Pemolisian masyarakat (Polmas) dinilai ampuh untuk mencegah timbulnya masalah kamtibmas dan menemukan solusi setiap persoalan di masyarakat. Bagaimana dengan keberadaab e-Polmas di era digital ini? Sejauhmana efektivitasnya dalam mencegah dan menangani cyber crime?
Jakarta – (21/03/2021). Perkembangan teknologi informasi serta komunikasi sangat pesat sehingga menyebabkan perubahan drastis dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, serta politik lalu membentuk masyarakat baru yang dikenal sebagai Information Society. Lebih lanjut Information Society dengan berbagai resiko dan kerentanan, sangat memungkinkan terjadinya cyber crime atau kejahatan siber yang memerlukan adaptasi Polri dalam menghadapi situasi ini, tidak hanya melakukan penegakkan hukum namun juga preventif atau pencegahan tindakan kejahatan di ruang siber.
Upaya preventif
Banyak upaya preventif yang sedang dan telah diakukan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Strategi pencegahan melalui cyber campaign, pada 2020 lalu misalnya, dilakukan untuk membangun kesadaran keamanan di ruang siber atau security awareness. Kabareskrim menyampaikan bahwa tingkat kejahatan di media sosial memiliki tren peningkatan yang signifikan dalam lima tahun terakhir. Jumlah kejahatan siber meningkat sebesar 75,73 persen dari tahun 2015 sampai dengan 2019. Pada tahun 2015, jumlah kejahatan siber sebanyak 2.609 kasus. Sedangkan pada 2019 jumlahnya menjadi 4.585 kasus.
Sementara itu kemampuan Polri dalam menyelesaikan kasus kejahatan siber dalam lima tahun tersebut meningkat sangat pesat sebesar 265,70 persen dari 624 kasus terselesaikan pada 2015 menjadi 2.282 kasus yang dapat diselesaikan pada tahun 2019. Sementara itu jumlah kejahatan siber yang terjadi sejak januari hingga pertengahan Juni 2020 mencapai 2.259 kasus dengan tingkat penyelesaian masalah sebanyak 527 kasus.
“Data-data itu menunjukkan bahwa kita terus mengakselerasi diri terhadap dunia siber, meskipun kejahatan berkembang lebih pesat. Kejahatan siber yang paling tinggi secara berturut-turut meliputi: penipuan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, pornografi, dan penyebaran konten bermasalah,” ujar Kabareskrim.
Pemolisian Masyarakat
Semangat Polri melakukan preventif tindak kejahatan sejalan dengan rencana jangka panjang program pemolisian masyarakat. Apa itu pemolisian masyarakat? Pemolisian Masyarakat (Polmas) adalah suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan antara anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Pertanyaan yang muncul selanjutnya, siapakah anggota Polri yang bertugas mengemban Polmas tersebut? Menurut pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat disebutkan bahwa Polmas dilaksanakan oleh a) Pengemban Polmas dan, b) Bhabinkamtibmas.
Menurut pasal 1 angka 3 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat disebutkan bahwa Pengemban Polmas adalah setiap anggota Polri yang melaksanakan Polmas di masyarakat atau komunitas. Sedangkan menurut pasal 1 angka 4 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat yang disebut dengan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) adalah pengemban Polmas di desa atau kelurahan.
Walaupun dalam pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat disebutkan bahwa (1) Pengemban Polmas pada tingkat polda diangkat berdasarkan Surat Perintah Kapolda, (2) Pengemban Polmas pada tingkat polres diangkat berdasarkan Surat Perintah Kapolres. Namun secara implisit dalam pasal 9 tentang 3 model polmas, dalam pasal 10 tentang penjabaran Model A, dalam pasal 11 tentang penjabaran Model B dan dalam pasal 12 tentang penjabaran Model C , disebutkan bahwa pengemban fungsi polmas adalah seluruh anggota Polri, hal ini diperkuat dengan Pasal 11 huruf f Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat disebutkan bahwa Polmas Model B diterapkan melalui intensifikasi kegiatan fungsi-fungsi teknis kepolisian meliputi: Binmas, Sabhara, Lantas, Reserse, Intelijen, Pol Air, Pol Udara, Pol Satwa, Kepolisian Objek Vital dan Brimob. Jadi jelas bahwa sebenarnya pengemban Polmas adalah setiap anggota Polri, bukan hanya tugas Bhabinkamtibmas saja atau anggota Satuan Binmas saja.
