Site icon www.ikromulmuslimin.com

Balada Munarman: dari aktivis, pengacara berakhir di bui

Munarman, eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), ditangkap oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada Selasa (27/4/2021). Benarkah penangkapan ini melanggar undang-undang ? Adakah pesan atau kode keras polisi kepada aktivis lainnya ?

Jakarta – (29/04/2021). Munarman dijemput dari kediamannya di daerah Pamulang, Tangerang Selatan, sekitar pukul 15.30 WIB. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, penangkapan Munarman merupakan hasil dari pengembangan kasus terorisme sebelumnya. “Jadi terkait kasus baiat (pengukuhan) di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan. Jadi ada tiga hal itu,” kata Ahmad. Meski demikian, belum diketahui keterkaitan Munarman dengan jaringan atau kelompok teroris di Indonesia.           “Nanti kami telusuri. Informasi sementara, baiat kalau yang di Makassar itu ISIS (NIIS), ya,” ujar Ahmad. Setelah ditangkap Tim Densus 88 Antiteror Polri, Munarman dibawa ke Polda Metro Jaya untuk diperiksa.

Rekam Jejak 

            Munarman lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 16 September 1968.  Dia mulai terjun ke dunia advokasi ketika menjadi relawan di sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Palembang pada1995. Namanya mulai dikenal secara nasional ketika menjabat sebagai koordinator KontraS Aceh pada medio 1999-2000. Pada 2002, Munarman terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2002-2007. Munarman semakin dikenal karena keikutsertaannya dalam Tim Pengacara pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba’asyir. Ketika itu, Abu Bakar Ba’asyir terjerat kasus Bom Bali dan divonis 2,5 tahun penjara.             Selepas tidak mendampingi Ba’asyir, Munarman mulai dekat dengan jaringan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kedekatannya dengan HTI itu membuat Munarman mulai mengenal sejumlah tokoh, termasuk Ketua FPI Habib Rizieq Shihab.  Perkenalannya dengan Habib Rizieq Shihab membawa Munarman bergabung dengan FPI.

            Di FPI, Munarman sempat menduduki sejumlah posisi seperti Panglima Komando Laskar Islam (KLI), Juru Bicara FPI, dan yang terakhir Sekretaris Umum FPI. Ketika menjabat Panglima KLI, Munarman sempat divonis penjara 1,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat pada Oktober 2008. Vonis serupa juga dijatuhkan kepada Ketua FPI Habib Rizieq Shihab. Majelis Hakim menyatakan, keduanya terbukti secara sah menganjurkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum secara bersama-sama. Hal ini terjadi dalam kasus penyerangan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan atau AKKBB pada peristiwa Insiden Monas 1 Juni 2008.

Insiden siram air

            Insiden siram air teh Salah satu hal terkait Munarman yang paling dikenang oleh masyarakat adalah ketika dia menyiramkan air teh ke muka seorang narasumber dalam acara live talkshow di sebuah stasiun televisi swasta. Adegan siram air teh yang dilakukan Munarman ke sosiolog Tamrin Amal Tomagola di acara ”Apa Kabar Indonesia” TV One menjadi buah bibir warganet pengguna media sosial kala itu. Dalam hitungan menit, adegan itu beredar di Facebook dan Twitter, mulai dari potongan adegan dalam bentuk gambar hingga video. Reaksi dari pengguna media sosial pun beragam. Kebanyakan mencaci, tetapi tidak sedikit yang setuju pada tindakan Munarman. Penyair Sitok Srengenge berkomentar ”Kalah pikiran kok ngamuk!” sewaktu me-retwit berita penyiraman tersebut melalui akunnya, @1Srengenge. Adapun pengamat media dan Direktur LSPP Jakarta, Ignatius Haryanto, melalui akun @IgnHaryanto, menulis ”Jika narsum smp tdk bisa kendalikan di dpn tivi dan menyerang narsum lain, org ini tak layak jd narsum dimanapun..#munarman#”.

