Ajaran khilafah masih menjadi kekhawatiran tersendiri dalam bernegara di Indonesia. Karena ajran ini kerapkali dihubungkan dengan gerakan politik yang ingin mengganti sistim pemerintahan. Padahal Indonesia sudah memiliki dasar negara yang jelas sejak awal berdirinya yaitu Pancasila.
Jakarta, 9 Maret 2021. Apa arti khilafah sebenarnya? Sistem khilafah ini diterapkan di era setelah nabi Muhammad SAW wafat, di mana ada 4 khilafah. Sistem kekhilafahan ini adalah sistem yang memang sangat ideal diterapkan di era awal-awal berkembangnya Islam, seperti di era 4 khilafah tersebut. Arti Khilafah secara bahasa dapat diartikan sebagai penguasa atau pemimpin, dapat juga diartikan sebagai pengganti. Arti Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut khalifah.
Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.
Perbedaan Khilafah dengan Sistem Kerajaan
Dalam sistem kerajaan, yang memiliki kedaulatan (kewenangan membuat undang-undang) adalah raja. Raja kemudian membuat undang-undang dan hukum yang akan diterapkan atas rakyatnya. Dari aspek yang paling mendasar yaitu kedaulatan dan kekuasaan maka khilafah sangat berbeda dengan sistem kerajaan. Khilafah diangkat oleh umat melalui proses baiat dengan keridhaan. Calon khalifah yang muncul berdasarkan penunjukkan, pencalonan sendiri, maupun cara yang lain baru akan sah menjadi khalifah ketika telah mendapatkan baiat dari umat. Baiat merupakan metode pengangkatan seseorang menjadi khalifah.
Dalam hal kedaulatan, khalifah diangkat bukan untuk membuat aturan atau hukum berdasarkan hawa nafsunya melainkan hanya menerapkan hukum yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW (syariat Islam). Oleh karena itu khalifah bisa saja salah dan bisa dihukum yaitu ketika dia nyata-nyata menyimpang dari ketentuan syariat Islam. Hal ini dapat juga menjadi pendukung ilmu bagi kita dalam memaknai arti khilafah.
Perbedaan Khilafah dengan Sistem Republik
Sistem republik merupakan perlawanan terhadap sistem kerajaan atau kekaisaran yang melakukan penindasan. Tentu dalam kedaulatan dan kekuasaan sistem republik akan berbeda dengan sistem kerajaan maupun kekaisaran. Pada sistem republic ini, kekuasaan terbesar ada di tangan rakyat, yang biasa juga disebut dengan demokrasi. Dalam sistem kerajaan dan kekaisaran pembuat hukumnya adalah raja dan kaisar, sementara dalam sistem republik pembuat hukumnya adalah rakyat (atau wakil rakyat).
Dalam sistem khilafah, kedaulatan berada di tangan syara’ (Allah SWT). Khalifah dalam hal ini bukan sebagai pembuat hukum tetapi hanya sebatas menerapkan hukum. Sumber hukum sudah ada yaitu al-Quran, al-Hadits, Ijma’ sahabat, dan qiyas. Aturan dan hukum hanya tinggal digali dari sumber hukum dan setelah itu oleh khalifah aturan dan hukum tersebut diterapkan. Hal ini dapat juga menjadi pendukung ilmu bagi kita dalam memaknai arti khilafah.
Mengapa Khilafah Tak Cocok di Indonesia?
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa masyarakat Indonesia yang beragama Islam tidak boleh membawa paham khilafah ke dalam kehidupan kebangsaan kita. Sebab hal tersebut melanggar kesepakatan yang ada dalam wujud Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu disampaikan Wapres saat menanggapi pertanyaan seorang peserta kuliah umum Lemhanas yang dilaksanakan secara virtual, Kamis (9/7/2020), soal dikotomi nasionalis dan agamis.
Kata Ma’ruf Amin, seharusnya tak ada dikotomi antara nasionalis dan agamis di Indonesia. Sebab para pendiri bangsa sudah menyelesaikan persoalan hubungan agama dan negara melalui kesepakatan nasional. Kesepakatan itulah yang mengikat keindonesiaan hingga saat ini, sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. “Bagi Muslim, tak boleh dia mambawa paham-paham lain dalam kehidupan kebangsaan kita itu. Termasuk misalnya orang membawa sistem khilafah karena dianggapnya sebagai sesuatu yang islami,” kata Ma’ruf Amin.
