Site icon www.ikromulmuslimin.com

Unlawful Killing atau Ekstrajudicial Killing atas Kasus Laskar FPI yang Ditembak Polisi

Istilah unlawful killing atau extrajudicial killing marak diperbincangkan dalam kasus tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI) pada awal Desember 2020 lalu. Apa itu unlawful killing? Tepatkah klausul itu diterapkan pada penembakan enam laskar FPI tersebut?

Jakarta – (18/06/21). Istilah unlawful killing dan extrajudicial killing ini mengemuka karena dalam investigasinya, Komnas HAM mengindikasikan tewasnya laskar FPI itu sebagai extra judicial killing atau unlawful killing. Apa itu arti kedua istilah tersebut? Mengutip ulasan Amnesty USA, extra judicial killing atau unlawful killing adalah tindakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah atau pihak berkuasa lain. Kemudian, pihak berwajib tidak berhasil untuk menginvestigasi secara mendalam atau pun menangkap siapa otak dari tindakan pembunuhan tersebut.

Sementara, dikutip dari SEAJBEL, ekstrajudicial killing adalah saudara kembar dari penyiksaan. Secara khusus, yang paling disayangkan adalah unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum yang bermotif politik. Dalam jurnal tersebut tertulis, pembunuhan jenis ini banyak terjadi karena berkaitan dengan motif politik. Banyak tokoh politik terkemuka, serikat buruh, tokoh pembangkang, tokoh agama, hingga tokoh sosial yang terkadang menjadi target dan akan ditandai untuk dibunuh.

Tertulis juga dalam Pasal 104, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ekstra judicial killing dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selain itu, dalam buku Hukum Pidana Terorisme,Teori dan Praktik tertulis, tindakan ekstra judicial killing memiliki ciri-ciri seperti berikut: Pertama, melakukan tindakan yang menimbulkan kematian, kedua dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah, ketiga pelakunya adalah aparat negara, dan keempat tindakan yang menimbulkan kematian tersebut tidak dilakukan dalam keadaan membela diri atau melaksanakan perintah undang-undang.

 

Pelaku Adalah Aparatur Negara

Pembunuhan di luar hukum sering menimpa tokoh-tokoh politik, serikat buruh, keagamaan atau sosial yang dianggap sebagai musuh negara. Pemerintah dianggap telah melakukan pembunuhan di luar hukum jika tindakan tersebut dilancarkan oleh aparatur negara, seperti tentara atau polisi. Tentunya, tindakan extra judicial killing atau unlawful killing ini tidak beradab.

Mengutip laman hukumonline, pembunuhan di luar putusan pengadilan dilarang keras oleh ketentuan dalam hukum HAM internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional. Larangan tersebut telah dimuat di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi melalui UU nomor 12 Tahun 2005.

 

Hak Hidup Seseorang

Arti extra judicial killing merupakan suatu pelanggaran hak hidup seseorang, di mana hak hidup setiap orang dijamin oleh UUD 1945 dan merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi apapun keadaannya (non-derogable rights). Dalam kasus-kasus penembakan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku kejahatan atau tersangka, maka penembakan ini juga melanggar hak-hak lain yang dijamin baik oleh UUD 1945, UU nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ataupun ketentuan hukum HAM internasional, seperti hak atas pengadilan yang adil dan berimbang (fair trial).

Tindakan pembunuhan di luar proses hukum ini juga akan mendatangkan akibat, yaitu memutus seseorang untuk mendapatkan keadilan. Pembunuhan di luar proses hukum dianggap melanggar hak asasi manusia karena telah mengabaikan hak seseorang untuk mendapatkan proses hukum secara adil.

 

Sejarah extra judicial killing di Indonesia

Di masa lalu, Indonesia pernah menerapkan extra judicial killing ini pada masa Orde Baru. Praktik Petrus atau Penembak Misterius pada era Orde Baru dekade 1980-an, menjadi salah satu contoh pembunuhan di luar hukum. Meskipun tidak pernah ada data yang pasti akibat penembakan misterius yang digelar sekitar 1983 hingga 1985, namun menurut BBC Indonesia, diperkirakan jumlah korban jiwa Petrus mencapai 500-an lebih.