            Namun, tidak sedikit pengguna Twitter mendukung tindakan Munarman, yang kala itu menjabat sebagai Jubir FPI. Warganet beralasan, apa yang dilakukan Tamrin tidak etis karena memotong bicara seseorang, terlebih kemudian menunjuk muka Munarman. Menanggapi kehebohan akibat insiden tersebut, akun resmi stasiun televisi pengelola acara bincang-bincang itu, @akipagi_tvone, menuliskan permohonan maaf.  “segenap crew apa kabar indonesia memohon maaf kepada pemirsa atas kejadian tidak terduga yang baru saja terjadi”.

Penuh kontroversi dan kode keras

            Melihat rekam jejaknya, Munarman memang tampaknya memiliki pemikiran dan ideologi keras, temperamental dan sangat intoleran. Seolah hanya dialah sang pemilik kebenaran di bumi Indonesia. Yang berseberangan dengan dia, termasuk penegak hukum layak untuk dilawan. Puncaknya ketika menyiramkan air teh ke wajah pengamat politik Thamrin Amal Tomagola menunjukkan secara terang-benderang karakter sebenarnya dari Munarman. tak mengenal adab, meskipun yang dihadapi jelas lebih tua dari dia. Revolusi akhak yang didengungkannya bersama FPI seolah hanya berlaku kepada orang di luar dia. Orang lain harus berubah tapi, dia sendiri mempertontonkan akhlak yang bertolak belakang dengan akhlak Islam. Maka pro kontra penangkapan dia menjadi pembicaraan netizen belakangan ini. Perihal ditangkapnya Munarman, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane membeberkan tujuan polisi menangkap Munarman. Menurut Neta penangkapan kuasa hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) itu kode keras dari polisi agar FPI tidak lagi bersuara. “Tujuannya agar eks FPI tiarap setiarap tiarapnya,”

            Neta menegaskan, apalagi FPI saat ini imam besarnya rizieq sudah ditahan. “Selama ini, meski Rizieq sudah ditahan, masih ada sejumlah figur eks FPI yg belum tiarap,” terangnya.

Karena itu, tambah Neta, dengan penangkapan Munarman oleh densus 88 tokoh-tokoh FPI untuk diam. “Tentunya kalangan polri berharap figur-figur keras di FPI tiarap setiarap tiarapnya,” pungkasnya. Munarman ditangkap atas dugaan keterlibatannya dalam pembaitan di UIN Jakarta, Medan, dan Makassar. Dia juga disebut berperan dalam membuat jaringan JAD dan ISIS di Indonesia.

Sudah tepat   

            Sedikit berbeda dengan Neta S. Pane, Eks politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai penangkapan pengacara Habib Rizieq Shihab, Munarman oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri sudah tepat. Polisi menduga eks sekretaris umum Front Pembela Islam (FPI) itu terlibat dugaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme. Kemudian, Munarman diduga bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme dan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. “Polri sudah benar dan sudah tepat menangkap Murnaman yang memang dari bukti-bukti video yang selama ini beredar hadir dalam baiat terorisme,” ucap Ferdinand.

            Masih menurut Ferdinand, meski Munarman mengaku hadir sebagai narasumber dan membantah terlibat tindak terorisme, tetapi dia mengetahui aktivitas terlarang tersebut. “Dia secara sadar telah menyembunyikan informasi tentang terorisme dan tidak melaporkannya kepada aparat kepolisian, itu juga pidana,” ucap Ferdinand.

Ferdinand juga meyakini polisi sudah mengantongi bukti dan data serta informasi terkait aktivitas Munarman yang menunjukkan keterlibatannya dalam tindak pidana terorisme. Jadi, polisi tak mungkin melakukan penangkapan secara sembarangan dan serampangan,” tegas pria asal Sumatera Utara ini. Oleh karena itu dia berharap agar Polri terus mengembangkan penyidikan atas penangkapan Munarman dan menangkap pelaku lainnya yang diduga terlibat. “Agar terorisme hilang dari republik ini,” pungkas Ferdinand Hutahaean.

