengan pembagian Bansos terlebih dulu, maka Polri bisa lebih mudah dalam membuka pembicaraan, dialog dengan warga masyarakat terdampak sehingga mau dan mudah untuk diarahkan sesuai kebijakan pemerintah untuk menaati protokol kesehatan dan PPKM Darurat. Dari sini masyarakat akan melihat bahwa Polri bertindak humanis, lebih peduli dan melayani masyarakat, bukan hanya menegakan peraturan. Di Negara maju sejarah demokrasinya, kini berkembang Police Public Relations yang mencoba menekan sekecil mungkin gap antara kepolisian dan masyarakat. Bahkan sebaliknya justru citra polisi secara sistematis meningkat dengan baik seiring kinerja operasinya.Polisi makin disadarkan akan pentingnya memahami dan mengelola pemangku kepentingan atau stakeholders.

Manajemen Stakeholders

            Dalam konteks komunikasi dan public relations (PR), manajemen stakeholders ini sudah menjadi keharusan dan kewajiban ketika akan mengembangkan komunikasi dengan masyarakat. Beberapa definisi untuk sekadar memahami stakeholders, dapat disebutkan di sini misalnya: “A Stakeholder is any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organization’s purpose and objectives”. (Edward Freeman). Selanjutnya Freeman dan Reed, 1983 juga menyampaikan definisi sempit bahwa stakeholders adalah Kelompok dan individu kepada siapa sebuah organisasi bergantung untuk mempertahankan keberadaannya. Sementara itu, Asosiasi Public Relations International pada 2005 dan 2008 mendefinisikan stakeholders sebagai Kelompok yang bisa mempengaruhi dan/atau terpengaruh oleh aktivitas, produk dan jasa serta kinerja organisasi. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana cara kita mengetahui dan memahami siapa saja stakeholders kita? Untuk menjawabnya, klasifikasi stakeholders menurut ISO 26000 agaknya bisa membantu.

            Jenis pemangku kepentingan bisa dibedakan dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut: Kepada siapa organisasi memiliki kewajiban hukum?, Siapa yang terpengaruh secara negatif maupun positif oleh keputusan dan aktivitas organisasi?, Siapa yang menyuarakan pernyataan mengenai keputusan dan aktivitas organisasi?, Siapa yang biasanya terlibat dalam penyelesaian isu-isu penting?, Siapa yang bisa membantu organisasi dalam mengelola dampak tertentu?, Siapa yang bisa mempengaruhi kemampuan organisasi dalam menjalankan aktivitas CSR-nya?, Siapa yang akan dirugikan kalau tidak di-engage?, Siapa yang terpengaruh sepanjang value chain?

            Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, kita akan mudah mengidentifikasi siapa saja stakeholders kita dan bagaimana memanajemeninya, sehingga tujuan organisasi tercapai dengan baik tanpa merugikan pihak lain atau menimbulkan masalah kontroversial lain. Dalam makalahnya, Kriminolog dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Adrianus Meliala mengulas, guna memahami kepolisian, seyogyanya dibedakan dua hal: antara organisasi atau manajemen kepolisian serta kegiatan kepolisian itu sendiri. Apabila organisasi atau manajemen kepolisian memiliki kesamaan dan keumuman yang tinggi antar berbagai organisasi kepolisian, tidak demikian halnya dengan kegiatan kepolisian (policing). Dalam melakukan kegiatannya, selain dipengaruhi oleh situasi internal serta fungsi dan tugas kepolisian itu sendiri, tetapi juga oleh situasi eksternal.

            “Situasi internal terkait organisasi dan manajemen kepolisian juga bisa beragam. Mulai dari persoalan struktur kepolisian dalam konstelasi kenegaraan, besar dan mutu SDM hingga anggaran, adalah situasi internal yang menjadi variable anteseden yang akan selalu mempengaruhi aktivitas-aktivitas selanjutnya,” papar Meliala.

            Mengenai fungsi kepolisian, demikian Meliala, untuk tahapan preemptif (mengantisipasi bakal terjadinya kejahatan atau penyimpangan) terdapat fungsi intelijen. Sedang untuk tahapan prevensi (mencegah kejahatan atau penyimpangan terjadi) terdapat fungsi sabhara serta lalu lintas. Ketika kejahatan atau penyimpangan sudah terjadi dan hukum perlu ditegakkan (tahap represi), maka selain lalu lintas, reserse adalah fungsi yang terutama melakukan itu. Adapun Brimob adalah fungsi kepolisian paramiliter yang bisa bertugas dalam rangka prevensi maupun represi, khususnya terkait kejahatan berintensitas tinggi.