Kemudian kasus yang terbaru, lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut peristiwa yang terjadi di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, pada 7 Desember 2020 sebagai extra judicial killing.

 

Kasus Pembunuhan Laskar FPI

Lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut peristiwa yang terjadi di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, pada 7 Desember 2020 lalu itu sebagai ekstrajudicial killing. Dalam keterangan resmi pada 7 Desember 2020, Kontras lebih dulu menyebut ada indikasi extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut, sebelum hasil investigasi Komnas HAM keluar. “Atas peristiwa kematian 6 orang tersebut, kami mengindikasikan adanya praktik extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut.”

“Pasalnya, secara kepemilikan senjata, kepolisian pun lebih siap. Penggunaan senjata api juga semestinya memerhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas.” “Terlebih lagi berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh,” kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, dikutip dari laman resmi Kontras.

Selain dari Kontras, Peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya juga membenarkan adanya dugaan ekstrajudicial killing dalam peristiwa tersebut. Ia mengatakan, penembakan polisi terhadap anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek merupakan tindakan pembunuhan di luar proses hukum. Hal itu menyusul temuan Komnas HAM yang menyebut bahwa penembakan 4 laskar FPI melanggar HAM.

“Meskipun anggota FPI tersebut diduga melakukan pelanggaran hukum atau pun tindak pidana, mereka tidak seharusnya diperlakukan demikian,” kata Ari dalam keterangan tertulis. “Mereka tetap memiliki hak ditangkap dan dibawa ke persidangan untuk mendapat peradilan yang adil demi pembuktian, apakah tuduhan tersebut benar,” ungkapnya. Menurut Ari, aparat keamanan tidak berhak menjadi hakim dan memutuskan untuk mengambil nyawa begitu saja. “Karena itu kami menilai kasus ini adalah tindakan extrajudicial killing (pembunuhan di luar putusan hukum),” ujar Ari.

 

Bukan Pelanggaran HAM Berat    

Berbeda dengan penilaian KontraS, Komnas HAM justru memutuskan insiden yang menewaskan enam laskar FPI ini bukan pelanggaran HAM berat. Meski mengakui terjadi pelanggaran hak asasi, namun mereka memutuskan untuk memproses dengan pendekatan pidana. Hal itu lantaran tidak ada unsur pelanggaran HAM berat di kasus tersebut.

“Kami tidak menemukan indikasi ke arah itu (pelanggaran HAM berat) karena untuk disebut sebagai pelanggaran HAM berat tentu ada indikator, ada kriteria.” “Misalnya ada suatu desain operasi, suatu perintah yang terstruktur terkomando dan lain-lain.” “Termasuk juga indikator repetisi, perulangan kejadian, dan lain-lain. Itu tidak kami temukan,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam tayangan Kompas TV.

Untuk itu, Komnas HAM menyimpulkan insiden ini adalah pelanggaran hak asasi yakni menghilangkan nyawa manusia, yang mengarah pada unlawful killing atau pembunuhan tanpa proses hukum yang benar. Komnas HAM merekomendasikan agar kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materil lebih lengkap dan menegakkan keadilan.

Komnas HAM juga meminta proses penegakan hukum berjalan akuntabel, objektif dan transparan.  Kendati telah disampaikan terbuka kepada publik, sejumlah kalangan masih mempersoalkan kejadian ini. Mereka beranggapan “Unlawfull Killing” dalam Peristiwa Karawang itu sebagai pelanggaran HAM berat.

 

Harus Dicermati Seksama

Pendapat senada dengan Komnas HAM juga disampaikan Pakar Hukum Pidana yang juga Pengajar PPS UI Bidang Studi Ilmu Hukum Indriyanto Seno Adji. Ia  menegaskan, rekomendasi Komnas HAM harus dicermati seksama. Sebab, apa yang disebut Unlawful Killing tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2020.

