Pemanfaatan teknologi informasi, new media (media sosial) dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Kecuali dampak positif, dampak negatif teknologi informasi juga banyak. Maka perlu paham cyber law untuk mengantisipasi cyber crime.
Jakarta. 17/03/21. Seiring dengan perkembangan teknologi internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut dengan Cyber Crime atau kejahatan melalui jaringan Internet. “Kasus Cyber Crime di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya e-mail, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam program komputer kini semakin sering terjadi,” ungkap Prof Dr. M Daud Silalahi, SH, Founder DAUD SILALAHI & LAWENCON ASSOCIATES. Maka semakin penting keberadaan cyber law.
Pengertian Cyber Law
Menurut Daud, Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet/elektronik yang dimulai pada saat mulai “online” dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet/elektronik sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju.
Lebih lanjut Daud menjelaskan dengan mengutip Jonathan Rosenoer (1997). Rosenoer membagi ruang lingkup Cyber Law dalam beberapa hal diantaranya: Copyright (hak cipta), Trademark (hak merek), Defamation (pencemaran nama baik), Hate Speech (penistaan, penghinaan, fitnah), Hacking, Viruses, Illegal Access, (penyerangan terhadap komputer lain), Regulation Internet Resource (pengaturan sumber daya internet), Privacy (kenyamanan pribadi), Duty Care (kehati-hatian), Criminal Liability (kejahatan menggunakan IT), Procedural Issues (yurisdiksi, pembuktian, penyelidikan, dll.), Electronic Contract (transaksi elektronik), Pornography, Robbery (pencurian lewat internet), Consumer Protection (perlindungan konsumen), dan E-Commerce, E-Government (pemanfaatan internet dalam keseharian).
Tujuan Cyber Law
Cyber Law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, maupun penanganan tindak pidana. Cyber Law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme. “Dengan kata lain, Cyber Law diperlukan untuk menanggulangi kejahatan Cyber atau cyber crime,” tegas Daud.
Masih menurut Daud, Cyber Law penting diberlakukan sebagai hukum di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh perkembangan zaman. Menurut pihak yang pro terhadap Cyber Law, sudah saatnya Indonesia memiliki Cyber Law, mengingat hukum-hukum tradisional tidak mampu mengantisipasi perkembangan dunia maya yang pesat.
“Cybercrime” sebagai bentuk kejahatan di dunia maya
Menurut M.E Fuady, pengajar pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, dalam artikelnya berjudul “Cybercrime”: Fenomena Kejahatan melalui Internet di Indonesia, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai:”…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpe- tration, investigation, or prosecution”. Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: “any illegal, un- ethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”.
Dari beberapa pengertian di atas, Wisnubroto (1999) seperti dikutip Fuady, merumuskan computer crime sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas, computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih. ”Selanjutnya, disebabkan kejahatan itu dilakukan di ruang cyber melalui internet, muncul istilah cybercrime,” tegasnya.
Bagi sebagian besar masyarakat yang terbiasa menggunakan media teknologi komunikasi (telekomunikasi), cybercrime bukanlah istilah yang asing terdengar. Cybercrime atau kejahatan di ruang maya merupakan sebuah fenomena yang tidak terbantahkan. Tidak terlihat namun nyata. Terdapat berbagai kasus cybercrime yang kian hari kian meningkat, terutama di negara-negara yang tidak memiliki kepastian hukum dalam bidang teknologi komunikasi modern (convergence).
Teknologi komunikasi yang memiliki kekuatan dahsyat dalam merubah perilaku komunikasi manusia, masih menurut Fuady, selain membawa keuntungan berupa kemudahan dalam berkomunikasi, ternyata memiliki “sisi gelap”. Teknologi membawa kerugian, salah satunya berupa semakin dipermudahkannya “penjahat” dalam melakukan kejahatannya. Kecanggihan teknologi memungkinkan penjahat cyber memangsa korban-korbannya. Meski tidak mau disebut sebagai pelaku kriminal, sebagai akibat dari perbuatannya, mereka tidak ada bedanya dengan seorang penjahat.