Pemolisian Masyarakat Era Digital (E-Polmas)
Sebagaimana diungkap Kabareskrim, perkembangan kejahatan via internet (cyber crime) ini meningkat pesat dari tahun ke tahun dengan modus operandinya berbeda-beda. Itu sebabnya pendekatan Pemolisian Masyarakat (Polmas) harus pula mengikuti perkembangan yakni, dengan menyiapkan Elektronik Polmas atau E-Polmas. Menurut Bayu Suseno alumni STIK-PTIK dalam artikelnya berjudul e-Polmas: Paradigma Baru Pemolisian Masyarakat Era Digital, cara kerja e-Polmas sebenarnya sama dengan Polmas yang dilakukan oleh Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas di dunia nyata. ”Yang membedakan Polmas dengan e-Polmas terletak pada masyarakat yang diajak bermitra, bentuk pesan kamtibmas atau bingluh, dan cara melakukan komunikasi antara Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas,” ujarnya.
Lebih lanjut Bayu mengungkapkan, perbedaan yang pertama adalah masyarakat yang diajak bermitra. Dalam Polmas, masyarakat yang diajak bermitra oleh Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas adalah masyarakat yang berada pada satu wilayah tertentu saja.1 Bhabinkamtibmas mendapat tugas untuk mengemban wilayah hukum 1 desa/kelurahan untuk menjadi desa/kelurahan binaannya. Sedangkan dalam e-Polmas masyarakat yang diajak untuk bermitra adalah masyarakat yang ada di dunia maya (netizen) atau lebih mudah disebut dengan Masyarakat e-Polmas.
Perbedaan yang kedua, lanjut Bayu, adalah bentuk pesan kamtibmas atau materi bingluh. Dalam Polmas, materi bingluh biasanya dalam bentuk manual, disampaikan secara lisan, terkadang dengan menggunakan alat bantu atau alat peraga berupa spanduk, brosur, selebaran dan lain-lain. Sedangkan dalam e-Polmas pesan kamtibmas atau materi bingluh dituangkan dalam bentuk digital yaitu dalam bentuk tulisan dengan desain tertentu yang dilengkapi dengan foto kegiatan (yang sudah dilakukan di dunia nyata tersebut) kemudian di upload ke dalam dunia maya (internet), sehingga masyarakat e-Polmas yang menerima pesan kamtibmas tersebut melalui media internet, bisa membaca dan memahami isi pesan kamtibmas yang disampaikan oleh Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas. Selain itu, masyarakat e-Polmas pun bisa sekaligus melihat foto kegiatan yang sudah dilakukan oleh Bhabinkamtibmas atau Pengemban Polmas di dunia nyata tersebut, sehingga masyarakat e-Polmas pun ikut merasa hadir dalam kegiatan tersebut.
Adapun perbedaan yang ketiga, masih kata Bayu, adalah cara melakukan komunikasi. Dalam Polmas, Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas melakukan komunikasi dengan masyarakat dengan cara manual, misalnya dengan cara mengunjungi masyarakat dari rumah ke rumah, bertatap muka secara langsung dengan masyarakat dalam kegiatan rapat di kelurahan ataupun di FKPM. Sedangkan dalam e-Polmas, Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas melakukan komunikasi dengan Masyarakat e-Polmas dengan cara online, yaitu menggunakan media internet berupa akun messenger (BBM, WA, Telegram dll.), akun sosial media (FB, Twitter, Instagram dll.), blog atau website, forum (kaskus, kompasiana dll.) yang dimiliki oleh Bhabinkamtibmas atau Pengemban Polmas yang terhubung dengan Masyarakat e-Polmas tersebut.