Lebih khusus tentang makna “Unlawfull Killing”, memerlukan klarifikasi karena memang adanya misleading conclusion. Ini karena apa yang dinamakan Unlawfull Killing ini tidak ada kaitannya dengan dugaan Pelanggaran HAM Berat yang diatur pada UU No 26/2000, tetapi makna Unlawfull Killing pada kasus ini berbasis pada Regulasi Umum dari General Principles of Criminal Law yang ada dalam KUHP dan prosesnya melalui KUHAP.              Rekomendasi Komnas HAM ini tidak dalam konteks pemeriksaan Pro Justitia, karenanya tata cara pelaksanaan rekomendasi Komnas ini ada pada otoritas Related Party, dalam hal ini Polri, yang akan meneliti, mempertimbangkan dan memutuskan  kelanjutan tidaknya rekomendasi ini. Mengenai kematian 6 anggota Laskar FPI dan dinyatakan Unlawful Killing, apakah ada fakta yang mungkin terlewat oleh Komnas HAM dalam investigasinya? Mengenai kematian 6 anggota FPI, yaitu kematian 2 anggota FPI di KM 50 Tol Cikampek dan kematian 4 anggota FPI dari KM 50 ke atas (menuju Polda Metro Jaya), rekomendasi  ini belum memberikan argumentasi yang utuh,  jelas dan tegas antara makna “Unlawful Killing” dengan “Noodweer” atau pembelaan terpaksa yang dilakukan dari penegak hukum, yang justru pembelaan terpaksa itu harus dilakukan karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap petugas penegak hukum Polri.

Artinya, pembelaan terpaksa dari aparat penegak hukum dibenarkan jika situasinya demikian? Pembelaan terpaksa, baik serangan bersenjata terlebih dahulu oleh anggota FPI  (KM 50 Tol Cikampek) dan ancaman serangan terlebih dahulu oleh 4 anggota FPI (KM 50 ke arah Polda Metro Jaya)  justru dibenarkan secara hukum (Lawful).

Rekomendasi tentang kematian 6 anggota FPI harus dilakukan secara utuh dan tidak bisa dilakukan secara parsial, yaitu pemeriksaan sebatas dugaan Unlawfull Killing terhadap kematian 4 anggota FPI dari KM 50 ke Polda Metro Jaya saja, karena kasus ini memiliki causaliteit dengan pendekatan relevansi atas kematian 2 anggota FPI, yaitu antara dugaan adanya Unlawfull Killing di satu sisi dengan Noodweer di sisi lainnya tersebut.   Padahal perlu diketahui bahwa kematian 6 anggota FPI ini sebagai dampak atau akibat dari serangan dan ancaman serangan terlebih dahulu yang dilakukan oleh anggota FPI terhadap penegak hukum.  Rekomendasi yang dibuat secara parsial atas dugaan Unlawfull Killing atas kematian 4 anggota FPI bisa menimbulkan kesan adanya pemahaman sesat kepada publik.

 

Apresiasi dari PPP

“PPP mengapresiasi Polri yang secara serius menindaklanjuti hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM terkait dengan dugaan unlawful killing terhadap 4 orang anggota laskar FPI. Ini menunjukkan bahwa komitmen Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dilaksanakan dengan baik,” kata Waketum PPP, Arsul Sani.

Anggota Komisi III DPR RI ini menilai langkah Polri menaikkan kasus ini ke penyidikan sebagai dasar yang kuat masyarakat. Hukum, kata Arsul, menjadi tajam bagi siapa pun yang melanggar.

“PPP menangkap harapan publik khususnya kalangan umat Islam yang ingin agar proses hukum dapat ditegakkan terhadap anggota Polri sekali pun dipenuhi oleh Kapolri dan jajarannya. Oleh karena, PPP memandang kasus ini bisa menjadi pondasi yang baik untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ‘hukum itu tajam kepada siapapun yang melanggar’, termasuk kepada anggota Polri sendiri,” ujar Arsul.