            Terkait tahapan tugas kepolisian, dimanapun kita akan mengenal kepolisian sebagai instansi yang bertugas melakukan law enforcement (penegakan hukum), juga dalam rangka maintaining order (memelihara ketertiban) dan memberikan berbagai jasa publik (public service provider). Adapun mengenai situasi eksternal, adalah situasi spesifik kemasyarakatan yang dihadapi kepolisian saat hendak melakukan fungsi dan tahapan tugas kepolisian tertentu. Disini terjadi peran polisi sebagai institusi berwajah protagonis (bertindak sesuai keinginan masyarakat walaupun mungkin hal itu melanggar hukum) dan wajah antagonis (melakukan penegakan hukum walaupun mungkin hal itu tidak sesuai dengan keinginan masyarakat). 

Subyek dan Obyek Kepolisian        

            Lebih lanjut Meliala menjelaskan, bahwa ada masanya dimana kepolisian menganggap masyarakat sebagai obyek kepolisian, yakni ketika kepolisian berada pada posisi tidak setara dengan masyarakat. Selanjutnya, masyarakat dianggap sebagai pihak yang menjadi penerima manfaat atau benefit dari kegiatan kepolisian, tanpa masyarakat sendiri berpartisipasi dalam penentuan kegiatan kepolisian yang dilaksanakan, apalagi menyangkut jenis, intensitas serta pembiayaannya. Itulah masa dimana masyarakat merupakan obyek kepolisian.  Sebaliknya, ketika hubungan masyarakat dan kepolisian telah menjadi setara, dikaitkan dengan telah semakin demokratisnya suatu masyarakat, pandangan bahwa masyarakat adalah subyek kepolisian semakin kuat. Situasi itu bisa juga terjadi ketika kepolisian mengubah gaya atau model kegiatan kepolisiannya menjadi lebih berorientasi pada masyarakat (atau biasa dikenal dengan Community Policing).

            Melalui model ini, masyarakat diposisikan oleh kepolisian sebagai stakeholders kepolisian yang melalui perwakilan politik meminta negara guna membangun, melengkapi dan menugaskan aparat negara yakni kepolisian guna mengamankan masyarakat dengan cara serta intensitas sebagaimana dikehendaki masyarakat melalui perwakilan politik dan pemerintahan setempat. Adalah sangat relevan saat ini apabila kepolisian memposisikan masyarakat sebagai stakeholders, mengingat saat ini masyarakat kita sudah semakin kritis dan begitu mudah mengakses berbagai sumber informasi yang pada gilirannya menjadi mudah untuk memantau atau mengevaluasi kinerja kepolisian.

            Dalam rangka membedah anatomi stakeholders kepolisian, penulis sependapat dengan Adrianus Meliala yang secara singkat mengklasifikasikan stakeholders kepolisian berdasarkan pembagian subyek kepolisian berbasis kelas. Kemungkinan lebih bermakna, apabila ciri kelas itu dikaitkan dengan struktur masyarakat belah ketupat atau piramida serta bagaimana kepolisian berespons terhadap masing-masing kelas tersebut.

Berbasis kelas

            Pembagian subyek kepolisian berbasis kelas ini secara singkat dibagi menjadi 3 bagian yakni stakeholder kelas atas, kelas menengah dan kelah bawah. Dalam tulisan ini, akan dibahas yang paling relevan adalah stakeholder kelas bawah. Kelas bawah dapat kita definisikan sebagai kalangan masyarakat yang tidak atau kurang memiliki kemampuan ekonomi, bekerja di sektor informal ataupun sektor primer (pertanian, nelayan dll.), memiliki tingkat pengetahuan rendah, akses informasi dan mobilitas sosial yang amat terbatas. Dengan ciri-ciri tersebut, maka kelas bawah ini dikenal memiliki subkultur tersendiri yang lalu diikuti dengan pola aktivitas sosial serta pola kriminalitas dan penyimpangan yang juga khas.

            Secara tendensius, kelas ini cenderung dianggap sebagai beban masyarakat secara keseluruhan, apalagi bila struktur masyarakat masih piramidal dimana tidak hanya jumlah kelas bawah yang terbesar, tetapi sebagian besar dari anggota kelas bawah tadi adalah juga penduduk usia muda yang belum produktif. Pengangguran, sebagai salah satu warna kelas bawah, adalah akibat langsung dari ketidaksetaraan pendapatan antar berbagai kelas tadi dan pada gilirannya akan menambah ketegangan sosial (social tension). Warna kegiatan kepolisian secara langsung ataupun tidak langsung dibentuk oleh aktivitas kriminalitas dan penyimpangan dari kalangan yang bertendensi besar dalam jumlah dan ragam namun mudah dalam motif dan penanganannya. Prinsip peradilan yang cepat, murah dan sederhana, di pihak lain, juga cocok diperuntukkan bagi kalangan ini, yang memang relatif sederhana jenis dan pola kriminalitas serta penyimpangannya.