Kelebihan e-Polmas
Dalam prakteknya, e-Polmas memang memiliki beberapa kelebihan (plus) dan kekurangan (minus). Bayu menilai, kelebihan konsep e-Polmas antara lain:
1. Wilayah yang menjadi wilayah binaan adalah tidak terbatas, artinya dalam E-Polmas batas wilayah nyata sudah tidak berlaku lagi. Seorang Bhabinkamtibmas bebas memilih wilayah binaannya (borderless).
2. Masyarakat yang menjadi sasaran pembinaan juga tidak terbatas, artinya dalam E-Polmas seorang Bhabinkamtibmas bebas memilih siapa saja yang akan menjadi target untuk menerima pesan kamtibmas yang disebar.
3. Pesan Kamtibmas dapat disampaikan dengan cara efisien. Coba kita bayangkan, apabila seorang Bhabinkamtibmas memiliki sebuah akun Facebook dengan jumlah teman (friends) maksimalnya adalah 5000 orang. Cukup menggunakan sebuah handphone gadget dengan harga yang terjangkau, seorang Bhabinkamtibmas tersebut bisa dengan mudah mengunggah foto kegiatan bingluh yang sudah dilakukannya ke dalam akun Facebooknya tersebut. Apabila unggahan tersebut dibaca oleh 5000 teman Facebooknya, berarti sama saja dengan melakukan bingluh secara manual yang dihadiri sejumlah 5000 orang.
4. Biaya yang murah. Coba kita hitung biaya yang dibutuhkan apabila kita melakukan bingluh secara manual dengan dihadiri 5000 orang, tentu butuh tempat yang luas, butuh biaya snack dan lain-lain. Dengan menggunakan akun sosial media tersebut, maka seorang Bhabinkamtibmas tidak perlu memikirkan biaya-biaya yang tidak perlu tersebut.
5. Pesan Kamtibmas akan menyebar dengan cepat. Contoh di atas adalah baru 1 akun sosial media saja. Bagaimana bila seorang Bhabinkamtibmas memiliki beberapa akun sosial media, memiliki beberapa akun messenger dan bahkan memiliki website atau blog dengan traffic atau kunjungan yang ramai? Hal ini tentu akan semakin membuat pesan kamtibmas yang disampaikannya menjadi lebih luas jangkauannya.
6. Berita Bhabinkamtibmas secara Online dan gratis.
7. Pesan Kamtibmas menyebarluas seperti virus artinya adalah seluruh pesan kamtibmas bisa disebarkan secara luas melalui dunia internet, dan pesan Kamtibmas ini juga bisa dikirim ulang (resend) oleh netizen lainnya sehingga jangkauan pesan kamtibmas tersebut semakin luas. Tentu hal ini akan memberi nilai positif bagi Bhabinkamtibmas dan organisasi Polri.
8. Pesan Kamtibmas menjadi alat untuk mencegah kejahatan. Trend kejahatan yang berkembang saat ini juga memanfaatkan akun sosial media untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan. Masih ingat beberapa kasus penipuan yang dilakukan dengan menggunakan akun sosial media yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Masih ingat juga kasus prostitusi artis yang menggunakan akun sosial media atau akun messenger. Trend kejahatan di dunia internet selalu berkembang, mulai dari kejahatan konvensional yang disajikan secara online (baca: penipuan dll.) sampai dengan kejahatan cyber yang dilakukan oleh seorang ahli cyber yang tentunya memerlukan keahlian khusus dalam pengungkapannya. Dengan memahami konsep E-Polmas ini maka pesan kamtibmas yang disebar oleh Bhabinkamtibmas juga bermanfaat sebagai alat untuk mencegah kejahatan di dunia internet, karena netizen jadi mengetahui tentang kejahatan yang sedang trend di suatu tempat melalui pesan kamtibmas yang dikirimkan oleh Bhabinkamtibmas tersebut. Netizen juga lebih waspada dan berhati-hati apabila menemukan modus yang sama sehingga terhindar dari kejahatan tersebut.