Bukti kuat

            Sejalan dengan Ferdinand, pengamat lain juga menilai, penangkapan Munarman atas dugaan terkait terorisme diyakini dilakukan karena adanya bukti kuat. Munarman disebut kepolisian setidaknya diduga terlibat dalam sejumlah kasus terorisme di Tanah Air, termasuk peristiwa pengeboman gereja Makassar. Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, meyakini Munarman tidak mungkin ditangkap tanpa pertimbangan matang alias ketidakcukupan bukti. “Densus 88 selalu menangkap orang dengan bukti yang kuat. Sepanjang 19 tahun Densus berdiri belum pernah ada tersangka bebas di pengadilan,” kata Ridwan.

            Ridwan memandang penangkapan Munarman adalah bagian dari usaha Densus 88 dalam memenuhi tugasnya di bidang penanggulangan teror di Tanah Air. Publik diminta menunggu status apa yang nantinya diberikan kepada Munarman usai proses pemeriksaan.”Densus punya 14 hari pemeriksaan untuk menentukan status Munarman, itu diatur dalam UU No 5 Tahun 2018,” ujar Direktur The Indonesia Intelligence Institute itu. Di sisi lain, Ridwan menganggap penangkapan Munarman tidak berhubungan dengan persidangan yang tengah dijalanin eks Imam Besar FPI  Habib Rizieq Shihab (HRS). Munarman sebelumnya tercatat sebagai anggota tim pengacara HRS. “Munarman ditangkap Densus dalam kaitan tindak pidana terorisme sedangkan sidang Rizieq adalah kasus kerumunan Corona. Tidak ada hubungannya,” ucap Ridwan.

            Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), Edi Hasibuan, juga yakin Densus memiliki bukti yang cukup dalam menangkap Munarman. “Kita yakin polisi punya bukti yang cukup. Polri tidak pernah mundur untuk menangkap siapa pun jika terbukti melanggar hukum,” kata Edi. Menurut Edi, masyarakat harus memberikan kesempatan kepada penyidik untuk memeriksa Munarman dalam tujuh kali 24 jam. “Kita tetap memegang praduga tak bersalah terhadap Munarman,” ucap Edi.

Wajib mendapat bantuan hukum

            Anggota Tim Advokasi dan Aktivis (Taktis), Hariadi Nasution, mengaku kesulitan menemui kliennya Munarman. Padahal menurutnya berdasarkan pasal 54, 55 dan 56 KUHP seharusnya Munarman bisa langsung mendapatkan bantuan hukum. “Terlebih ancaman pidana terhadap klien kami lebih dari 5 tahun. Sehingga klien kami wajib mendapat bantuan hukum,” ujarnya. Tak sampai di sana, tuduhan terkait terorisme pada Munarman juga disebut tak mendasar. Mengingat, Munarman dan FPI disebutnya jelas telah mengatakan bahwa tindakan ISIS tidak sesuai keyakinan mereka. Bahkan, Munarman disebut Hariadi dalam berbagai kesempatan telah mengajak masyarakat untuk menghindari ajakan dari situs-situs terkait. Khususnya, yang mengarahkan kepada tindakan ekstrimisme. “Terkait temuan di gedung eks DPP FPI oleh kepolisian adalah deterjen dan pembersih toilet untuk kerja bakti masjid dan mushola,” lanjut dia.

            Sedangkan temuan di kediaman Munarman, menurutnya, hanya buku-buku intelektual koleksi pribadi. Dengan alasan itu menurut Heriadi, setiap proses penegakan hukum terhadap Munarman harus menjunjung tinggi HAM dan asas hukum. Ia juga mempermasalahkan penyeretan paksa Munarman dan penutupan wajahnya saat di gelandang ke Polda Metro Jaya, diklaim Hariadi menyalahi UU dan prinsip hukum serta Hak Asasi Manusia. Utamanya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat 3 UU No.5 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Sementara itu anggota tim kuasa hukum Munarman, Yanuar Aziz, mengatakan pihaknya berencana mengajukan gugatan praperadilan. Aziz mengatakan sejak penangkapan yang dilakukan oleh tim Densus 88 Antiteror Polri di kediaman Munarman mereka langsung membentuk tim kuasa hukum yang berjumlah sekitar 40 orang.