            Secara umum, kalangan ini sulit untuk dikatakan sebagai subyek kepolisian. Kelompok atau kelas ini memang tidak memiliki kapasitas bermitra dengan kepolisian, dalam arti menjadi pihak yang bisa menjadi penentu dalam hal bagaimana mereka ingin diamankan, dengan cara bagaimana dan dengan konsekuensi apa. Sehingga, pengambilan keputusan yang membawa implikasi besar pada kehidupan masyarakat kelas bawah ini sepenuhnya harus diambil oleh pihak kepolisian. Misalnya, mengingat jumlah kejahatan dan penyimpangan oleh masyarakat bawah ini hampir selalu melampaui kemampuan kepolisian setempat, maka diskresi menjadi penting. Masalahnya, diskresi selalu mengandung unsur interpretasi serta pengambilan keputusan oleh (dan lebih banyak dilakukan) polisi level pekerja (Goldstein: 1996).

Penerima Bansos

            Semakin jelas bagi kita, bahwa kalangan penerima Bansos dalam PPKM Darurat mayoritas adalah golongan kelas menengah bawah yang dapat dikategorikan sebagai obyek kepolisian. Inisiatif harus dimulai dari polisi. Mulai dari melindungi, mengayomi dan melayani, bentuk konkritnya harus dari kepolisian yang menentukan. Terlepas dari teori pembagian kelas sekaligus stakeholders di atas, pada intinya tetap akan kembali pada tujuan utama kepolisian dan public relations adalah bagaimana memanajemeni semua stakeholders tersebut sehingga terbentuk hubungan yang harmonis, baik antara polisi sebagai organisasi/institusi dengan masyarakat, maupun aktivitas polisi dengan masyarakat.

            Di sini yang harus berinisiatif adalah kepolisian, karena masyarakat tidak mungkin bereaksi kalau tidak melihat terlebih dulu kinerja kepolisian. Seperti dikatakan G.Douglas Gourley dalam bukunya Police Public Relations, The police themselves are the most important factor in determining public attitudes. Menurutnya, sikap masyarakat terhadap kepolisian sangat tergantung pada sikap kepolisian itu sendiri dalam menjalankan tugasnya. Maka sangatlah penting bagi kepolisian untuk mengambil inisiatif di awal untuk memahami dan memanajemi semua stakeholders-nya. Memahami para pemangku kepentingan, dalam hal ini, bukan hanya harus dekat dan terkooptasi seperti penjelasan di atas, melainkan memahami betul apa yang dibutuhkan mereka lalu memenuhinya dalam bentuk pelayanan yang melebihi ekspektasi.

            Semua stakeholders – baik dari kelas bawah, menengah maupun kelas atas harus disentuh dengan pendekatan yang tepat dan akurat. Dalam komunikasi pun ada hukum tebar tuai – yakni bila menebar kebaikan maka, itu pula yang akan diperoleh. Tugas kepolisian dalam manajemen stakeholders ini adalah bagaimana berupaya lewat program dan kegiatannya untuk menyentuh piece of life – hal yang paling esensi dari kehidupan dan kepentingan segenap stakeholders. Piece of life semua stakeholders misalnya, adalah rasa keadilan, kesehatan dan ekonomi. Maka ketika berhadapan dengan hal-hal esensil dalam penegakan keadilan, kepolisian harus berpegang teguh dan pro kepada keadilan meskipun bisa jadi polisi berperan antagonis.

            Namun apakah peran antagonis ini tidak menguntungkan kepolisian? Menurut hemat penulis tidak selalu demikian. Karena peran penegakan keadilan sekalipun pahit, tapi bila dikomunikasikan dengan baik melalui saluran dan cara yang tepat, maka justru akan mencerahkan semua pihak dan memberikan kepuasan kepada semua stakeholders. Apalagi, dengan pendekatan manajemen stakeholders di awal, maka secara langsung kepolisian sudah banyak menanam kebaikan kepada stakeholders, sehingga mereka pun akan cepat memahami dan mengerti posisi kepolisian dalam setiap kondisi sulit sekalipun.

Pasca Bansos PPKM Darurat

            Pasca akselerasi penyerahan Bansos PPKM Darurat, kini menjadi pekerjaan rumah berikutnya bagi Polri adakah bagaimana membantu secepatnya pemulihan ekonomi warga terdampak. Kalau bansos memberikan bantuan berupa “ikan”, maka berikutnya Polri harus ulai menginisiatifi bantua berupa “kail” agar masyarakat dapat memulihkan perekonomian keluarganya secara mandiri.

            Bentuk “kail” tersebut tentu dapat berupa pelatihan usaha kecil, bantuan pinjaman keuangan mikro dan pengembangan produk maupun pasar. Sangat memungkinkan bagi kepolisian karena bisa menggalang Kerjasama untuk pembiayaan mikro dengan mitra Kepolisian dari perbankan, BUMN maupun perusahaan mitra kepolisian yang ada selama ini. (Saf).

Exit mobile version