9. Bhabinkamtibmas menjadi lebih kreatif dan memiliki kemampuan tambahan tentang pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan memahami konsep E-Polmas ini, seorang Bhabinkamtibmas atau pengemban fungsi Polmas bisa mengembangkan kreatifitasnya melalui dunia internet tersebut. Mulai dari desain isi pesan kamtibmas, desain foto atau gambar yang akan digunakan dalam pesan kamtibmas dan lain sebagainya.
Kekurangan e-Polmas
Beberapa kekurangan e-Polmas antara lain: Pertama, penguasaan teknologi yang terbatas. Tidak semua Bhabinkamtibmas memiliki handphone atau smartphone dan tidak semua Bhabinkamtibmas mampu menggunakan handphone yang memiliki fasilitas internet tersebut (penggunaan akun messenger dan akun sosial media).
Kekurangan yang kedua adalah, area layanan internet yang terbatas. Tidak semua daerah di wilayah Indonesia yang mendapatkan sinyal handphone sehingga penggunaan handphone atau smartphone tidak bisa digunakan untuk mengoptimalkan kinerja Bhabinkamtibmas dan Pengemban Polmas tersebut. Kekurangan lainnya yang seringkali terjadi adalah kurangnya pemahaman Bhabinkamtibmas terhadap penggunaan teknologi informasi sehingga selalu berkejaran dengan pelaku kejahatan itu sendiri.
Berlomba dengan Kejahatan di Dunia Cyber
”Tahukah anda? Jika kalian mengunduh file ”pdf” dan menghasilkan file ”exe”, segera hapus karena itu adalah virus,” demikian isi pesan pada akun @ccicpolri yang dikelola Bareskrim Polri. Konten ini dalam 1 hari saja mendapat komentar positif (likes) mencapai lebih dari seribu. Namun yang menggelitik, justru banyak pula komentar negatif dari netizen. Akun @elang_first berkata: ”Kurang jauh nih maennya, ga cuma file pdf boss. file office apapun klo extentionnya “.exe” itu udah pasti virus. Jgn setengah2 ksh infonya.” Komentar lain dari akun @deddyhermansyah: ”gak semuanya virus pak/bu. ada yang hanyak sekedar adware saja.” Boleh jadi, teks dari CCIC Polri ini dibuat supaya mudah dimengerti, tapi begitulah, netizen selalu punya cara pandang yang berbeda. Begitu pula dengan kejahatan di dunia siber (cyber crime).
Peningkatan kemampuan aparat dan perangkat hukum seperti berlomba dengan kejahatan di dunia siber. Dengan kemudahan mengakses internet saat ini bila tidak diimbangi dengan pemahaman masyarakat tentang cyber crime justru membuat masyarakat menjadi sasaran yang empuk bagi pelaku cyber crime tersebut. Data berikut ini bisa menjadi salah satu tolak ukur. Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional (Pusopskamsinas) Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat adanya 88.414.296 serangan siber yang telah terjadi di Indonesia sejak 1 Januari-12 April 2020. Kepala Bagian Komunikasi Publik BSSN, Tri Wahyudi mengatakan, jenis serangan siber terbanyak yakni Trojan Activity (56 persen), Information Gathering (43 persen), dan Web Application Attack (1 persen). “Yang paling banyak adalah trojan activiti dengan 56 persen,” kata Tri.
Dari jutaan serangan siber itu, Tri mengungkapkan, puncak serangan tertinggi terjadi pada 12 Maret 2020 yang mencapai 3.344.470 serangan per harinya. Setelah itu serangan siber berangsur menurun secara signifikan semenjak diberlakukannya kebijakan work from home (WFH) di berbagai tempat. Namun, meski selama WFH berlangsung serangan siber juga tetap terjadi justru memanfaatkan isu yang terkait dengan Covid-19. “Walaupun amanat surat edaran Kemenpan RB untuk WFH, namun kami masih melakukan monitoring kejadian siber dan layanan aduan siber,” katanya lagi. Sementara itu, guna menekan kasus-kasus serangan siber ini, pihak BSSN telah bekerja sama dengan tim cyber crime Mabes Polri dan juga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). “Untuk tindakan kami melakukan kolaborasi dengan cyber crime mabes Polri juga Kemkominfo,” katanya lagi.