Arsul mengingatkan kepada semua pihak untuk mentaati proses penyidikan yang masih berjalan di Bareskrim. Arsul tak ingin ada ‘main hakim sendiri’ di masyarakat sebelum dibawa ke meja hijau.

“Namun demikian, dalam proses hukum, tidak boleh juga ada trial by the public or media, oleh karena itu kita ikuti saja terus proses hukumnya tanpa disertai vonis sosial yang mendahului vonis pengadilan tentang kesalahan pidana yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan,” imbuhnya.

Kasus dugaan pembunuhan yang terjadi di luar hukum atau unlawful killing terhadap empat orang laskar FPI sebelumnya mulai diselidiki Bareskrim Polri. Status tiga anggota Polda Metro Jaya yang diduga menganiaya-membunuh 4 laskar FPI adalah terlapor. “Saya ulangi lagi penjelasan bahwa 3 anggota sudah berstatus sebagai terlapor sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Komnas HAM tersebut. Saat ini masih diproses,” ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Jakarta Selatan.

“Tentunya untuk seperti yang ditanyakan tadi kalau anggota berstatus akan melalui mekanisme, melalui sidang etik, saat ini proses masih berjalan,” tambah Ramadhan.

Tiga anggota Polda Metro Jaya ini untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas terlebih dulu. Hal itu disebabkan masih berjalannya pemeriksaan. “Sementara (3 anggota Polda Metro Jaya) tidak melaksanakan tugas ya,” ujar Ramadhan.

 

Belum Dihentikan

Muncul dugaan bahwa Polri telah menghentikan penyidikan kasus unlawful killing ini karena salah satu terlapor meninggal dunia. Padahal kenyataan proses masih terus berjalan. Seperti disampaikan Kapolri dalam rapat bersama Komisi III DPR. “Perkara unlawful killing saat ini sudah masuk tahap pertama, ada petunjukan P19 dari kejaksaan, sudah kami lengkapi, dan mudah-mudahan minggu ini segera kami kirim ke kejaksaan,” ujar Kapolri. Sebelumnya, TP3 mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil temuan mereka, kasus pembunuhan enam Laskar FPI tersebut merupakan pelanggaran HAM berat.

Mereka pun mendesak Pemerintah, dengan dukungan lembaga-lembaga terkait, untuk memproses kasus pembunuhan ini sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD menegaskan jika memang ada pelanggaran HAM berat terhadap enam laskar FPI, TP3 diminta menyerahkan bukti.

 

“Saya katakan, Pemerintah terbuka. Kalau ada bukti, mana pelanggaran HAM beratnya itu? Mana? Sampaikan sekarang, atau kalau ndak nanti sampaikan menyusul kepada Presiden,” ujarnya.

Dari uraian situasi dan laporan ter-update tentang kasus unlawful killing ini, bisa kita lihat betapa rumit. Namun yang pasti, proses penanganan kasus ini masih terus berjalan. Secara Institusi tentu Polri berkepentingan bahwa lembaga penegak hukum ini harus bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Polri telah mengajukkan 3 terlapor pelaku unlawful killing ini, meskipun yang satu dilaporkan meninggal dunia. Hal ini bukan berarti penyidikan akan berakhir. Karena sesuai rekomendasi Komnas HAM, kasus ini tidak berkaitan dengan Pelanggaran HAM berat. Untuk itu, proses penyidikan bisa terus berjalan dengan penanganan 2 terlapor yang masih ada agar bisa diadili di pengadilan pidana secara transparan.

Tidak ada satu pun institusi atau lembaga penegak hukum di Indonesia, yang ingin membuat situasi hukum di Indonesia berantakan. Justru dengan kasus ini, kesempatan bagi Polri untuk terus mawas diri dan berbenah untuk kemajuan bangsa dan negara. Semua bertindak dan bersikap berdasarkan hukum, bukan suka atau tidak suka melainkan dengan prosedur hukum dan sistem yang baik. (SAF).

Exit mobile version