Standar International

            Soal penutupan mata saat penangkapan, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan alasan mantan Sekretaris Umum FPI, Munarman ditutup matanya saat ditangkap Densus 88 Antiteror. “Standard internasional penangkapan tersangka teroris ya seperti itu,” kata Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta. Menurut Ramadhan, bahwa hal tersebut dilakukan mengingat bentuk kejahatan terorisme yang memerlukan pendekatan berbeda dari kasus-kasus lainnya. Apalagi, kegiatan terorisme bersifat antar jaringan. Sehingga, menutup mata tersangka perlu dilakukan.

            “Penangkapan satu jaringan akan membuka jaringan yang lainnya. Yang kedua, sifat bahayanya kelompok teror yang bisa berujung jiwa petugas lapangan,” ucap Ramadhan. Oleh sebab itu, penutupan mata dilakukan agar tersangka tak mengenali petugas yang melakukan penangkapan selama operasi berlangsung. Pernyataan Munarman sebagai tersangka sudah dikeluarkan pada 20 April 2021 dan dilakukan penangkapan pada 27 April 2021.

Ajukan praperadilan

            Seorang pengacara senior yang enggan disebutkan jatidirinya juga menilai bahwa jauh sebelumnya sudah banyak pihak yang menyuarakan tentang Munarman terkait dengan beberapa kejadian pengeboman terakhir. ”Pasti polisi punya alasan dan bukti cukup kuat hingga melakukan penangkapan. Karena jika asal tangkap, pasti mudah dimentahkan mulai dari penyidikan hingga pengadilan,” tegasnya. Lanjut dia, akan lebih baik kalau kita tunggu hingga sampai proses hukum, mudah-mudahan Munarman mau melakukan upaya praperadilan kepada polisi. ”Biar kelihatan benar/sah tidaknya penetapan tersangka dan upaya paksa penangkapan dan penahanan tersebut.

Bukti awal sudah lebih dari cukup

            Soal penangkapan dengan menggunakan UU No.15/2003, kemungkinan tindakan itu dilakukan berdasarkan pasal 26 ayat (2). Yaitu soal informasi intelijen sebagai bukti permulaan. Namun, untuk menggunakan informasi intelijen, penangkapan harus disertai dengan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Ini boleh jadi bahan pertanyaan keabsahan penangkapan.

            Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, mengatakan bahwa memang sering terjadi kesalahpahaman soal Pasal 26 ayat 2. Pelaksanaannya, menurut Yusril, juga harus mengacu pada Pasal 112 KUHAP tentang apa yang dimaksud bukti permulaan yang cukup. “Harus ada dua bukti. Kalau hanya ada satu bukti laporan intelijen, bisa dilakukan penyelidikan apabila sudah ada penetapan dari ketua pengadilan,” jelasnya.             Namun demikian, ia menambahkan, dalam kasus penangkapan akhir-akhir ini belum pernah satu kali pun ketentuan Pasal 26 itu dipakai. “Mungkin di bukti permulaannya sudah lebih dari cukup sehingga tidak perlu Pasal 26,” tutur Yuril. Demikianlah, bahwa berdasarkan aturan juga pendapat berbagai ahli, soal penangkapan Munarman ini sudah sangat terang-benderang. Apalagi terorisme adalah kejahatan ekstra atau extraordinary crime sehingga perlu penanganan dengan ekstra. Dalam hal ini, Polri sudah sangat memahaminya dan melakukannya dengan prosedur yang tepat. (Saf).

Exit mobile version