Kemudian, ia mengimbau masyarakat untuk mengikuti panduan dan keamanan yang telah disampaikan oleh BSSN. “Masyarakat hendaknya mengikuti panduan dan imbauan keamanan yang telah kami sampaikan di website dan sosial media BSSN. Jadi, kami melakukan literasi secara online ke masyarakat,” lanjut dia. Tak hanya itu, tindakan pencegahan serangan siber juga disampaikan agar masyarakat patuh dan tidak melanggar Undang-undang yang berlaku, yakni UU ITE. Sebab, apabila masyarakat melanggar, maka akan dikenai sanksi denda maupun pidana. “Sanksinya dengan UU ITE, terkait peretasan ada di pasal 30 tentang aktivitas hacking. Bervariasi hukuman pidana dan/atau denda. Pasal 46 untuk jenis sanksi,” terang Tri. Berikut ini bunyi pasal 30 dan 46 UU ITE yang perlu kita pahami.
Pasal 30 UU ITE
- Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.
- Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik.
- Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 46 UU ITE
- Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600 juta.
- Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 700 juta.
- Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 juta.
Tak sedikit pihak yang kontra dengan UU ITE ini yang dinilai mengandung pasal multitafsir, dapat membungkam kebebasan berekspresi masyarakat sehingga pasal-pasal Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29 pantas dihapuskan dari UU ITE. Selain itu, ada pula kelompok pasal yang rawan disalahgunakan, seperti Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40 ayat 2a dan 2b, maupun Pasal 45.
Dampak dari UU ITE mencakup dampak politik dan dampak sosial. Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto menjelaskan, dampak politik UU ITE misalnya adalah politisi atau kekuasaan memakainya untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Sementara dampak sosial dari UU ITE ini dapat merobek jalinan sosial. Sebab dengan UU ini, masyarakat lebih mudah melaporkan orang lain dengan berbagai motif, seperti balas dendam, barter kasus, efek terapi kejut, hingga mempersekusi orang yang berbeda pendapat. Di sinilah polisi dipandang rawan melakukan tindakan over acting dan menyalahgunakan wewenang atas nama hukum dan pemerintah.
Kehadiran Polisi
Keberadaan Undang-undang ITE dan E-Polmas, bagaimana pun patut diapresiasi sebagai upaya menertibkan kehidupan digital agar tidak melampaui batas dan terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Bayu Suseno menilai meningkatkan kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat (di dunia nyata maupun maya), adalah agar polisi mampu mentransfer ilmu kepolisian berupa PESAN KAMTIBMAS kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup untuk bisa menjadi polisi bagi dirinya sendiri sehingga kejahatan dapat dicegah lebih dini.
Problem Solving, artinya dengan kehadiran polisi tersebut, masyarakat dapat berdialog dengan polisi (di dunia nyata maupun maya) agar tercipta komunikasi yang baik dan bisa memberikan solusi atau jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan bahkan bisa juga untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh polisi itu sendiri. Namun demikian, lanjut Bayu, e-Polmas tidak berarti menghapus Polmas. Cara penyampaian pesan Kamtibmas secara manual tetap harus dilaksanakan seperti biasa. Cara penyampaian pesan Kamtibmas dengan memanfaatkan teknologi dilaksanakan bersamaan dengan cara manual itu sendiri.
e-Polmas bersifat melengkapi dan mengisi kekosongan/keterbatasan yang dialami Bhabinkamtibmas dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat yang menjadi binaan sesuai dengan wilayah tugasnya. e-Polmas juga bersifat universal karena pesan Kamtibmas yang disampaikan oleh Bhabinkamtibmas tersebut bisa juga disampaikan kepada masyarakat global dengan menggunakan fasilitas media sosial, messenger, website, forum dan lain-lain yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat global tersebut. (Saf).