Agus Raharjo dalam bukunya Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi Tinggi, terbitan Bandung: Citra Aditya Bakti 2002, sebagai sebuah gejala sosial, kejahatan telah ada sejak awal kehidupan manusia di dunia, namun kemajuan teknologi komunikasi membuat kejahatan dalam bentuk primitif berubah menjadi sebuah kejahatan yang lebih maju (modern). Kejahatan konvensional di dunia nyata muncul dalam dunia maya (virtual) dengan wajah kejahatan yang telah diperhalus sedemikian rupa. Kehalusan kejahatan virtual atau cybercrime membuat masyarakat luas, khususnya di negara berkembang yang memiliki kesenjangan digital seperti Indonesia, tidak merasakannya sebagai sebuah bentuk kejahatan. Padahal, sudah begitu banyak korban (victim) dan kerugian moril dan materil akibat cybercrime. Korbannya dapat berupa netizen (penduduk dunia virtual/penghuni cyberspace) dan masyarakat luas yang awam.
Hacker dan Cracker
Untuk memahami cybercrime, Fuady menyarankan perlunya dipahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan hacker, cracker dan beberapa lainnya. “Karena, seperti halnya kehidupan nyata, ada di antara mereka yang “hitam” dan “putih”, ada yang berlaku seperti pahlawan dan penjahat,” tegasnya.
Hacker secara harfiah berarti mencincang atau membacok. Dalam arti luas adalah mereka yang menyusup melalui komputer ke dalam jaringan komputer (Republika, 22 Agustus 1999). Menurut Riyeke Ustadiyanto dalam Framework e-Commerce. Yogyakarta 2001, ada definisi yang relevan, yakni hacker adalah orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Bila komputer, maka dia pandai menggunakannya. Ia sangat menguasai komputer. Hacker adalah orang- orang yang gemar mempelajari seluk-beluk sistem komputer dan bereksperimen dengannya. Mereka pandai untuk menyusup ke dalam jaringan komunikasi suatu institusi di dunia maya. Hacker menjunjung tinggi etika atau norma yang berlaku di dunia maya. Mereka anti penyensoran, anti penipuan, dan pemaksaan kehendak pada orang lain.
Mereka memegang prinsip bahwa meng-hack untuk tujuan meningkatkan keamanan jaringan internet. Misalnya, bila ada sebuah perusahaan perbankan mengatakan bahwa jaringan sistem komunikasi mereka sudah sangat canggih dan mustahil dibobol, tidak dapat ditembus oleh siapa pun, maka hacker tertantang untuk mencoba dan setelah berhasil mereka memperingatkan betapa lemahnya sistem informasi perusahaan tersebut. Oleh karena itu, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya direkrut perusahaan untuk mengamankan sistem informasi dan komunikasi di dunia maya.
Berikutnya adalah Cracker. Di dunia cyber, ada pula hacker yang memiki sisi gelap. Mereka disebut cracker. Para cracker ini secara ilegal melakukan penyusupan dan perusakan terhadap situs, website, dan sistem keamanan jaringan internet untuk memperoleh kesenangan dan keuntungan. Mereka bangga dan sombong atas keberhasilan mereka merusak situs sebuah perusahaan. Serangannya sangat luar biasa. Kementerian Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon mencatat serangan 100 cracker dalam satu hari (Republika, 6 Januari 2000).
Adapun Carder, sementara itu, adalah orang yang melakukan cracking, yakni pembobolan terhadap kartu kredit untuk mencuri nomor kartu orang lain dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Biasanya yang menjadi korbannya adalah mereka yang memiliki kartu kredit dalam jumlah besar. Menurut hasil riset, pada tahun 2002, Indonesia menempati urutan kedua setelah Ukraina dalam kejahatan carding.
Tindakan lainnya adalah Deface. Deface adalah tindakan menyusup ke suatu situs, lalu mengubah tampilan halaman dari situs dengan tujuan tertentu. Indonesia pernah diserang para deface yang mengubah situs TNI. Tampilan gambar Burung Garuda Pancasila diganti dengan lambang palu arit. Homepage Polri diganti tampilannya dengan gambar wanita telanjang. Di bagian lain dikenal juga istilah Phreaker, yaitu seseorang yang melakukan cracking terhadap jaringan telepon, sehingga dapat menelepon secara gratis ke daerah manapun yang dituju (Komputeraktif, No. 43/18 Desember 2002). Di Indonesia, kasus semacam ini pernah terjadi pada wartel–wartel.