Soal Islami atau tidak, Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa yang islami bukan hanya khilafah. Kerajaan juga bisa islami seperti Kerajaan Arab Saudi. Begitupun emirat juga islami, terbukti dengan adanya Abu Dhabi, Kuwait, dan Qatar. Republik juga islami dengan contoh Indonesia, Mesir, Pakistan, dan Turki. “Itu juga islami. Makanya kita katakan tak boleh membawa sistem lain selain republik karena kita sudah menyepakati bahwa negara kita ini republik, NKRI. NKRI itu harga mati,” ucapnya.
Karenanya, Kiai Ma’ruf menekankan bahwa khilafah ditolak di Indonesia karena menyalahi kesepakatan, bukan karena ia tak islami. Oleh karena itu, seorang muslim Indonesia haruslah menjadi Muslim yang nasionalis sekaligus agamis. Kalau ada yang medikotomikannya, dipastikan dia belum memahami konteks keagamaan dan kebangsaaannya. Dalam konteks itu pula, dilakukan upaya menghilangkan paham radikal melalui deradikalisasi dan kontra-radikalisasi demi memastikan bahwa paham yang tak sesuai dengan keislaman serta kebangsaan Indonesia yang terkikis.”Maka itu saya mengatakan kita itu harus Muslim dan Indonesia, harus Indonesia yang muslim. Islam kita adalah islam yang memiliki kesepakatan,” tukasnya.
Larangan Khilafah di Indonesia
Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa tak akan ada lagi bentuk ajaran khilafah yang terus didengungkan oleh sejumlah ormas agama. Selain berseberangan dengan dasar negara, ajaran khilafah tersebut bersifat merusak tatanan bernegara yang telah lama digunakan Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Mahfud usai menerima kunjungan perwakilan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI).”Sistem khilafah yang sekarang yang ditawarkan yang sebenarnya itu agendanya merusak,” ujar Mahfud di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.”Merusak bangsa kita ini yang secara saat ini sudah sah berdiri sesuai dengan Islam,” sambungnya.
Selain membahas soal pentingnya menekan paham radikal seperti khilafah, dalam pertemuan itu Mahfud menekankan soal upaya pemerintah untuk menghilangkan persepsi ketakutan akan islamofobia. Menurutnya tak ada gerakan semacam itu dalam pemerintahan yang berkuasa saat ini. “Tuduhan-tuduhan bahwa pemerintah itu fobia terhadap Islam itu sebenarnya tidak ada, umat Islam yang besar-besar ini mewakili 200 juta umat muslim di Indonesia itu melihat tidak ada islamofobia,” ungkap Mahfud. “Itu di Indonesia nggak ada di Indonesia kehidupan Islam itu subur di pemerintahan maupun di masyarakat, oleh sebab itu jangan terpancing kepada istilah islamofobia,” jelas Mahfud.
Energi Positif ke Depan
Sementara itu, Wakil Kabaintelkam Polri, Irjen Pol Suntana mengatakan, sejatinya saat ini Indonesia tidak hanya menghadapi bencana alam saja, tapi juga bencana non alam. Bahkan, polisi memprediksikan perkiraan ancaman di tahun 2021 mendatang itu juga masih ada dari segi bencana non alam. “Kita akan masih menghadapi ancaman terorisme, siber, separatis dan mungkin ada juga ancaman kelompok tertentu yang masih mendengungkan konsep khilafah di negara ini,” ujarnya dalam Refleksi Dakwah Tahun 2020 untuk Indonesia Aman dan Damai, yang mana disiarkan melalui 164 Channel – Nahdlatul Ulama di Youtube, Rabu (30/12/2020).
Menurutnya, bencana non alam yang diperkirakan dihadapi Indonesia di tahun 2021 mendatang itu, salah satunya masih adanya kelompok tertentu yang ingin terus melakukan pemberontakan di Indonesia, baik kelompok bersenjata maupun kelompok lainnya. Bahkan, tak bisa dipungkiri kelompok yang menyebarkan paham radikalisme pun masih mungkin ada. “Alhamdulillah pemerintah sudah membuat pernyataan dan membubarkan kegiatan berkaitan FPI dan semoga ini bisa menjadi energi positif ke depannya,” tuturnya.
Maka dari itu, Suntana meminta kepada semua masyarakat untuk menasehati keluarga, tetangga, dan sahabatnya yang sudah terpapar paham radikalisme untuk kembali ke ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Dia pun mengajak semua masyarakat bersama-sama mengawasi orang-orang yang masuk ke Indonesia dan membawa paham radikalisme.(EKS/berbagai sumber)