Site icon www.ikromulmuslimin.com

Jejak Digital dan Inkonsistensi Sikap

Oleh: Ady Amar

Hidayatullah.com | JEJAK digital seperti mengiringi perjalanan siapa saja yang menorehkannya. Jejak digital itu tidak bisa dihapus. Jejak digital bisa memperlihatkan sikap seseorang itu teguh pada pendirian, atau sebaliknya.

Jejak digital seperti menggambarkan potret seseorang dari masa ke masa. Dan itu tentang apa yang pernah diucapkannya pada masa lalu, dan jika dibaca ulang pada masa kini masih tetap ada kesesuaian, atau justru malah ketidaksesuaian dengan apa yang pernah dinyatakannya.

Kesesuaian sikap seseorang bisa dilihat dari jejak digitalnya. Dan jika ia intelektual yang aktif menuliskan pemikirannya, itu semata karena ia sadar pada apa yang disampaikan itu bernilai kebenaran.

Kita bisa lihat jejak digital seseorang yang ajek tidak berubah, meski ia sedang menjabat di pemerintahan dan punya jabatan tinggi, dengan saat ia masih sebagai “gelandangan” intelektual yang ngamen ke sana kemari.

Jejak digital terasa kejam bagi yang bersangkutan, jika pada saat tertentu ada perubahan sikap, dan itu sejalan dengan jabatan prestisius yang diembannya. Jika jejak digital itu lalu ada yang menampilkan ke ruang publik, entah untuk pengingat atau digunakan sebagai penampar, disebabkan sikap yang berubah 180 derajat.

Perubahan sikap itu bagai menempelkan foto pada dinding yang tidak berkesesuaian gambar. Maka yang muncul potongan foto yang satu dengan yang lain tidak saling menguatkan, tidak muncul harmoni indah yang sedap dipandang mata.

Dalam bahasa lain perubahan sikap yang muncul dan tampak dari  jejak digital, itu biasa disebut inkonsistensi sikap. Tentu perubahan sikap itu tidak bisa diserupakan dengan filosofi Jawa yang dikenal sebagai isuk dele, sore tempe.

Dalam filosofi itu, kedelai menjadi tempe itu memang satu kesatuan, ada harmoni di dalamnya. Memang ada unsur kesengajaan yang bermain di situ. Tapi tetap saja itu disebut sebagai ungkapan inkonsistensi sikap, walau tidak benar-benar tepat.

Jejak Digital Itu Kejam

Jejak digital bisa dibaca berulang-ulang, kapan saja dan tidak dibatasi waktu. Itu jika lewat tulisan. Jika itu diungkap lewat lisan, maka jejak digital itu bisa ditonton kapan saja, dan juga tidak terbatas waktu.

Menjadi olok-olok jika jejak digital itu durasi masa perubahan sikapnya terlalu pendek. Saat itu diungkap ada perubahan sikap signifikan di situ. Baik yang tertulis, atau yang bisa dilihat dengan video, ungkapan yang tidak berkesesuaian dengan sikapnya saat ini.

Saat jejak digital itu ditulis atau disampaikan, saat itu ia masih “ngamen” ke sana ke mari, sebagai pribadi yang tampak lurus. Bicaranya bak malaikat suci, yang terbebas dari salah.

Ada ungkapannya yang menarik, saat ia menyampaikan kritik pada mereka yang masuk dalam kekuasaan, dengan ungkapannya, “… Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.”

Ia sampaikan itu di hadapan acara talk show ILC, sebuah acara berkelas yang lalu harus dibubarkan. ILC bagaimanapun ada andil turut membesarkannya. Ia dapat panggung kehormatan di acara itu, yang menjadikan namanya makin moncer. Lalu ia masuk pemerintahan. Tapi sayang justru ia tidak mampu mencegah saat acara itu harus bubar, padahal ia punya jabatan di pemerintahan yang bisa dipakai membelanya.

Adalah Prof Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, yang menorehkan jejak digital, sebagaimana ungkapannya di atas, yang akhir-akhir ini diungkap netizen dengan gencarnya, sebagaimana ungkapannya tadi di atas. Bahkan ada netizen “nakal”, yang mempertanyakan, “Apakah Pak Mahfud saat ini menjelma jadi iblis juga…?”

Meski demikian, ia tetap saja membuat komen-komen baru, baik pernyataan sikap verbal maupun lewat Twitter. Dan apa yang diungkap saat ini, bisa jadi jejak digital untuk diungkap di masa akan datang. Tentunya pada saat ia sudah tidak lagi duduk di pemerintahan.

Hari-hari ini Prof Mahfud sedang “dikuliti” Ustad Tengku Zulkarnain, dan itu tentang cuitannya di Twitter, tentunya sebelum ia duduk di pemerintahan.

“Setiap kasus bisa dicari pasal benar atau salahnya menurut hukum. Tinggal siapa yang lihai mencari atau membeli. Intelektual tukang bisa mencarikan pasal-pasal sesuai dengan pesanan dan bayarannya,” demikian bunyi jejak digital twit Mahfud (9 November 2017).

Ustad Tengku Zul, lewat Twitter-nya, mengatakan, “Ngeri saya jika membayangkan isi twit yang ini.”

“Apa betul twit ini pak @mohmahfudmd yang nulisnya…?” tanyanya, sambil menampilkan screenshot twit Mahfud MD.

“Saya tanya dan minta jawabannya,” tegasnya.

“Kalau jawabnya “iya”, biar saya sedikit bisa menyelami keadaan sekarang ini jika terlihat timpang di mata. Terima kasih.”

Pak Mahfud belum membalas twit Ustad Tengku Zul. Yakin pastilah ia akan menjawab pada waktunya.

Saat ini, bisa jadi, menteri di jajaran kabinet yang paling banyak mengumbar komen adalah Pak Mahfud. Padahal ia sebagai menteri koordinator pada  kementerian, yang harusnya tidak langsung selalu ada di depan lalu berkomentar.

Komen-komen Pak Mahfud akhir-akhir ini memang terkesan kontroversial, tampak ia menikmati komennya jika lalu ada yang berkeberatan. Saat ia bicara, “Jika ingin menyelamatkan rakyat, konstitusi boleh dilanggar,” ujarnya, Rabu (17/3).

Maka bermunculanlah respons yang berkeberatan, misal Prof Jimly Ashidiqi, dan pakar Hukum Tatanegara lainnya. Mereka berkebaratan dengan ungkapannya. Meski buru-buru lalu Prof Mahfud menyatakan bahwa yang disampaikannya itu sebagai teori, dan ada dimuat di buku karya Prof Ismail Suny.

Tidak persis tahu, apa faedahnya Prof Mahfud lempar hal kontroversial itu, hanya ia sendiri yang tahu, dan publik hanya menduga-duga sesukanya.

Tapi setidaknya apa yang disampaikan hari ini, itu jejak digital manusia Mahfud MD, yang sedang berada dalam pemerintahan, dan itu bisa jadi “pengingat” untuknya, saat ia sudah tidak di pemerintahan lagi, dan memilih kembali “ngamen” menjajakan pikiran-pikiran kritisnya, khas oposan. (*)

Rep: Bambang S
Editor: Bambang S

Exit mobile version