Kategori Pelaku
Dari berbagai sumber dan media diketahui, para pelaku hacking biasanya bukan dari kalangan lapisan bawah, pada umumnya mereka adalah kaum terpelajar, setidak-tidaknya mengenyam pendidikan formal sampai tingkat tertentu dan dapat menggunakan atau mengoperasikan komputer. Para cracker adalah orang yang berpendidikan, tidak buta teknologi, secara ekonomis mampu dan tidak termasuk dalam masyarakat lapisan bawah. Kejahatan ini dapat dikategorikan kepada white collar crime (kejahatan kerah putih). Jo Ann L. Miller, mengkategorikan pelakunya menjadi 4 (empat) diantaranya pertama, Organizational occupational crime. Pelakunya adalah para eksekutif. Mereka melakukan perbuatan ilegal atau merugikan orang lain melalui jaringan internet demi kepentingan atau keuntungan korporasi.
Kedua Government occupational crime. Pelakunya adalah pejabat atau birokrat yang melakukan perbuatan ilegal melalui internet atas persetujuan atau perintah negara atau pemerintah, meski dalam banyak kasus, bila terungkap hal itu akan disangkal. Ketiga adalah Professional occupational crime. Pelakunya berbagai profesi yang melakukan kejahatan secara sengaja (malpractice).
Keempat adalah Individual occupational crime. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pengusaha, pemilik modal atau orang-orang independen lainnya, walau mungkin tidak tinggi tingkat sosial ekonominya. Dalam bidang kerjanya kalangan ini memilih jalan yang menyimpang yang melanggar hukum atau merugikan orang lain.
Karakteristik “Cybercrime”
Cybercrime memiliki karakter yang khas dibandingkan kejahatan konvensional, sebagaimana dikutip Fuady dalam (CYBERCRIME_files\ inline_files\ SI10.HTM) yakni: Pertama, perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya.
Kedua perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang bisa terhubung dengan internet. Karakteristik ketiga, perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materil maupun immateril (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional. Keempat, pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya dan kelima perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara transnasional/melintasi batas negara.
Pentingnya Penyelesaian “Cybercrime” di Indonesia
Berdasarkan berbagai kasus cybercrime yang telah terjadi dan pasti akan bertambah, perlu kiranya dilakukan percepatan dalam menuntaskan kasus cybercrime. Untuk menghadapi sekian banyak varian dan modifikasi modus kejahatan di Internet, maka langkah represif dan reaktif yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum harus perlu ditingkatkan. Kini aparat terus berlomba dalam menghadapinya.
Oleh karena itu, pemerintah harus meningkatkan pemahaman serta keahlian segenap aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi, dan penuntutan perkara- perkara yang berhubungan dengan cybercrime. Aparat kepolisian perlu menanggapi secara serius kejahatan siber.
Tentunya, harus dibarengi pula dengan serangkaian langkah proaktif dan antisipatif yang dilakukan oleh beragam institusi terkait di Indonesia. Misalnya, asosiasi yang membawahi para Internet Service Provider (ISP) dan warnet di Indonesia harus memikirkan langkah yang akan diambil untuk melindungi para konsumen.
Selanjutnya, adalah dengan melakukan kampanye dan edukasi tentang ber-internet yang aman secara komprehensif dan berkala kepada masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak segera dilakukan, maka kita harus siap menerima kenyataan bahwa peningkatan penetrasi Internet di Indonesia akan berbanding lurus dengan meningkatnya angka kejahatan Internet secara kuantitatif dan kualitatif. Ujung-ujungnya, hal tersebut justru akan menghancurkan kegiatan usaha/bisnis dan industri internet di Indonesia. Seperti pemblokiran yang dilakukan komunitas internet internasional terhadap pengguna internet dengan nomor Internet Provider (IP) Indonesia, sehingga kegiatan bisnis di dunia cyber tidak mungkin dilakukan. Itu semua akan menghancurkan kegiatan ekonomi melalui internet.
Tidak kalah pentingnya pula, pemerintah harus bergegas menyempurnakan Cyberlaw untuk menuntaskan kasus cybercrime. Perlu dipahami bahwa kegiatan bisnis melalui internet telah mengubah tatanan ekonomi konvesional. Hal itu memunculkan ketidakpastian, karena pihak yang berkomunikasi tidak bertemu secara tatap muka. Untuk memberikan kepastian, perlu dilindungi oleh cyberlaw. Kabar baiknya, pemerintah bersama DPR telah mengeluarkanUndang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun masih ada polemik pro dan kontra pasal-pasal karet di dalamnya, namun bagaimana pun ini merupakan sebuah ihtiar mengantisipasi, mengurangi dan menyelesaikan kejahatan di dunia maya yang harus diapreasiasi dan didukung. (Saf).